Executive Summary Penelitian Kompetitif Kehidupan Keagamaan - 2012 PDF Print Email

Penelitian yang berkualitas sangat ditentukan oleh kualitas peneliti yaitu peneliti yang mampu mengidentifikasi masalah secara tepat, menganalisa secara mendalam, serta merumuskan  pemecahan masalah yang signifikan dan komprehensif dengan menggunakan  kerangka teoritik dan metodologi ilmiah. Salah satu cara untuk memperoleh hasil penelitian yang berkualitas adalah melalui pelaksanaan penelitian kompetitif kehidupan keagamaan. Pada tahun 2012 tema penelitian kompetitif Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah: Model Penanganan Aliran, Faham, dan Gerakan Keagamaan di Indonesia”.

Tujuan penelitian ini adalah :
1. Meningkatkan peran Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam ikut serta mengembangkan wawasan keagamaan dan kemampuan para peneliti kehidupan keagamaan di Indonesia;
2. Memberikan kesempatan kepada para peneliti, dosen, dan mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi agama untuk berkontribusi dalam peningkatan kualitas kehidupan beragama melalui jalur penelitian;
3. Mendapatkan formulasi dan strategi model penanganan munculnya faham, aliran dan gerakan keagamaan;
4. Menghimpun hasil penelitian yang berkualitas melalui proses kompetisi yang terbuka dan sesuai standar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Melalui penelitian kompetitif ini telah terkumpul 298 proposal dan setelah proses seleksi ditentukan 15 orang sebagai pemenang dan mendapat biaya penelitian sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Berikut temuan ringkasan masing-masing hasil dari judul penelitian kompetitif kehidupan keagamaan tahun 2012:


1. Penerapan Passing Over Untuk Mengikis Sikap Heterofobia pada Organisasi Keagamaan Perempuan (Studi di Muslimat NU, Aisyiyah dan Muslimah Hizbu Tahrir Indonesia Malang Kota Jawa Timur)
Metode passing over dianggap efektif dalam mengikis sikap heterofobia terhadap faham keagamaan. Sikap ini dapat dilihat dari respon yang baik oleh pengurus Muslimat NU dan Aisyiyah di kota Malang. Masing-masing dari mereka, mau untuk saling mengundang, bertatap muka langsung, dan berdialog untuk menjelaskan pemahaman keagamaannya dan juga saling mendengarkan. Akan tetapi metode passing over ini belum efektif untuk diterapkan pada organisasi Muslimat Hizbut Tahrir di kota Malang. Hal ini disebabkan, dari awal mereka sudah menolak untuk melakukan dialog bersama. Sikap ini diduga karena adanya perbedaan dalam pemahaman mengenai dilakukannya dialog. Karena menurutnya dialog berarti menyetujui semua pandangan. Untuk itu bagi Muslimat Hizbut Tahrir di kota Malang masih diperlukan pendekatan yang khusus dan lebih intensif untuk menyamakan persepsi tentang makna dan pentingnya dialog (Tutik Hamidah, Malang).

2. Penanganan atas  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Perspektif Pemerintah dan Tokoh Agama
Pemerintah telah menyediakan rambu-rambu ke-ormasan untuk menangani kontestasi ideologi gerakan-gerakan sosial politik yang berhadapan dengan Pancasila. Dalam kaitan ini sebagai  pintu diskursif untuk penanganan atas HTI, DPR telah menyediakan dua prinsip mendasar: 1). setiap ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas dasar, 2). setiap ormas bisa mencantumkan nilai-nilai khasnya sebagai asas turunan organisasi. HTI yang berasal pikiran Islam, bisa mencantumkan Islam sebagai asas spesifik organisasi, di bawah asas dasar Pancasila. Jadi HTI tetap diberi kebebasan menjadi diri sendiri sebagai gerakan yang mengimani Islam sebagai ideologi. Sementara pandangan tokoh agama seperti Muhammadiyah, MUI, PSIK, AKB dan The Wahid Institute mengusulkan metode penanganan HTI dengan mengedepankan pendekatan ilmiah, sebab radikalisme HTI adalah radikalisme pemikiran. Namun NU berpandangan seharusnya muslim Indonesia menyadari dirinya sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, bukan sebaliknya. Menurut NU, pemerintah mestinya melarang secara tegas organisasi apa saja yang melawan Pancasila dan NKRI. (Saiful Arif, Jakarta).

3. Ajaran-ajaran Purifikasi Islam Menurut Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) yang Berpotensi Menimbulkan Konflik
MTA didirikan oleh Alm. Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Ada beberapa ajaran purifikasi MTA yang yang berpotensi konflik dengan ormas lain diantaranya adalah 1). Penafsiran terhadap ajaran Islam dengan menggunakan metode tekstual, tidak membutuhkan metode kontekstual 2). menolak praktik Islam yang bercampur dengan budaya lokal seperti yasinan, tahlil, dan lain-lain, 3). Sikap terhadap persoalan halal-haramnya memakan daging anjing, 4). Tidak mengakui madzhab-mazhab fiqh karena menurutnya hal itu bentuk dari taqlid dan akan merusak syari’at. (Amir Mu’allim, Yogyakarta).

4. Toleransi Antara Penganut Hare Krishna dan Hindu Dharma di Denpasar Bali
Sikap toleransi yang dilakukan oleh para penganut Hare Krishna di Denpasar Bali diantaranya dengan mengakomodasi ajaran Hindu Dharma yang telah menjadi ritual adat di masyarakat Bali. Misalnya, mereka tetap ibadah di Pura, tetapi mereka tidak membawa persembahan daging, dan tidak melakukan korban binatang, karena ajaran Hare Krishna tentang ahimsa dan vegetarian harus mereka pegangi. Penganut Hare Krishna yang vegetarian, berbeda dengan Hindu Bali yang memakan daging. Dengan kata lain para penganut Hare Krishna di Bali, melakukan sikap toleransi dan inklusivitas dengan cara sinkretis dan akomodatif terhadap dua ajaran tersebut. (Sri Wahyuni, Yogyakarta).

5. Membangun Harmonisasi Kehidupan Antar Kelompok Keagamaan Islam Dalam Keragaman Aliran dan Karakter (Studi tentang Model Hubungan Antara Kelompok Keagamaan Rifa’iyah dengan Kelompok Keagamaan Islam di Luar Kelompok Rifa’iyah di Desa Paesan Tengah Kec Kedung-wuni Barat, Kab Pekalongan, Jawa Tengah)
Adanya perbedaan paham tentang substansi keyakinan antara Kelompok keagamaan Rifa’iyah dengan NU memang tidak dapat disatukan. Namun bukan bearti kedua kelompok keagamaan ini tidak dapat hidup secara harmonis. Untuk mewujudkan harmonisasi, kedua kelompok keagamaan ini yaitu Rifa’iyah dan NU menggunakan strategi politik local yang dibangun sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat, mengedepankan perspektif internal dan tidak diintervensi oleh pihak luar. Diantaranya keduanya membuat suatu  kegiatan di bidang ekonomi dan sosial-keagamaan secara bersama dengan tujuan sebagai perekat sosial, sehingga terbangun keguyuban diantara mereka yang mampu memunculkan corporate culture.  (Dandung Budi Yuwono, Pekalongan).

6. Masjid, Fiqh dan Tasawuf (Menangkal Radikalisme Melalui Pengajian Fiqh dan Tasawuf di Masjid: Studi Kasus Majlis Taklim Yayasan Al-Hikmah Ponorogo)
Upaya yang dilakukan Majlis Taklim Yayasan al–Hikmah Ponorogo untuk membetengi jamaahnya dari radikalisme yaitu merubah kognisi jamaahnya dalam beragama yang tadinya taqklid menjadi muttabi’. Cara yang mereka lakukan dengan mengkolaborasi antara fiqh dan tasawuf, mengembangkan fiqh kontekstual, dan melakukan dialog untuk masalah-masalah factual yang terjadi di masyarakat. Upaya ini menghasilkan sikap jamaah yang moderat dan menghargai adanya perbedaan. (Iswahyudi, Ponorogo).

7. Deradikalisasi Mantan Anggota Negara Islam Indonesia (NII)
Pesantren Daarul Uluum Bogor Jawa Barat adalah Pesantren yang sebelumnya pernah menjadi basis perekrutan anggota Negara Islam Indonesia (NII), kini mendeklarasikan sebuah gerakan deradikalisasi paham keagamaan NII dengan mendirikan LSM Indonesian Center for Deradicalization and Wisdom (ICDW) di bawah payung Pesantren Daarul Uluum. Para pengurus ICDW pernah terlibat dalam gerakan bawah tanah NII tahun 80-96 yang sudah expresi “tobat”. ICDW didirikan sebagai lembaga untuk melindungi pesantren dari pengaruh paham keagamaan radikal yang pernah mempengaruhi banyak santri di tahun 80-an.Program utama ICDW yaitu: riset dan sosialisasi pemikiran kontra-radikalisme agama, advokasi para mantan aktivis gerakan radikal, dan pelayanan masyarakat dibidang pendidikan dan sosial. ICDW juga memberikan beasiswa bagi anak-anak keluarga NII dengan tujuan sebagai cara untuk memutus rantai paham radikalisme dari orang tua ke anak. Hasilnya banyak orang tua santri yang terlepas dari radikal oleh anak-anak mereka yang belajar di Pesantren Daarul Uluum Bogor. ICDW juga melakukan pendekatan dialogis, langsung, dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi mantan angota NII dengan memberikan pekerjaan dan pelatihan wiraswastawan, inklusivisme dan praktek tarekat.  (Ali Amin, Manado).

8. Harmoni dalam Keragaman (Konstruksi Perdamaian Dalam Relasi Islam-Katolik-Sunda Wiwitan di Kali Minggir dan Nagaraherang Kabupaten Tasikmalaya)
Perdamaian di kampung Kali Minggir dan Nagaherang tercipta dikarenakan adanya komunikasi yang efektif, iklim masyarakat yang kondusif dan integratif serta adanya dukungan serta perhatian dari para tokoh agama yang mempunyai pengaruh dan berkeinginan untuk membangun system serta tradisi yang ada dalam masyarakat. Agama/keyakinan bagi mereka bukan hanya ditekankan pada hal yang bersifat teologis saja, tetapi lebih kepada menjalankan fungsi social/kemanusiaan. Mereka lebih mengedepankan identitas sebagai anggota masyarakat yaitu mempunyai kesamaan posisi sebagai warga negara (Fitri Annisa, Tasikmalaya).

9. Model Penanganan Dini Potensi Konflik Akibat Kemunculan faham/Aliran/Gerakan Keagamaan (Kasus Kemunculan Paham Imam Mahdi di Desa Paok Lombok Kec. Suralaga Kab. Lombok Timur)
Munculnya gerakan Imam Mahdi di Lombok Timur dibawa oleh Abdul Azis. Faham atau ajaran kelompok Imam Mahdi di Lombok Timur yang berpotensi konflik adalah isu teologis diantaranya faham mengenai wahyu taklim yaitu informasi yang diberikan oleh Allah melalui komunikasi dengan Abdul Azis. Selain itu ajakan untuk berbait yang diekspresikan dengan menambah redaksi syahadat “ wa Asyhadu Anna Nashir Muhammad al-Yamani Khalifatullah” dan ancaman azab bagi yang menolak melakukan baiat. Kelompok ini juga menolak terhadap keragaman mazhab-mazhab Islam, menolak syafaat di akhirat dan penolakan terhadap ajaran shirat. Saat ini, model Penanganan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan Kementerian Agama Lombok Timur  masih bersifat jangka pendek, yaitu melalui penegakan hukum, menyiapkan surat edaran dan himbauan surat, melakukan negosiasi untuk menyadarkan mereka yang dianggap sesat dan membuat surat perjanjian dengan kelompok Imam Mahdi yang memaksa mereka untuk mencabut semua ajaran. (Firdaus, Lombok).

10. Model Penanganan Konflik Keagamaan antara “Jamaah Qur’ani dan Jamaah Qur’an Sunnah” (Studi Kasus Konflik Aliran Keagamaan di Desa Cibunar, Tarogong Kidul, Kabupaten Garut)
Konflik yang terjadi antara “Jamaah Qur’ani dan Jamaah Qur’an Sunnah” adalah karena adanya perbedaan dalam pemikiran teologis dan syari’ah. Dalam masalah teologis, Jama’ah Qur’ani menolak Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam dan menganggap orang yang mempercayainya adalah syirik, tidak mengakui adanya alam barzakh, melaksanakan sholat cukup ingat kepada Allah SWT tanpa rukuk, sujud dan salam dan sholat yang dilaksanakan hanya sholat shubuh, sholat jum’at dan sholat tahajud dan melarang lafadz “amiin” setelah bacaan surat Al-fatihah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan untuk waktu berbuka pada jam 21.00 WIB dan mereka menolak zakat fitrah.  Konflik yang terjadi juga diperuncing oleh persaingan dalam memperebutkan sumber ekonomi yaitu dalam penguasaan telapak kuda dan perkakas rumah tangga. Model penanganan konflik yang telah dilakukan dengan jagerisme yaitu melaui orang yang memiliki kharisma dan ditakuti oleh semua pihak karena ia memiliki kema puan dalam ilmu bela diri, baik ilmu kanuragan maupun ilmu-ilmu magis tertentu. (Asep Achmad Hidayat, Garut).

11. Gerakan dan Pemikiran  Yayasan Tauhid Indonesia (Yatain) Surakarta
Yatain merupakan sebuah lembaga yang mencoba untuk mendalami Al-qur’an dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau dengan pendekatan rasional. Yatain dalam setiap memberikan kajian al-Qur’an selalu menyediakan seperangkat alat-alat teknologi dan melalui radio tauhid 98,3 FM yang mengudara pukul 06.00 s/d 23.00 WIB. Selain itu, Yatain juga membedakan antara Sunnah dan Hadits. Menurut Yatain Al-qur’an adalah hadits, karena apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu Allah SWT dan itu adalah Al-Qur’an. Sedangkan sunnah adalah ketentuan yang berlaku tentang sesuatu untuk manusia yang merupakan ketentuan Allah SWT yang tidak berubah dan berlaku sama tanpa adanya pembatasan waktu. ( Zainul Abas, Surakarta).

12. Pemberdayaan Sosial-Ekonomi sebagai Strategi Penanganan Gerakan Keagamaan di Indonesia (Studi Kasus Jamaah An-Nadzir di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan)
Jamaah An-Nadzir dapat dikategorikan sebagai jamaah yang mempraktekan pemberdayaan ekonomi –sosial yang mandiri, menghimpun potensi jamaahnya untuk mencapai manusia yang tangguh, seimbang antara dzikir dan fikir, jasmani dan rohani, serta dunia akhirat. Pemberdayaan  ekonomi yang mereka lakukan yaitu dengan mengarap lahan seluas dua hektar yang mereka tanami cabe, padi dan melakukan budidaya ikan tawar di danau yang luasnya juga dua hektar. Selain itu mereka juga berdagang dan membuka usaha seprti isi ulang air minum, pencucian mobil, bengkel motor dan studio foto.  Meskipun gerakan keagamaan jamaah An-Nadzir lebih berorientasi pada kesalehan sosial dan kesejahteraan sosial, namun tetap harus mendapatkan perhatian dan bimbingan dari pemerintah, mengingat jamah ini mempunyai pemahaman melaksanakan sholat cenderung mengerjakannya di akhir waktu, misalnya sholat dzuhur dilaksanakan di akhir atau berdekatan waktunya dengan sholat ashar. Padahal sudah jelas kita diperintahkan untuk sholat di awal waktu. (Mustaqim Pabbajah, Makasar).

13. Salafisme, Pengobatan Islam, dan Pemberdayaan Ekonomi Umat: (Studi Kasus Attib al-Nabawi di Ciputat dan Pamulang)
Attib al-nabawi (Pengobatan Islam) baru muncul kembali dalam dua dasawarsa belakangan ini. Hal ini diantaranya berkat upaya kelompok salafi yang menjumpai hadits dalam jumlah yang relatif signifikan yang merekam tradisi pengobatan dan hidup sehat ala Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, mereka juga membaca karya klasik Islam semisal al-Tibb al-nabawi karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. Dari sini kemudian mereka mengembangkan praktik pengobatan ini. Mulanya mereka hanya untuk internal kelompoknya, namun lama kelamaan mereka akhirnya membuka layanan untuk umum seperti klinik bekam, ruqyah, dan herbal yang dibuka diberbagai tempat. Untuk wilayah Ciputat dan Pamulang, mereka sudah memiliki 20 klinik. Fenomena ini memiliki dampak yang luar biasa baik sosial maupun ekonomi karena telah mendatangkan keuntungan yang besar. (Jajang Jahroni, Jakarta).

14. Paham Aliran Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Penangannya Dalam Hubungan Antar Denominasi Gereja di Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan
Kehadiran Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Tana Toraja dipandang dapat memunculkan potensi konflik antar denominasi. Hal ini dikarenakan penyebaran ajaran khususnya dan metode penyebarannya yang terselubung. Untuk mengantisipasi munculnya konflik, maka diperlukan model penanganan yang tepat  diantaranya melakukan forum dialog dengan gereja lainnya dan menunjukan keterbukaan dalam mengemukakan konsep ajarannya kepada gereja lain, sehingga dapat saling memahami dan tidak saling mencurigai. GMAHK hendaknya memiliki payung organisasi yang sama seperti gereja Protestan lainnya, misalnya menjadi anggota PGI. (Setrianto Tarapa, Tana Toraja).

15. Model Penanganan Konflik Bernuansa Sara di Kota Pontianak Kalimantan Barat
Model alternatif dalam penanganan konflik bernuansa sara dapat dilakukan dengan model “Religius  CS KIS (Religius Civil Society Komprehensif Integratif Sinergis). Penggunaan model tersebut, pada proses awal untuk memperoleh pemahaman mendalam yang terbaik mengenai apa yang memotivasi bagian-bagian yang berbeda. Kemudian mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat dialamatkan sebuah intervensi. Selanjutnya Civil Society menjadi dasar atau pedoman utama dalam melakukan penanganan konflik berbasis religius. (Lailial Muhtifah, Pontianak).

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.