Kearifan Lokal Efektif Dukung Kerukunan Antarumat Beragama |
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pada Acara Pembukaan Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah Di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat Kamis 26 Mei 2011
Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, Salam sejahtera dan bahagia bagi kita semua,
Yang kami hormati, Bupati Kabupaten mamuju, Anggota DPR RI Komisi VIII Anggota DPRD Kabupaten Mamuju Para pejabat Pemerintah Kabupaten Mamuju, Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat dan jajarannya, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mamuju dan Jajarannya, Para Pemuka Agama Pusat dan Daerah, Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Mamuju, serta Segenap Peserta Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang berbahagia,
Mengawali sambutan ini, pertama-tama, marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala curahan nikmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga. Sebab, hanya atas karunia-Nya pula, pada hari ini, kita dapat berkumpul dan bertatap muka di tempat ini dalam suasana yang penuh kesejukan dan keakraban. Dan, dalam suasana yang demikian itu, kita akan mengikuti acara pembukaan kegiatan Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah di Kabupaten Mamuju. Sebuah kegiatan yang kami anggap penting dan strategis dengan beberapa alasan. Pertama, para peserta dialog terdiri atas unsur pemuka agama, baik pusat maupun daerah. Mereka, sebagaimana diketahui, adalah orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Kedua, isu utama yang didialogkan berkaitan dengan upaya pengembangan wawasan multikultural. Sebuah tema yang sangat aktual, menarik, dan strategis untuk didialogkan, terutama dalam rangka mencari formulasi efektif mengelola kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiga, kegiatannya sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu katalisator bagi akselerasi komunikasi antar pemuka agama pusat dan daerah, mata rantai pengikat kebersamaan di antara mereka, dan ruang terbuka bagi penyaluran aspirasi umat beragama dalam upaya peningkatan kerukunan umat beragama di Indonesia. Keempat, tempat dialog, yaitu Kabupaten Mamuju. Sebuah tempat yang berpenduduk heterogen secara etnis dan agama, dalam satu provinsi walaupun agak homogen jika dilihat per kabupaten.
Bapak, ibu, hadirin peserta dialog yang kami hormati, Forum dialog pengembangan wawasan multikultural seperti yang kita ikuti saat ini, telah dilakukan oleh Kementerian Agama mulai tahun 2002 dan sampai 2010 telah mencapai 27 provinsi, tahun 2011 ini yang ke 28 di Provinsi Sulawesi Barat dan ke 29 di Provinsi Aceh. Dari rangkaian dialog yang telah kita lakukan di berbagai daerah, ternyata begitu banyak hal yang bermanfaat untuk diketahui dan dipelajari bersama dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa yang lebih rukun dan damai ke depan. Bahkan, sebagian menjadi tahapan yang baik bagi penerapan kebijakan baru pemeliharaan kerukunan umat beragama. Sebagai contoh, di Provinsi Sumatera Utara, di samping berfungsinya adat dalihan na tolu juga ada Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKPA) yang menjembatani masalah-masalah bersama lintas agama yang kemudian memuluskan pembentukan FKUB sebagaimana dikehendaki Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Forum serupa juga terdapat di Provinsi Sumatera Selatan dengan sebutan Forum Komunikasi Umat Sumatera Selatan (FOKUSS) sebelum lahirnya FKUB. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat program Rukun Mengharum dan Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKPA), sebelum menjadi FKUB. Di Bali ada konsep menyama braya (rasa persaudaraan dan kesepakatan mengucapkan salam dengan satu salam saja sesuai dengan cara agama orang yang menyampaikan salam tersebut, dan tidak perlu ada kesan mengurangi rasa hormat hadirin yang kebetulan menganut agama berbeda. Di Provinsi Jambi dan Riau dijumpai budaya dan adat Melayu yang sarat dengan petuah-petuah bijak yang menjunjung persatuan bangsa. Di Provinsi Sulawesi Barat ini terdapat banyak istilah-istilah yang dapat meningkatkan integrasi di antaranya yang disebut “Mala’bi” yang bermakna: mulia, bermartabat, sopan, atau semua perilaku/sikap yang berkonotasi baik. “mala’bi” juga bermakna: saling menghargai, sopan-santun, kebersamaan/gotong-royong, serta saling menghormati, apapun suku, budaya maupun agamanya. Ada juga budaya “Passola Suungang” (Sola suung = saudara), yakni budaya yang menganggap bahwa semua orang adalah saudara. Budaya ini membentuk karakter masyarakat cenderung terbuka bagi siapa saja, suku apa saja dan agama apa saja yang datang di Mamuju dianggap semua mereka adalah saudara. Hal serupa terdapat di daerah-daerah lain seperti suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki konsep sipakalebbi dan sipakatau yang berarti saling menghormati dan mengingatkan, di Provinsi Sulawesi Utara terdapat budaya mapalus atau gotong royong. Demikianlah, daerah-daerah lain memiliki kearifan lokal yang sejak lama terbukti efektif dalam menjaga keharmonisan dan ketenteraman masyarakat. Persoalannya ialah kearifan lokal itu kurang dipahami secara luas oleh masyarakat dan tampaknya lebih efektif ditaati masyarakat ketika tingkat kehidupan kita masih sangat sederhana, kehidupan pedesaan yang serba harmoni. Tetapi, ketika kehidupan masyarakat kita semakin kompleks, ketika urbanisasi meningkat, bahkan ketika terpaan arus globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi begitu kuat, maka sebagian beban pemeliharaan kerukunan umat beragama semakin berat dan sebagian kearifan lokal itu tidak sanggup lagi mendukung beban berat tersebut. Mungkin perlu upaya memperkuat kembali kearifan-kearifan lokal tersebut dengan beberapa modifikasi, termasuk pengenalan kebijakan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan hasil kesepakatan para pemuka adat dan pemuka agama itu sendiri seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. PBM tahun 2006, sebagaimana diketahui, merupakan peraturan yang disusun dan dirumuskan secara bersama-sama dengan melibatkan wakil dari majelis-majelis agama tingkat pusat, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Dengan demikian, meskipun PBM ditandatangani oleh pemerintah, pada hakikatnya merupakan kesepakatan para pimpinan majelis-majelis agama. Pemerintah pada saat itu hanya berperan sebagai pihak yang memfasilitasi proses komunikasi antarwakil majelis-majelis agama dan memberikan legalitas hukum dari perspektif hukum ketatanegaraan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban moral dan institusional bagi para pimpinan majelis-majelis agama baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengetahui, memahami, mensosialisasikan, mengamankan, dan melaksanakan PBM secara konsisten. Berkenaan dengan proses penyusunan PBM, Pemerintah menyadari bahwa pada era reformasi, partisipasi masyarakat sangatlah penting. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara khusus mengatur tentang partisipasi masyarakat. Bab X Pasal 53 UU tersebut berbunyi: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-Undang dan rancangan Peraturan daerah”. Menurut ketentuan, kewajiban Pemerintah untuk menampung masukan secara lisan dan tertulis dari masyarakat, sesungguhnya hanya terhadap kedua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Namun demikian, karena Pemerintah memandang begitu pentingnya materi yang dimuat dalam PBM, maka dalam rangka bersama-sama masyarakat luas, khususnya pimpinan majelis-majleis agama untuk membangun kerukunan nasional sebagaimana dicita-citakan oleh UUD 1945, penyusunan Peraturan Bersama ini telah melibatkan secara penuh majelis-majelis agama bukan hanya dalam memberikan masukan tetapi sekaligus menyusun dan menyelesaikan rancangan PBM. Setelah PBM disahkan ada memang anggota masyarakat yang mempertanyakan mengapa agama diatur oleh Pemerintah, bukankah itu merupakan bagian dari kebebasan beragama. Dalam kaitan ini perlu dijelaskan bahwa yang diatur oleh PBM bukanlah aspek doktrin agama yang merupakan kewenangan masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalulintas para pemeluk agama yang juga warga negara Indonesia ketika mereka bertemu sesama warga negara Indonesia pemeluk agama lain dalam mengamalkan ajaran agama mereka. Karena itu, PBM sama sekali tidak mengurangi kebebasan beragama yang disebut dalam Pasal 29 UUD 1945. Beribadat dan membangun rumah ibadat adalah dua hal yang berbeda. Beribadat adalah ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan membangun rumah ibadat adalah tindakan yang berhubungan dengan warga negara lainnya karena pemilikan tanah, kedekatan lokasi, dan sebagainya. Karena itu maka prinsip yang dianut dalam PBM ialah bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada, kemudian dalam waktu yang sama harus tetap menjaga kerukunan umat beragama dan menjaga ketenteraman serta ketertiban masyarakat. Inilah prinsip sekaligus tujuan dari PBM. PBM juga menghilangkan keraguan sementara orang yang mengatakan bahwa Pemerintah Daerah tidak mempunyai kewenangan dan tanggung jawab di bidang kehidupan keagamaan, sebagaimana dipahami sepintas dari Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana agama tidak termasuk yang diotonomikan. Substansi PBM secara tersirat menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan pemerintah pusat di bidang agama adalah pada aspek kebijakannya. Sedangkan pada aspek pelaksanaan pembangunan dan kehidupan beragama itu sendiri tentu saja dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat Indonesia diseluruh tanah air termasuk oleh pemerintahan daerah. Lebih jauh PBM juga menegaskan secara tersurat bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah bagian penting dari pembinaan kerukunan nasional yang menjadi tanggung jawab daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, serta sebagai bagian dari upaya pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Setelah disahkannya PBM ini, telah dilakukan sosialisasi kepada semua aparat pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan pada tahun 2007, sosialisasi PBM telah turut menyumbang sebesar 17,4% dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Berdasarkan pemantauan, setelah dikeluarkannya PBM, kasus-kasus menyangkut pendirian rumah ibadat cenderung menurun. Untuk mengetahui peranan FKUB dalam melaksanakan tugas-tugasnya, pada tahun 2009 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian tentang Peranan FKUB dalam Melaksanakan Tugas-tugasnya yang Tercantum dalam Pasal 9 PBM No 9 dan No 8 Tahun 2006 di enam provinsi yaitu: Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa tugas-tugas FKUB tersebut sudah dapat dilaksanakan cukup baik oleh FKUB provinsi maupun FKUB kabupaten/ kota, walaupun pelaksanaannya belum optimal. Masih terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaannya termasuk masih perlunya dukungan Pemerintah Daerah dalam menyediakan Peraturan Gubernur yang mengatur secara rinci tentang FKUB.
Bapak, ibu dan saudara sekalian yang kami hormati, Akhirnya, pada kesempatan dialog ini, kami mengajak semua pihak, khususnya para pemuka agama baik pusat maupun daerah untuk: Pertama, memupuk saling pengertian dengan lebih memanfaatkan dan mengefektifkan saluran komunikasi antarpemuka agama yang sudah ada, baik dalam bentuk forum (atau wadah) pada masyarakat maupun bentuk lainnya, baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Dalam kaitan ini, kiranya pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota senantiasa memberikan perhatian bagi kelancaran pelaksanaan tugas FKUB sebagai wadah komunikasi antarumat beragama; Kedua, menggali dan melestarikan berbagai unsur kearifan lokal, tradisi, dan pranata lokal, termasuk norma dan adat istiadat yang bermanfaat dan dapat berfungsi efektif dalam mendukung kerukunan masyarakat lokal, sambil melakukan kajian dan pengayaan dengan kearifan-kearifan baru. Kami mengharapkan agar para peserta dialog dapat memberikan sumbangan pemikiran yang jernih dan tulus, sehingga tujuan diadakannya kegiatan ini dapat tercapai. Meskipun kita mungkin belum dapat sepaham dalam semua hal, tapi kita harus tetap bersama-sama mendialogkan masalah-masalah bangsa yang kita hadapi untuk mencapai titik temu bersama. Selamat berdialog. Wassalamu`alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Mamuju, 26 Mei 2011
Kepala Badan
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA NIP 19570414 198203 1 003 |