Home /  Berita
Pemerintah Menjaga dan Merawat Kemajemukan PDF Print Email

Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban untuk menjaga dan merawat kemajemukan masyarakat Indonesia. Karenanya, pemerintah berusaha menjadi fasilitator dalam semua kegiatan yang dapat mendorong kerukunan nasional.

Demikian dinyatakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. Machasin, MA dalam sambutan pembukaan Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah di Propinsi Papua Barat di Manokwari, Selasa (10/7).

Lebih lanjut, dalam sambutannya, Machasin menjelaskan, pemerintah juga berkewajiban untuk membuat regulasi dan acuan dalam menjaga kemajemukan. Regulasi ini misalnya adalah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

"Kementerian agama terus mendorong para pemuka agama untuk terus melakukan bimbingan kepada ummatnya masing-masing agar saling menghargai dan menghormati pemeluk agama lainnya. Para pemuka agama juga perlu terus membangun komunikasi dengan berbagai komponen di setiap level pemerintah," tuturnya dalam sambutan yang dibacakan oleh Dr. H Abdul Azis, MA selaku ketua rombongan.

Kerukunan, lanjut Machasin, hendaklah berasal dari akar tradisi masyarakat setempat. Khususnya di Papua, kerukunan antar umat beragama sangatlah baik dan telah berlangsung berabad-abad.

"Kemenag selalu berharap agar masyarakat majemuk di Papua Barat dapat terus berakulturasi dan bersinergi dengan kebudayaan-kebudayaan lain. karena tidak perah ada kebudayaan yang maju tanpa adanya akulturasi," tandasnya.

 
Pengawasan Fungsional : Memperkuat Budaya Kerja Organisasi dan Kepemimpinan PDF Print Email

Palembang, 04/07 (Puslitbang 1) - Jika ingin mengoptimalkan pengawasan fungsional dalam meningkatkan kinerja aparatur Kementerian Agama, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama perlu memperkuat budaya kerja organisasi dan kepemimpinan pada masing-masing satuan kerja (satker). Karena dengan memperkuat dua variabel tersebut, pengawasan fungsional yang dilakukan Itjen akan memiliki kekuatan dua kali lipat atau sebesar 27,8% dibanding jika pengawasan fungsional dilakukan secara langsung terhadap peningkatan kinerja aparatur Kementerian Agama yang berpengaruh sebesar 10,5%.  Demikian disampaikan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Dr. H. Machasin dalam acara Konsultasi Koordinator Tindak Lanjut Hasil Pengawasan (K2TLHP) yang diselenggarakan oleh Inspektorat Jenderal di Hotel Aston, Palembang 3-6 Juli 2012. Kegiatan K2TLHP inidiikuti oleh Pejabat Eselon II dan III Pusat, seluruh Karo UIN/STAIN/IHDN, Kabag TU Kanwil, Kabag Administrasi STA Negeri, dan Kakankemenag se- Sumsel.

Kepala Badan Litbang dan Diklat juga menyampaikan bahwa pengawasan akan semakin efektif apabila Inspektorat Jenderal mendorong pimpinan satuan kerja untuk memberikan perhatian tentang pentingnya laporan keungan/BMN yang akuntabel kepada setiap pegawai keuangan/BMN serta  harus mampu menciptakan budaya organisasi satuan kerja  yang kondusif, efektif dan peduli terhadap pentingnya laporan keuangan yang baik.

Pernyataan Kepala Badan Litbang dan Diklat tersebut merupakan bagian dari kesimpulan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan tema "Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama tahun 2012 Bidang Keuangan dan BMN". Dari penelitian tersebut terdapat pula temuan yang agak mengejutkan yaitu bahwa motivasi pegawai tidak berpengaruh terhadap peningkatan kinerja aparatur. Hal ini disebabkan karena 3 hal. Pertama, pegawai keuangan dan BMN merasa tidak memiliki kepastian karier selama bekerja. Kedua, ada anggapan rendahnya pendapatan  dibanding beban kerja mereka.  Ketiga, rendahnya pujian (reward) yang diberikan pimpinan terhadap mereka.

Penelitian ini dilakukan di 17 provinsi dan pusat dengan jumlah responden sebanyak 695 orang. Responden ditentukan secara purposive, yakni pegawai di bagian keuangan dan BMN yang pada tahun 2010 dan/atau 2011 dikunjungi oleh Itjen. Selanjutnya, Kepala Balitbang dan Diklat merekomendasikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Itjen harus mampu mendorong munculnya budaya kerja yang kondusif serta kepemimpinan yang dapat memotivasi kinerja pegawai, hal demikian akan lebih memiliki pengaruh yang lebih kuat bagi peningkatan kinerja karyawan di masa yang akan datang.

Dalam kesempatan itu juga disampaikan beberapa saran-saran terhadap Itjen, yang disampaikan responden, misalnya 1) Harus ada  persamaan persepsi dalam perundangan-undangan dan regulasi antara satu auditor dengan auditor lainnya, antara auditor Itjen dengan BPK. 2) Auditor sebaiknya lebih memahami prosedur keuangan/BMN dari pada yang diaudit. 3) Proses audit  tidak dilakukan sampai larut malam. Namun dalam hal ini, pihak auditor langsung memberikan respon, bahwa auditor harus bekerja sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan, sementara permasalahan yang harus diperiksa cukup banyak. Karena itulah auditor kadang bekerja di luar jam kerja, bahkan sampai larut malam.

 
Pemberdayaan Mubalighah : Menuju Penanganan terhadap Korban KDRT PDF Print Email

Singkawang, 7/07 (Puslitbang 1). Setiap kali mengawali sessi workshop untuk para mubalighah, fasilitator selalu bertanya, “Bagaimana kabar Ibu dan Bapak?”, para peserta menyambutnya dengan kompak “Alhamdulillah, luar biasa, Allahu Akbar….” dengan disertai gerakan tangan. Begitulah yel-yel tatkala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Kantor Kementerian Agama Kota Singkawang menyelenggara¬kan Workshop Peningkatan Wawasan dan Kemampuan Mubalighah dalam Penanganan dan Pendampingan  Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) selama 4 hari mulai tanggal 4-7 Juli 2012 di Hotel Dangau, Singkawang.

Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Singkawang, Drs. H. Jawani. Dalam sambutannya beliau menyampaikan kepada peserta workshop agar dapat menyerap ilmu semaksimal mungkin sehingga dapat disampaikan kepada para jamaah. Dengan demikian, diharapkan para mubalighah lebih berdaya dalam melakukan pelayanan dan pendampingan kepada jamaah yang mengalami korban KDRT.

Workshop ini diikuti oleh 30 orang peserta yang terdiri dari mubalighah/ustadzah, penyuluh, BKMT, organisasi masyarakat (ormas) perempuan, dan konselor BP4. Workshop ini bertujuan untuk mensosialisasikan UU No. 23/2004, juga meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, serta kapasitas mubalighah dalam upaya meminimalisir terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kesempatan tersebut Ida Rosyidah, MA selaku Direktur PSW UIN Syarif Hidayatullah mengungkapkan bahwa workshop ini sejalan dengan visi dan misi PSW dalam upaya pemberdayaan perempuan. Oleh karena itulah PSW menyambut baik kerjasama yang ditawarkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Masyarakat Kota Singkawang merupakan masyarakat multi etnis dengan 3 (tiga) etnis mayoritas, yakni Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Selain multi etnis, masyarakat Singkawang juga terdiri dari penganut agama yang berbeda-beda, namun tetap memiliki toleransi yang tinggi dan dapat hidup berdampingan secara harmonis. Kota Singkawang terletak di pesisir pantai dan dikelilingi oleh gunung-gunung memberikan kesan dan keindahan alam tersendiri. Keanekaragaman etnis, agama, budaya, serta posisi geografis yang unik ini memberikan ciri khas dan daya tarik tersendiri bagi Kota Singkawang.

Di balik daya tariknya, kota Singkawang yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Kelenteng ini ternyata menyimpan banyak persoalan sosial seperti banyaknya kasus kekerasan, tingginya angka buruh migran, dan menjadi salah satu wilayah transit bagi jalur trafficking, pengiriman TKI ilegal, maraknya “kawin foto” atau perkawinan yang tidak dicatatkan, dan  berbagai persoalan keluarga lainnya. Demikian penuturan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang diwakili Dra. Hj. Kustini, M. Si. Karena alasan itulah, Kota Singkawang menjadi salah satu sasaran program Peningkatan Wawasan dan Kemampuan Mubalighah dalam Penanganan dan Pendampingan  KDRT. Melalui workshop ini, mubalighah diharapkan berada di garda depan dalam melakukan penanganan dan pendampingan terhadap korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Pada hari Kamis tanggal 6 Juli 2012 para peserta workshop berkunjung ke Kantor Lembaga Konsultan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LKBH PeKa) Kalimantan Barat di Kota Singkawang. Pada kesempatan tersebut Rosita Nengsih SH, selaku Direktur LKBH menjelaskan, sampai saat ini lembaganya telah menangani beragam kasus kekerasan dengan berbagai bentuknya, seperti kekerasan psikis dan fisik terhadap istri, penelantaran anak, dan incest. Namun sesungguhnya kasus-kasus yang terjadi di masyarakat jauh lebih banyak, namun tidak dilaporkan karena berbagai alasan. Ibu Sinta (nama samaran), salah satu klien LKBH PeKa berkenan untuk menceritakan kasus kekerasan fisik maupun psikis yang dialaminya sejak awal pernikahan, dan hingga saat ini kasusnya masih dalam proses penanganan di pengadilan dan kepolisian. Dalam kesempatan tersebut Kepala Kankemenag Kota Singkawang menegaskan pentingnya upaya-upaya sinergis antara LKBH PeKA, majlis taklim, dan para penyuluh, baik penyuluh agama Islam, Kristen, Katolik, dan Budha dalam rangka menangani dan menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga.

Workshop ini secara resmi ditutup oleh Drs. H. Mukhlis mewakili Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Singkawang, beliau menyampaikan rasa gembira dengan telah terlaksananya kegiatan ini.  “Kami mengharapkan agar para mubalighah yang telah mendapat ilmu dapat diberdayakan dengan sebaik mungkin. Rencana yang akan kami lakukan dalam waktu dekat ini adalah mengaktifkan kembali BP4 dan melibatkan mubalighah yang telah mengikuti workshop ini untuk menjadi konselornya”, tuturnya.
Adapun rencana tindak lanjut yang diajukan dari peserta Workshop ini adalah akan aktif melakukan pendampingan terhadap korban KDRT; membentuk Women Crisis Center; membentuk Forum Konsultasi Keluarga KDRT. Untuk Kementerian Agama Pusat perlu meningkatkan pembinaan keluarga pasca pernikahan di tingkat Kota Singkawang dan untuk Kankemenag Kota Singkawang perlu memasukkan isu KDRT ke dalam program suscatin.

 
Hadang Arus Radikalisasi dengan Strategi berbasis Living Values Education PDF Print Email

Malang, 30/6 (Puslitbang 1) - Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang menyelenggarakan Seminar dan Workshop Penulisan Modul Pengembangan Studi Keislaman Berbasis Living Values Education (LVE) sebagai Strategi Deradikalisasi Paham Keagamaan Islam Transnasional Radikal. Acara ini diikuti oleh 50 aktivitis organisasi keislaman ekstra kampus yang berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Acara ini dilaksanakan pada tanggal 29 Juni-1 Juli 2012 di Hotel IMM Inn Malang, dan dibuka oleh Pembantu Rektor I UMM, Prof. Dr. Bambang Widagdo.

Menurut Ketua PUSAM, Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si, workshop dan penulisan modul dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap perkembangan Islam transnasional radikal yang merambah kampus dan memengaruhi cara pandang keagamaan mahasiswa. Syamsul Arifin menambahkan, untuk mengatasi dampak perkembangan ini diperlukan suatu strategi, salah satunya dengan mengembangkan studi keagamaan yang berbasis LVE. Dalam LVE terdapat 12 nilai kebajikan; co-operation, freedom, happiness, honesty, humility, love, peace, respect, responsibility, simplicity, tolerance and unity, lanjut Syamsul Arifin. Kedua belas nilai ini perlu dipahami dan diinternalisasikan kepada para aktivis organisasi keislaman ekstra kampus melalui studi keislaman.

Gagasan PUSAM mendapatkan dukungan dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Dalam sambutan pada acara pembukaan, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, PhD, menyatakan, dalam menghadapi arus radikalisasi dari kelompok Islam transnasional diperlukan suatu strategi deradikalisasi. Sejauh ini  Indonesia telah memiliki pengalaman dalam melakukan deradikalisasi terhadap pengikut Islam radikal. Puslitbang Kehidupan Keagamaan pernah bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam melakukan program deradikalisasi terhadap para pelaku tindakan radikal dan terorisme yang dipenjara. Mas'ud menambahkan, gagasan yang akan dicoba dikembangkan oleh PUSAM memiliki keunikan karena yang dijadikan sasaran deradikalisasi adalah mahasiswa. Gagasan ini perlu diapresiasi dan didukung sehingga ideologi, paham, dan gerakan Islam transnasional radikal dapat dibatasi perkembangannya. Mas’ud juga berharap, modul yang disiapkan oleh tim PUSAM akan menambah khazanah kepustakaan Islam untuk mencounter buku-buku radikal.

Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah lama memiliki program deradikalisasi. Program ini, menurut Abdurrahman Mas’ud, perlu terus dikembangkan karena dampak dari gerakan radikal banyak merugikan masyarakat. Pendekatan deradikalisasi yang digunakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama adalah pendekatan budaya. “Intinya kami telah melakukan pengembangan budaya dan peningkatan budaya damai dalam pesantren. Kami mengadakan workshop untuk pengembangan budaya damai di pesantren yang sudah dilakukan sejak tahun 2007 sampai sekarang. Kami juga mempunyai program yang dinamakan Peace Making, Peace Building, dan Peace Keeping yang dilakukan sejak tahun 2009 sampai sekarang. Latar belakang diadakannya kegiatan tersebut adalah bentuk komitmen pemerintah dalam membangun perdamaian, salah satunya dengan mencetak kader-kader perdamaian. Kegiatannya tidak hanya workshop tapi juga FGD yang dilanjutkan dengan PAR, peserta berasal dari lintas agama dengan rentang usia 20-30 tahun. Puslitbang juga telah melakukan Dialog Multikultural antara Majelis Agama-Agama Pusat seperti MUI, KWI, PGI, Walubi, PDHI dan Matakin dengan Majelis Agama-Agama Daerah. Kegatan ini telah dilakukan di 30 Provinsi.

Workshop yang digagas oleh PUSAM UMM ini selain menghadirkan narasumber Prof. H. Abdurahman Mas’ud, PhD, juga menghadirkan Bazri Zein, PhD (dosen UIN Malang), Budhy Munawar Rahman (Asia Foundation), dan Ali Fauzi, M.PdI (Adik Terpidana Mati, Amrozi).

 

 
Benarkah Indonesia semakin Tidak Toleran dalam Kehidupan Umat Beragama? PDF Print Email

“Secara semantik dan logika adalah salah besar menggunakan generalisasi kesimpulan bahwa Indonesia negara yang tidak toleran hanya dengan melihat satu atau dua kasus yang tidak dominan, untuk itu kita harus bedakan antara Fakta dan Opini“……….

 

 

Jakarta, 27/06 (Puslitbang 1) - Demikian pernyataaan Wakil Menteri Agama Prof. DR. Nasaruddin Umar dalam pembukaaan Seminar sehari yang bertema ‘Benarkah Indonesia semakin Tidak Toleran dalam kehidupan Umat Beragama’. Seminar ini diadakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI dan dihadiri oleh sekitar lima puluh peserta yang merupakan representasi akademisi, peneliti, Ormas keagamaan dan pemuka agama, dengan narasumber KH. Hasyim Muzadi (World Conference of Religions for Peace/ WCRP), Bonar Tigor Naispospos (SETARA Institute), Acep Sumantri (representasi Ditjen HAM Kemenlu), Prof.Dr. Ronald Lukens-Bull dari University of North Florida (penulis buku ‘Peaceful Jihad’), serta Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan.

Dalam kesempatan ini Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Prof.DR Machasin, mengatakan bahwa acara ini diselenggarakan berdasarkan beberapa kebutuhan tentang konfirmasi dan klarikasi mengenai potensi kerukunan dan konflik di Indonesia (toleran/intoleran), dan lebih lanjut diharapkan forum ini menjadi media untuk menyeimbangkan informasi yang berkembang di masyarakat mengenai dinamika kehidupan keagaman terkini, tentu saja berdasarkan fakta dan data yang faktual dan bukan berdasarkan opini semata.

Salah satu narasumber yang paling menarik perhatian media dan audiens adalah KH. Hasyim Muzadi. Kyai kharismatik tersebut dalam seminar itu mengatakan bahwa HAM yang digelindingkan oleh PBB dan dunia internasional dan dijadikan parameter global dalam menilai dinamika HAM di negara-negara lain - termasuk Indonesia, selaiknya  mempertimbangkan ‘local culture’ dimana  setiap negara memiliki sistem kenegaraan, sistem kemasyarakatan dan tata nilai yang khas dan unik dan lebih detail dijabarkan pada perundang-undangan. Semua hal tersebut harus djadikan pertimbangan yang substansial dalam menilai realisasi HAM dinegara terkait, sehingga jangan karena alasan HAM kemudian berdampak pada disintegrasi NKRI, tirani minoritas dan atau dominasi mayoritas.

Prof.Ronald menegaskan juga bahwa sebaiknya definisi toleran dan tidak toleran dikaji ulang agar tidak terjebak pada generalisasi persoalan, karena, menurut beliau selama melakukan penelitian di Indonesia khususnya tentang Radikalisme dan Pesantren beliau tidak mendapatkan kasus intoleransi berkembang secara massif. Satu-satunya hal yang tidak dapat dikompromi dan tidak ditoleransi oleh bangsa Indonesia adalah kolonialisme.

Seminar ini ditutup oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof.H. Abd. Rahman Mas’ud Ph. D, dengan peryataan bahwa : Kedamaian dan harmoni bukanlah satu hal yang  ‘taken for granted’ . Dua hal itu harus diupayakan oleh semua pihak dan elemen masyarakat, untuk itu kita semua harus melakukan optimalisasi peran dalam proses kerukunan dan harmoni, terutama di level akar ( grass-root).

Beliau juga mencontohkan salah satu program unggulan yang ada di Puslitbang Kehidupan Keagamaan yaitu ‘Dialog Mulitikulturalisme’ yang diadakan diseluruh 33 provinsi Indonesia. Program tersebut adalah bentuk nyata dari bentuk penanganan dan pengelolaan Negara atau Pemerintah dalam menumbuhkembangkan budaya damai di masyarakat umum .

 
<< Start < Prev 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Next > End >>

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.