Home /  Berita
Sikapi Perbedaan Itu secara Bijaksana PDF Print Email

Banjarmasin, 17/10 (Republika) -- Perbedaan pemahaman dan aliran di dalam Islam hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana. Perbedaan yang ada di dalam Islam harusnya bisa menjadi kekuatan positif dalam membangun ekonomi umat.

''Perbedaan itu adalah mozaik, yaitu potongan warna-warni yang bila dirajut akan membuat hidup kita lebih berwarna,'' kata Prof Machasin, kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama saat membuka acara dialog pengembangan wawasan multikultural antara pimpinan pusat dan daerah intern agama Islam di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (16/10).

Menurut Machasin, upaya menjembatani adanya perbedaan diantara para pimpinan ormas Islam menjadi hal yang sangat penting. ''Menyatukan visi bersama ini guna meningkatkan dan mengembangkan wawasan multikultural di kalangan umat Islam, kata dia, menjadi keharusan. ''Ini sebagai salah satu pondasi penting pemeliharaan kerukunan umat beragama,'' ujarnya.

Adanya berbagai ormas Islam yang tumbuh dan berkembang saat ini, menurut Machasin, justru memberikan warna. Diantara warna-warni itu, kata dia, mempunyai kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Dengan sedikit rasa seni, katanya, warna-warni tersebut akan dapat dikombinasikan sehingga kelemahan warna yang satu akan bisa tertutupi. ''Artinya, ormas Islam yang bermacam-macam itu akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Kekuatan itu dapat digunakan untuk melakukan kerja-kerja sosial dan keagamaan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya.''

Sementara itu Kepala Kantor Wilayah Kemenag Kalimantan Selatan, Abdul Halim H Ahmad, pengembangan dan peningkatan wawasan multikultural antara pimpinan agam merupakan kebutuhan yang harus dilakukan.

Munculnya aliran atau paham keagamaan yang dipandang sesuai atau tidak sesuai dengan pandangan mainstream, kata dia, tak lepas dari pemahaman.

Sejauh ini tingkat pemahaman dan pengamalan ajaran agama oleh masyarakat, dinilai Abdul Halim, masih dirasa kurang memadai. ''Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya bersifat substansial,'' katanya.

Sementara itu kegiatan yang digelar di Kalsel ini akan dihajat hingga 20 Oktober mendatang. Dalam acara ini hadir sejumlah perwakilan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, Persis, Al Irsyad, Dewan Masjid Indonesia, Al Wasliyah, hingga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII).

 
Pisah Sambut Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan PDF Print Email

“Alhamdulillah kami telah menyelesaikan beberapa hal besar dan menjadi program unggulan di Puslitbang Kehidupan Keagamaan, diantaranya penerjemahan buku kearifan lokal”. Hal itu disampaikan Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D dalam sekapur sirih acara Pisah Sambut Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Prof Rahman yang kini mendapat tugas baru sebagai  Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat menyampaikan terima kasih kepada semua keluarga besar Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah bekerjasama selama ini.  "Banyak pengalaman manis dan berharga selama saya di Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Tentu ada pahit juga,  tapi lebih banyak manisnya", demikian kata Rahman.

Sementara Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan yang baru, Prof Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan dalam sambutannya mengatakan terima kasih kepada Prof Abd Rahman Mas’ud atas dedikasinya di Puslitbang Kehidupan Keagamaan.  "Banyak pengalaman dari Prof. Rahman, mari kita lanjutkan apa yang telah diwariskan oleh beliau.  Bidang Kehidupan Keagamaan mudah-mudahan bukan hal baru bagi saya yang pernah memimpin Dialogue Center di UIN Yogyakarta."  Tapi saya yakin dalam perjalanannya ke depan berharap dukungan semua pihak terutama para peneliti senior disini,  para Kabid/Kasubbid dan staf.  Saya akan meneruskan apa yang telah dicapai Prof Rahman.  Tentu terus berinovasi agar hasil-hasil litbang ini menjadi rujukan akademis dan pijakan bagi kebijakan Kementerian Agama", ujar Nur Kholis.

Dalam kesempatan tersebut dilakukan penyerahan simbolis Dokumen Program Kegiatan yang telah dilaksanakan dan yang belum dilaksanakan, diserahkan langsung oleh Prof. Abd. Rahman Mas’ud kepada Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Prof.Dr Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan.

 
The Deradicalization Mindset Transformation Model PDF Print Email

ICCE 2011, held on 21-22 September 2011, was organised by the International Centre for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR), a specialist centre of the S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) at the Nanyang Technological University (NTU) in Singapore.The conference provided a good opportunity for security specialists, psychologists and scholars active in both research and in the process of community engagement to discuss community engagement methodologies and concepts developed to build social resilience in their respective countries. Prof. H. Abd. Rahman Mas'ud, Ph.D, Head of Center for Research and Development of Religious Life, became one of the panelists at the conference.

Prof. Mas`ud examined the role of the pesantren, Indonesian Islamic boarding schools, in the context of the issue of radicalisation. He argued that the pesantren operated as a moderating influence that teaches the correct and peaceful interpretation of Islam.

Prof. Mas`ud began his presentation by describing a recent workshop held on the role of leaders in Indonesian Islamic boarding schools or pesantren. The workshop intended to build a cooperating network among pesantren with regards to tackling radicalisation and sharpening existing ideas about de-radicalisation. From the perspective of pesantren leaders, the culture of radicalisation fundamentally opposed that of the pesantren. Terrorism was not jihad; terrorism contradicted the peaceful nature of Islam. He reminded the audience that while jihad was a struggle, pesantren leaders considered jihad to be a struggle against ignorance, poverty and underdevelopment.

He then explained how the pesantren could emerge as an effective institution to counterradicalisation. The pesantren did not separate Islam from the cultural roots of Indonesia and therefore were less susceptible to foreign and extremist interpretations of Islam. According to Prof. Mas`ud, the pesantren could and had to fight radicalisation in a variety of ways. Firstly, the pesantren must lead the way in teaching its students the value of peace, brotherhood, and love. Therefore, the pesantren must revise their curricula accordingly to promote these virtues. Second, pesantren teachers can detect early on which students may be susceptible to extremist ideologies. Third, the pesantren also must teach self-dependence and entrepreneurial skills to all students as these skills will help them become more financially secure and therefore less susceptible to radicalisation. After which, he concluded by recommending the study of peace assistance, promoting a guide book Assistance and Strengthening Peace, and expanding formal peace education in schools.

 
Semiloka "Model Pluralisme dan Toleransi Umat Beragama Masyarakat Tegal" PDF Print Email

Tegal, 08/10 (Puslitbang 1) - “Masyarakat Tegal dikenal dengan “Polos, Lugas, Terbuka’. Ini merupakan salah satu nilai tambah (value added) bagi hubungan kerukunan umat beragama”, demikian pernyataan Prof. Abdurrahman Mas’ud, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan dalam sambutannya pada Semiloka  bertajuk “Model Pluralisme dan Toleransi Antar Umat Beragama Masyarakat Tegal”, yang diselenggarakan Yayasan Majelis Taklim Faydlul Barokah Pangeran Purbaya Jatimulya Tegal bekerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Sabtu, 6 Oktober 2012. Dalam Semiloka yang dibuka resmi oleh Wakil Bupati Tegal Hery Sulistyawan,  Abdurrahman Mas’ud menyatakan bahwa Masyarakat Tegal adalah pekerja keras (hard workers)  dan pedagang yang telah meneruskan tradisi Walisongo, yang dengan semangat bekerja keras menyebarkan Islam melalui berdagang di Pantai Utara termasuk Tegal.

Abdurrahman Mas’ud dalam sesi materinya juga menyatakan kekagumannya dalam acara workshop di Tegal ini, didahului dengan Sholawat tanpo wathon Gus Dur.  Sebagai Tokoh Bangsa, Gus Dur telah memberikan pelajaran berharga bagi pluralisme dan toleransi antar umat beragama di Indonesia.  Mas’ud  mengungkapkan fenomena radikalisme keagamaan di kalangan masyarakat. Untuk itu perlu upaya strategis, sistematis dan menyeluruh untuk mencegah konflik antarumat beragama dan radikalisme.

Sementara Wakil Bupati Tegal dalam sambutan sekaligus membuka acara, menyambut baik kegiatan ini sebagai bukti partisipasi pemuka agama terhadap perkembangan kehidupan keagamaan, memberikan arah dalam membangun dan mengayomi masyarakat khususnya di kabupaten Tegal.  Sehingga berharap dapat memberikan peningkatan sikap, pengetahuan, penyegaran informasi,  dan perluasan wawasan tentang hal-hal yang berikaitan adanya isu-isu SARA dengan memelihara kepekaan dan kewaspadaan terhadap gejala yang dapat mengancam kedamaian.

H. Samsuri Gondhokusumo, Sejarawan Tegal, menjelaskan letak geografis Tegal yang sangat strategis di posisi silang Pantura, menjadikan Tegal sebagai kota transit lalu lintas ekonomi,  etnis dan budaya.   Akulturasi budaya berlangsung cepat, penduduk asli dan pendatang berbaur secara alami. Tidak ada penguasaan mayoritas maupun minoritas, karenanya masyarakat Tegal adalah masyarakat plural.  Para pemuka agama apa pun tidak mengajarkan eksklusifisme, tetapi sesuai ajaran agama masing-masing untuk selalu damai.  Nilai sosial sebagai kearifan lokal dimiliki masyarakat Tegal diantaranya semboyan “Laka Musuh Bala Kabeh” yang artinya “Kita tidak punya musuh, semua sahabat."

Ketua FKUB Jawa Tengah, Abu Hapsin, Ph.D menekankan bahwa setiap agama agar menjadi basis moral dan spiritual dalam rangka membangun kehidupan bernegara dan berbangsa.  Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi seluruh umat beragama untuk secara bersama merumuskan nilai-nilai agama untuk kemudian disumbangkan kepada Negara.  Para tokoh agama sangat diharapkan untuk duduk bersama membicarakan persoalan bangsa dan negara, mementingkan  sikap terbuka dalam menerima saran maupun kritik dari yang lain, untuk membangun hubungan harmonis antar umat beragama. Sikap terbuka ini menjadi prakondisi agar dialog antar umat beragama bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan gagasan, baik teoritis maupun praktis.

Semiloka yang dihadiri oleh 50 peserta lebih dari Ormas Keagamaan, Pimpinan Pondok Pesantren, Organisasi Kepemudaan, LSM ini berlangsung selama 3 hari. Beberapa tema yang dibahas antara lain Kebijakan pemerintah tentang kerukunan umat beragama, membangun toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan keagamaan, sejarah dan kearifan lokal yang mendukung kerukunan masyarakat Tegal, model kerukunan umat beragama, serta tantangan pluralisme dan cara mengatasi konflik. [HB]

 
Mengubah Persepsi dengan Dialog PDF Print Email

"Upaya dialog harus dilakukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dalam menyelesaikan persoalan."

Jakarta,28/09 (Republika) - Ada banyak kanal untuk melawan berbagai kasus  penistaan terhadap Islam dan simbol-simbol kesuciannya. Memberontak dengan cara kekerasan, bukan cara yang bijak. Justru jika keberingasan itu muncul, akan menjadi pembenaran hujatan mereka. Sebab, menurut  Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama,Prof Abdurrahman Mas’ud, MA, PhD, penistaan itu sengaja dilakukan oleh pihak tertentu untuk mendiskreditkan Islam menggunakan media yang bias. “Karena itu, harus dilawan,” katanya.

Ini penting, katanya, mengingat keinginan hidup berdampingan itu adalah cita-cita bersama. Tak terkecuali masyarakat barat pada umumnya. Saat berbagai kasus penghinaan Rasulullah SAW muncul, kecamanpun muncul dari penduduk sipil. Persoalannya, tak ada perangkat hukum kuat untuk menjerat pelaku.Padahal, jika ada aturan hukumnya, minimal mereka menghormati dan tidak melukai umat agama lain. Selama belum aturannya ada,disharmoni antara barat dan islam akan terjadi pasang surut.

Bentuk perlawanan itu, katanya, bukan melulu kekerasan karena masih ada cara-cara bijak, intelek, santun yang bisa dilakukan umat Islam, salah satunya berdialog. Dialog ini bisa dilakukan antarpemerintah, antara ormas dan ormas, atau orang per orang.

Dialog bersama dilakukan dengan format memberikan informasi dan edukasi yang seluas-luasnya, sehingga pihak Barat mengerti tentang Islam. Sebaliknya, pihak Barat pun menjelaskan bagaimana versi dari pihak Barat. Ini penting karena penyebab penistaan bisa juga akibat faktor ketidaktahuan dan kebodohan pelakunya.

Dialog bisa juga dilakukan dengan si pelaku penistaan agar mengetahui argumentasi dari si pelaku. “Kita jelaskan bagaimana perkembangan Islam, kalau mereka tidak percaya diharapkan  mengupas sendiri rasa keingintahuannya tentang Islam“, tambahnya.

Pemerintah, katanya rutin berdialog dengan negara-negara Barat. Di antaranya Norwegia. Bahkan, telah memasuki kali ke-12. Bentuknya dialog antara pemerintah, ormas, dan tokoh-tokoh dari Norwegia. Materi pertemuannya telah disusun, lanjut Rahman, antara lain mengagendakan bagaimana menghindari disharmonisasi, seperti Islamfobia ataupun Baratfobia.
Dialog Parlemen    

Dialog yang dimaksud, efisien pula dijalin antar parlemen negara. Ini bisa menyamakan persepsi terkait perbedaan menyikapi konflik antar umat beragama. Hal itu berusaha dibuktikan Kepala Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Surahman Hidayat, melalui dialog yang bertajuk  “ Interfaith Dialogue”. Perhelatan itu dijadwalkan berlangsung pada 20-24 November 2012 di Bali.

Ia mengatakan, dialog antar parlementarian sangat relevan dengan kondisi internasional terkini. Melalui acara ini kedua pola pemikiran yang berbeda bisa saling terbuka. Ia menilai, ide mempertemukan legislator dari seluruh benua, tidak berlebihan dan bisa berbuah manis  pada terciptanya perdamaian.

Peristiwa – peristiwa tragedi kemanusian yang dipicu perbedaan pandang serta pikir dalam kerangka agama dan kultur, ungkap legislator Partai Keadilan Sejahtera ini, Rabu (26/9) kian merebak. Dalam satu dekade terakhir, komitmen moral antar bangsa menurun. Sehingga rasa toleransi kian terkikis akibat tidak ada upaya menindaklanjutinya kebawah payung hkum untuk menyelesaikanya kasus-kasus kemanusiaan tadi.   

“Jalan hukum selalu melewati jalur legislasi. Tepat rasanya  parlementarian untuk mengusung Piagam Moral agar ada pandangan mengartikan kekuasaan tanpa kekerasan serta saling menghormati, itu nantinya yang akan kita eksplorisasi,“  cetus anggota komisi X DPR RI ini.

Tekad itu juga bakal diwujudkan dalam secercah ide, yaitu menghapuskan pemakaian kalimat ‘penistaan’ ataupun ‘penodaan’ dalam setiap penyebutan peristiwa-peristiwa akibat perbedaan
persepsi.

Hilangnya verbalisasi tadi, diharapkan memunculkan minat publik agar tak terpancing melakukan hal yang sama. Sekaligus menghormati setiap simbol-simbol yang disakralkan oleh masing-masing umat beragama.

“Penyamaan persepsi bisa dimulai dari hal-hal kecil tadi. Ini bisa jadi bahaya laten masyrakat kalau akar masalahnya tidak bisa ditemukan dan diatasi,” katanya.
Ia berharap, penilaian seperti itu bisa didorong menjadi sebuah regulasi yang proaktif untuk menumbuhkan rasa toleransi beragama. Di sisi lain, umat juga berupaya menghapus fanatisme sempit yang mengganggu pemikiran pihak-pihak yang kurang fokus pada sebuah objek sakral. Harmonisasi antar negara juga bergantung pada pemikiran umat beragama.” Sehingga negara memang harus concern agar regulasi yang dibuatnya bisa menyerap aspirasi hidup keberagamaan umat,” katanya. (Ed:nashih nashrullah)

 
<< Start < Prev 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Next > End >>

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.