Home /  Berita
Mencari Format Pengembangan Wadah Kerukunan dalam Memperkuat Ketahanan Masyarakat Palu Selatan PDF Print Email

Palu, 19/11 (Puslitbang 1) - “Perbedaaan yang ada di antara kita hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana.  Bukan masanya lagi perbedaan dijadikan sebagai alasan perseteruan antara kita, tetapi seharusnya perbedaan menjadi kekuatan positif bagi terciptanya sinergi yang indah di antara kita.  Perbedaan adalah mozaik, yakni potongan warna-warni yang bila dirajut akan membuat hidup kita lebih berwarna”, demikian pernyataan Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof Dr. H.M. Nur Kholis Setiawan, MA yang diwakili oleh H. Ibnu Hasan Muchtar, Lc, MA selaku Kabid Litbang Hubungan Antarumat Beragama dalam kata sambutan sekaligus membuka secara resmi workshop bertajuk “Kajian tentang Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal”, yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerja sama dengan Kecamatan Palu Selatan di kota Palu, Senin, 19 November 2012. Kapus menyatakan bahwa keragamaan eksistensi agama-agama yang ada,  selain merupakan mozaik yang memperkaya khazanah, juga mengandung potensi ancaman bagi persatuan bangsa.  Agama selain mempunyai watak dasar sebagai ajaran kasih sayang, juga mengandung anasir simbol dan pemaknaan kontestatif dan kompetitif dalam ranah tertentu yang tentu saja berarti konfliktual.  Hal ini dapat dilihat pada beberapa problem pendirian rumah ibadat. Melalui kegiatan ini, Nur Kholis mengajak menjadi wahana sinergi program kongkrit kesadaran bersama menyepakati suatu bentuk komunikasi tertentu.  Bisa berbentuk FKUB tingkat kecamata atau disesuaikan kondisi di kecamatan Palu Selatan ini, sehingga diharapkan dapat mengembangkan aktivitas untuk mendayagunakan kerukunan umat beragama guna peningkatan ketahanan masyarakat.

Acara didahului sambutan Camat Palu Selatan yang diwakili oleh Sekretaris Camat.  Dalam sambutannya, Camat mengatakan bahwa kegiatan ini penting sebagai sarana untuk memperbarui dan menyegarkan para peserta dari perwakilan agama tentang pentingnya kerukunan umat beragama, sekaligus ajang silaturahmi antarsesama.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Palu, dalam sambutan tertulis oleh Kasi Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Drs. Azham P. Labino, mengatakan merasa tersanjung bahwa kegiatan yang sangat penting ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan Palu Selatan. Dengan demikian kami merasa bahwa Kota Palu sesungguhnya aman untuk dikunjungi dan peristiwa hari ini bisa menepis pemberitaan diluar yang seakan-akan mengesankan bahwa Palu sekarang ini selalu identik dengan kerusuhan.  Kankemenag berharap workshop ini melahirkan rumusan untuk  meningkatkan peran antor Kemenag dan masyarakat lokal khususnya di kota palu  dalam menjaga kerukunan dan harmonisasi antar umat beragama,  yang selanjutnya terjadi dialog menemukan solusi strategis dan kebijakan Kemenag dan Pemerintah Kota Palu terhadap masalah kerukunan umat beragama yang berbasis kearifan lokal di masyarakat.

Materi Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 disampaikan oleh H. Ibnu Hasan Muchtar, Kabid Litbang Hubungan Antarumat Beragama Puslitbang Kehidupan Keagamaan.   Sosialisasi PBM ini sangat penting karena merupakan satu-satunya regulasi yang mengatur hubungan antarumat beragama, tegasnya.  “Kita berharap RUU Kerukunan Umat Beragama yang telah menjadi Program Legislasi Nasional di DPR segera dibahas dan diundangkan untuk mengatur dan memberi kepastian hukum dalam hubungan/kerukunan antarumat beragama di Indonesia”, ungkap Ibnu.  Ibnu juga menambahkan bahwa dalam PBM ini terdapat 3 substansi yaitu:  Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama  dan Pendirian Rumah Ibadat.

Sementara Prof(R) H.M. Yusuf Asry, M.Si, memaparkan hasil penelitiannya, yang antara lain  bahwa di kecamatan Palu Selatan terdapat kearifan lokal Nosarara Nosabatutu (bersaudara dan bersatu) yang menjadi faktor pendukung kerukunan.  Selain itu telah berperannya tokoh adat/masyarakat dan FKUB semakin dirasakan manfaatnya oleh seluruh komunitas pemeluk agama.  Tetapi di sini pula terdapat potensi konflik dikarenakan faktor-faktor di antaranya: sentimen solidaritas keetnisan yagn berkelindan dengan ekonomi, pendirian rumah ibadat yang belum mengacu pada PBM Tahun 2006, belum ada kesahihan pendataan pengguna rumah ibadat dan persetujuan warga serta sementara pemuda dan remaja pengangguran rawan terhadap pengaruh provokator, dan terlibat pada tindakan kriminal dengan miras sebagai pemicunya.  Ketahanan masyarakat Palu Selatan secara umum kondusif cukup tinggi, karena tidak mudah terpancing isu provokator, pungkasnya.  Demikian pula relasi antarumat beragama di Palu Selatan adalah kondusif cukup rukun, namun bentuk kerukunan saat ini belum produktif dalam kerjasama antarkomunitas agama-agama.

Workshop yang dihadiri oleh 40 peserta dari perwakilan agama-agama yang ada di kecamatan Palu Selatan akan berlangsung selama 3 hari kedepan. Selain materi sosialisasi PBM dan deskripsi hasil penelitian, juga dibahas antara lain Kebijakan Pemerintah Kota Palu tentang Kerukunan Umat Beragama, Peran FKUB tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, Kebijakan Kemenag Kota Palu tentang kerukunan umat beragama, pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pengembangan wadah perspektif Islam, pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pengembangan wadah perspektif Kristen, dan pandangan masyarakat tentang pengembangan wadah kerukunan dan kearifan lokal.  Pada akhir kegiatan ini diharapkan dapat terbentuk format pengembangan wadah kerukunan yang dapat memperkuat ketahanan masyarakat Palu Selatan. (HB)

 
Kemajuan Membutuhkan Preservasi dan Perubahan PDF Print Email

Jakarta, 14/11 (Puslitbang 1) - “Dalam upaya mengembangkan dunia pengetahuan, maka perlu preservasi (memelihara) karya yang telah diwariskan oleh para pendahulu dan sekaligus melakukan berbagai upaya kreatif untuk melakukan berbagai perubahan.” Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan dalam sambutannya di acara pembukaan kegiatan Bedah Buku “The 7 Islamic Daily Habits” karya  Harjani Hefni, Lc, MA yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Kegiatan Bedah Buku tersebut diselenggarakan di Hotel Sofyan Menteng Jakarta Pusat tanggal 14 Nopember 2012 lalu.

Dalam sambutannya tersebut, Nur Kholis Setiawan  mengutip pernyataan Imam Jalaluddin dalam Muqaddimah Tafsir Jalalain, bahwa ada 2 hal yang penting dalam tujuan penulisan sebuah karya pengetahuan: Pertama, adanya kontinuitas yaitu preservasi ilmu pengetahuan. Kedua, adanya perubahan, yaitu pengkayaan preservasi melalui pengembangan pengetahuan. Untuk itu kegiatan Bedah Buku menjadi penting bagi Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya-upaya pengembangan ilmu pengetaahuan khususnya di bidang keagamaan.

Kegiatan Bedah Buku “The 7 Islamic Daily Habits”  tersebut dihadiri oleh 60 orang peserta, terdiri dari perwakilan ormas keagamaan, penyuluh agama, para akademisi, widyaiswara serta peneliti di lingkungan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, acara ini juga  dihadiri oleh pembedah  buku yaitu: Harjani Hefni, Lc. MA (pengarang buku), dan 2 orang narasumber yang membahas dan mengkritisi buku yaitu Dr. H. Abdul Aziz, MA (Peneliti Utama), dan  Ir. Sofie Emmy, MMA (Widyaiswara Utama).

Sementara itu Prof. Dr. Machasin, MA selaku Plt. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam sambutannya menyebutkan pentingnya mengapresiasi buku-buku karya anak bangsa. Dalam sambutannya beliau juga menyinggung tentang maraknya fenomena radikalisme agama, bahwa para pelaku radikalisme itu memiliki tiga latar belakang utama yaitu: Pertama, pengetahuan agama yang praktis tetapi tidak disertai pertimbangan yang matang. Kedua, Indoktrinasi agama yang tidak disertai kematangan bertindak, mana yang perlu ditinggalkan dan mana yang perlu dilakukan. Ketiga, tidak sambungnya pengamalan agama dan perilaku yang terpuji. Indikatornya ada orang yang rajin shalat tapi korupsi, atau ada yang rajin ibadah tapi tidak baik dengan lingkungan, bahkan berperilaku merusak, perilaku agama yang ditampilkan sering berbeda dengan pesan moral agama. Untuk itu menurut beliau, syiar agama itu penting, namun pendalaman agama juga harus ditingkatkan.

Machasin menyatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia makin hari makin jauh dari Islam ke-Indonesiaan, Hal ini disebabkan karena sedikitnya buku-buku yang ditulis oleh tokoh Islam Indonesia, jika adapun buku itu tidak banyak dipelajari, misalnya fiqh karya Hasbi As-Siddiqy dan tafsir karya Soleh Darat, keduanya tidak dipelajari. Sehingga kita lebih banyak membaca buku-buku yang bukan berasal dari Indonesia. Akibatnya Islam yang dipelajari tidak kontektual dan jauh dari nilai-nilai ke-Indonesiaan (kebangsaan). Untuk itu buku-buku karya bangsa Indonesia perlu diapresiasi.

Beliau juga menyampaikan bahwa untuk itu saat ini bangsa Indonesia membutuhkan buku yang selain mengajak pada kesalehan individu, namun juga kesalehan sosial. Saat ini pendidikan agama seakan lebih menekankan aspek kognitif, seolah sama dengan pendidikan yang bisa diukur dengan ujian tertulis. Padahal agama adalah pengamalan., sepertinya selama ini kita banyak memiliki resep tapi tidak manjur dan tidak dilaksanakan orang, karena ternyata resep yang dibuat tidak berhasil merubah perilaku. Untuk itu menurut beliau dibutuhkan karya-karya yang mampu mendekatkan antara moral agama dengan perilaku agama. (AJW)

 
Tingkatkan Upaya Kerukunan melalui Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Lokal PDF Print Email

Pasca ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Dan 8 Tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006  hingga saat ini di Provinsi Riau telah terbentuk wadah kerukunan yang dinamakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat provinsi dan 13 kabupaten/kota se-Riau.

Dari perspektif kerukunan, provinsi Riau secara umum adalah kondusif, baik antar maupun intern umat beragama. Hal ini terwujud karena buah kebijakan pemerintah daerah, kantor Kemenag, peran aktif FKUB, dan pemuka agama. Namun Riau pun tidak lepas dari potensi konflik, sehingga perlu dilakukan upaya penguatan kerukunan melalui kemungkinan pengembangan wadah FKUB dan lembaga sejenisnya, serta meningkatkan fungsi kearifan lokal. Dengan demikian diharapkan tercipta ketahanan lokal untuk memperkuat  kedamaian.

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI bekerjasama dengan Kantor Kemenag Kota Pekanbaru  menyelenggarakan Workshop Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal Kecamatan Senapelan bertempat di Furaya Hotel Pekanbaru, yang berlangsung hari  Sabtu hingga Senin, tanggal 10-12 Nopember 2012.

Kegiatan ini dibuka pada hari Sabtu 10 Nopember 2012 oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof. Dr. H.M. Nur Kholis Setiawan, MA, dihadiri pula oleh Kepala Kemenag Provinsi Riau, Tarmizi serta Kepala Kantor Kemenag Kota Pekanbaru Edwar S. Umar. Workshop ini diikuti oleh 40 peserta yang mencakup unsur mewakili pemimpin formal (muspika, lurah/kades) dan informal tingkat kecamatan meliputi tokoh agama (kyai, pendeta, pastor, mubaligh), tokoh masyarakat/adat dan tokoh pemuda.

Nur Kholis menyatakan workshop ini dilakukan di Kota Pekanbaru karena wilayah ini adalah rukun. Selain untuk memperkuat kerukunan yang ada, kegiatan ini juga dimaksudkan agar daerah lain dapat mengambil pelajaran dari kerukunan di Riau, termasuk perlu atau tidaknya pengembangan dan/atau pembentukan wadah kerukunan.

Terpilihnya daerah ini juga didukung oleh hasil penelitian singkat tentang potensi konflik dan faktor kerukunan di lokasi kegiatan. Menurut Peneliti (Bashori A, Hakim dan Haidlor Ali Ahmad), Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru dipilih karena beberapa pertimbangan antara lain kerukunan antarumat beragama yang kondusif ditengah masyarakat yang heterogen, juga karena daerah ini merupakan kecamatan tertua, cikal bakal kota Pekanbaru.

Nur Kholis juga menyatakan bahwa “beragama adalah hak tiap orang, namun dalam mengekspresikannya tidak boleh mengganggu hak orang lain”, dalam menjawab pertanyaan seputar  PBM No. 9 dan 8 tahun 2006. Agar kerukunan tidak terganggu sekaligus terpeliharanya kedamaian, maka diperlukan aturan. Inilah filosofi lahirnya PBM hasil karya majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI PHDI, WALUBI dan MATAKIN) yang didampingi oleh pemerintah (Dirjen Kebangpol Kemendagri dan Kepala Badan Litbang Kemenag RI). Rumusan SKB tersebut dibahas dan disusun oleh majelis-majelis-majelis agama, selanjutnya dibuatkan legalisasinya oleh Pemerintah dalam bentuk SKB. Dalam menjawab  kemungkinan SKB tersebut disempurnakan, Nur Kholis mempersilahkan agar membicarakannya dengan masing-masing majelis agamanya.

Kegiatan ini dilaksanakan pada empat daerah, selain di Pekanbaru Provinsi Riau  ini, juga di Kabupaten Badung Provinsi Bali, menyusul di Kota Palu Sulawesi Tengah, dan Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

 
Masjid, Salah Satu Pilar Penting Pembangunan Masyarakat PDF Print Email

Jakarta, 2/11 (Puslitbang 1) - “Masjid adalah salah satu pilar penting bagi pembangunan masyarakat, untuk itu jika ingin membangun masyarakat, penting dan strategis jika dilakukan upaya-upaya pemberdayaan masjid secara serius,” demikian dikatakan Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan saat membuka kegiatan Lokakarya "Pengembangan Fungsi Masjid sebagai Pusat Pemberdayaan Umat" yang berlangsung selama 3 hari, tanggal 2 – 4 Nopember 2012. Nur Kholis mengatakan ada 3 hal penting yang dilakukan saat Rasulullah membangun Kota Madinah pascahijrah yaitu: membangun masjid, memperkuat persaudaraan khususnya Muhajirin dan Anshor, dan membuat ‘perjanjian’ antara kelompok di Madinah. Apa yang dilakukan Rasulullah ini penting untuk kita jadikan lesson learned. Kegiatan Lokakarya yang bertempat di Hotel Bintang, Jl. Raden Saleh Jakarta Pusat tersebut diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Yayasan el- Quds Jakarta.

Sementara itu, Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph. D, yang diundang sebagai salah seorang narasumber di sesi awal kegiatan menyampaikan, saat ini kenyataannya peranan masjid tidak lagi signifikan dalam mengakses permasalahan umatnya. Kelemahan masjid ini dipengaruhi oleh peranannya yang lebih dominan direkonstruksi sebagai institusi ibadah mahdhah (ritual) ketimbang ibadah ghairu mahdhah (sosial). Masjid lebih banyak dijadikan ajang pergumulan retorika dakwah yang kadang tidak membumi dan dangkal dari pesan-pesan yang dapat memberdayakan kemampuan umat. Di beberapa kota di Eropa kadang kehadiran masjid menjadi sumber perpecahan, masyarakat muslim di sana yang tadinya bersatu, kemudian terpecah-pecah setelah didirikan masjid, karena pengurusnya bersifat sektarian. Di dalam kesimpulan pemaparannya Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph. D menyampaikan perlunya revitalisasi masjid yaitu mengembalikan fungsi masjid seperti di jaman Rasulullah yang memiliki multifungsi yaitu disamping tempat untuk ibadah juga untuk membina dan mengurusi seluruh kepentingan umat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, bahkan militer.

Acara lokakarya ini dihadiri 40 orang pengurus masjid dari Jabodetabek sebagai peserta. Sejumlah nara sumber dihadirkan dalam kegiatan ini, yaitu:   Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph. D (Kepala Puslitbang Lektur Pendidikan Agama dan Keagamaan), Dr. Nurudin, MA (Ketua Yayasan Elquds), M. Nasir Tajang, MM (Yayasan Baitul Maal BRI), M. Anwar Sani (Lembaga Zakat Al Azhar), AM. Hasan Ali, MA (Komite Remunerasi dan Nominasi BRI Syariah), KH. Abdul Manan, Abdul Ghani, MA (Ketua LTM NU), dan Rakhmad Jailani Kiki, MM (Ketua Litbang Masjid Jakarta Islamic Center).

 
Radikalisme adalah Anak Kandung Globalisasi PDF Print Email

Denpasar, 6/11 (Puslitbang 1) - “Radikalisme adalah anak kandung globalisasi”, demikian pernyataan Wakil Menteri Agama Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar saat menyampaikan Keynote Speech dalam  kegiatan Temu Riset Keagamaan Tingkat Nasional X yang dilaksanakan tanggal 6-9 Nopember 2012 di Hotel Grand Mega Resort, Kuta-Bali. Menurutnya kemajuan iptek telah memaksa hadirnya globalisasi yang melahirkan suatu model peradaban yang kehadirannya lebih cepat dari kesiapan masyarakat itu sendiri. Hal ini telah menimbulkan multiple shock, sebagai contoh paham Asy’ariyah yang baru berada satu tingkat di atas Jabariyah, dipaksa berhadapan dengan Abduhisme (paham Muhammad Abduh) yang grade-nya berada dua tingkat di atas Mu’tazilah. Hal demikian telah melahirkan theology shock, yaitu kepanikan teologi sehingga lahirlah radikalisme. Jadi radikalisme sesungguhnya anak kandung dari globalisasi.

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa keberhasilan Kementerian Agama (Kemenag) tidak hanya diukur dari keberhasilan memperoleh WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) tapi sejauhmana Kemenag dapat mengakrabkan ajaran agama dengan pemeluknya.  Dampak globalisasi telah melahirkan masyarakat yang hedonis, sehingga antara ajaran agama dan pemeluknya memiliki jarak yang jauh. Prof. Dr. H. Nazarudin Umar mengatakan salah satu tugas Kemenag adalah bagaimana mengartikulasikan ajaran agama dengan baik, sehingga masyarakat dapat enjoy dalam beragama dan mengamalkan agama dengan baik. Selama ini agama masih sering dianggap sumber ‘masalah’. Tugas tersebut menurutnya dapat dilakukan oleh para peneliti Balitbang Kemenag.

Disamping menyampaikan Keynote Speech, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar dalam kesempatan tersebut juga membuka acara secara resmi. Kegiatan Temu Riset ini mengambil tema “Riset Keagamaan dalam Lintasan Peradaban di Indonesia“,  diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag dan secara teknis dilaksanakan oleh Puslitbang Kehidupan Kegamaan.

Kegiatan ini dibuka dengan tarian khas Bali sebagai ungkapan selamat datang. Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam laporan pelaksanaan panitia mengatakan bahwa penyelenggaraan pembangunan di bidang keagamaan termasuk salah satu sektor yang rumit. Sektor ini terkait langsung dengan keyakinan individual (iman) dan juga nilai-nilai sosial yang sudah mengakar dalam masyarakat. Agama tidak hanya ditempatkan sebagai penunjang pembangunan, bahkan agama merupakan salah satu tujuan dalam pembangunan nasional. Untuk itu riset agama dan keagamaan menjadi hal yang penting untuk menganalisis kasus-kasus dan merekomendasikan solusi-solusi yang menjadi dasar pengambilan kebijakan Kementerian Agama. Untuk itu menurut Nur Kholis, Temu Riset ini sangat penting karena kegiatan ini akan lebih mendorong para peneliti di bidang agama dan keagamaan dalam mengembangkan diri, baik untuk kepentingan pengembangan keilmuan ataupun riset berbasis kebijakan. Diharapkan melalui kegiatan ini, terjadi peningkatan kualitas penelitian sehingga dapat tereksplorasi persoalan-persoalan kehidupan keagamaan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan.

Sementara itu Prof. Dr. Machasin Kepala Badan Litbang dan Diklat dalam sambutannya mengatakan bahwa tugas penelitian adalah mengkaji sedalam-dalamnya suatu masalah atau persoalan, kemudian mencoba untuk meramalkan dan mengontrolnya. Mengungkap apa yang dikatakan Muhammah Arkoun, menurutnya penelitian keagamaan disamping harus scientific, juga harus aplicated, yaitu dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa.

Kegiatan Temu Riset Kegamaan Nasional X diikuti oleh 120 orang peserta  terdiri dari para peneliti utama dan peneliti muda di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, para pejabat di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, dan para akademisi (dosen/peneliti) dari beberapa perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama, serta beberapa peneliti dari beberapa lembaga penelitian. (AJW)

 
<< Start < Prev 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Next > End >>

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.