Home /  Berita
Eksploitasi Perempuan Harus Dihentikan PDF Print Email

Jakarta, 3/12 (Puslitbang 1) - “Problem perkawinan tidak hanya dialami oleh umat Islam tapi juga umat agama lain, bahkan para pemimpin negara-negara maju juga beberapa diantaranya ada yang terlibat skandal perkawinan.” Hal tersebut disampaikan Prof. Machasin, MA Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama saat membuka Seminar Hasil Penelitian tentang Implementasi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Beliau juga menyatakan bahwa untuk kasus di Indonesia problem perkawinan banyak karena alasan ekonomi, misalnya dalam kasus Syekh Puji dan Aceng (Bupati Garut). Ada pihak yang berekonomi mampu memanfaatkan pihak lain yang lemah secara ekonomi, sehingga dapat disimpulkan, bahwa jika posisi perempuan lemah maka cenderung mudah dieksploitasi. “Ini tidak boleh terjadi dan harus segera dihentikan,” ujar Machasin.

Selanjutnya, Machasin juga mengingatkan bahwa penelitian di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini harus bisa memberikan masukan bagi kebijakan Kementerian Agama. Beliau menegaskan: “Jika dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap UU Perkawinan trend-nya naik, maka perlu dijawab mengapa? Dan bagaimana mengembalikannya (memperbaikinya). Penelitian harus sampai pada bagaimana pemerintah harus  menyikapinya, sistem apa yang perlu diubah?”

Seminar Sehari Hasil Penelitian yang dilaksanakan di Hotel Millenium Jakarta Pusat tanggal 3 November 2012 ini diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Seminar ini memaparkan hasil penelitian tentang Implementasi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilakukan di 9 daerah yaitu: Tangerang (Banten), Indramayu (Jawa Barat), Cianjur (Jawa Barat), Brebes (Jawa Tengah), DI Yogyakarta, Malang (Jawa Timur), Madura (Jawa Timur), Mataram (NTB), dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).

Hj. Kustini selaku koordinator kegiatan melaporkan bahwa Seminar Sehari Hasil Penelitian ini dihadiri 50 peserta, terdiri dari para pejabat eselon II dari Ditjen Bimas Islam, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, aktivis perempuan perwakilan sejumlah LSM, ormas keagamaan, akademisi dari beberapa perguruan tinggi, para peneliti Balitbang dan Diklat, Kasi Urais se- DKI Jakarta, serta beberapa Kepala KUA dan P3n. Sementara itu para narasumber yang diundang sebagai pembahas adalah tiga orang yaitu: Ninik Rahayu (Komnas Perempuan),  Dr. Mukhtar Ali (Direktur Urais dan Pembinaan Syariah), dan Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung. (AJW)

 
Muakhi : Nilai Etika Sosial Masyarakat Lampung PDF Print Email

Jakarta,29/11 (Puslitbang 1) - Muakhi dalam budaya masyarakat Lampung secara etimologi berarti persaudaraan dalam hubungan bertetangga. Kata muakhi berasal dari kata puakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu. Masyarakat adat Abung menyebut ‘mewarei’ yang berarti bersaudara. Muakhi sebagai nilai dasar etika sosial dilandasi filsafat hidup Piil Pesenggiri, sehingga dapat dikembangkan secara substansial dan fundamental, sebab hal itu ada dalam pemahaman dan pengamalan orang Lampung. Pemahaman tentang muakhi dalam masyarakat adat Lampung menjadi urgen, karena muakhi sebagai sikap dan nilai etika sosial berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat. Demikian penjelasan Prof. Dr. H. A. Fauzie Nurdin, M.S mengenai konsep budaya muakhi  dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kamis 29 November 2012 di Hotel Millenium, Jakarta. Acara bedah buku yang dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof.Dr. H. Machasin, MA ini menyajikan dua orang pembedah yakni Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr.Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan dan Asisten Teritorial Panglima TNI Mayjend Dr. S. Widjonarko, S.Sos., MM, M.Sc. Peserta bedah buku yang hadir berasal dari berbagai unsur yaitu para peneliti di lingkungan Badan Litbang Kementerian Agama, ormas-ormas Keagamaan, para akademisi, LSM dan kalangan media massa.

Dalam sambutannya Prof Machasin menyampaikan perasaan mirisnya terhadap  konflik yang sering terjadi akhir-akhir ini.  “Agama yang seharusnya menjadi penyejuk dan faktor yang mendasari suasana kedamaian di tengah kehidupan masyarakat kini cenderung malah digunakan sebagai alasan untuk melakukan tindakan destruktif. Hal ini sangat bertolak belakang dengan budaya dan  kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suatu daerah pada umumnya”, ujar Machasin. Terkait dengan hal itu,  Machasin mengharapkan acara ini bukan hanya sekedar membedah buku tentang budaya Muakhi  saja, tetapi bagaimana kita bisa memunculkan pemikiran baru  dan mengaktualisasikan konsep budaya Muakhi  dalam kerangka kerukunan kehidupan bermasyarakat.

Prof Nur Kholis dalam bahasannya menyatakan timbulnya percikan konflik dalam masyarakat antara masyarakat lokal dan pendatang adalah disebabkan oleh ekses dari modernitas yang salah satunya adalah faktor deprivasi relatif bagi penduduk lokal, yakni adanya perasaan ditinggalkan oleh yang lain, akibat ketidaksiapan dalam “perebutan sumber daya”. Wilayah yang didiami oleh masyarakat asli dan pendatang, kemudian pendatang lebih mendapatkan kemudahan bahkan “menguasai” asset ekonomi dan lainnya. Kasus Balinuraga beberapa waktu yang lalu merupakan tantangan kongkrit bagaimana membumikan kembali Muakhi sekaligus menempatkan Piil Pesenggiri dalam konteks budaya Lampung selaras dengan prinsip pluralitas yang dianut. Sementara itu Asisten Teritorial Panglima TNI Mayjend Dr. S. Widjonarko memaparkan alternatif penyelesaian konflik dari sisi pendekatan manajemen teritorial, dimana pengawasan teritorial kini perlu melibatkan berbagai pihak terkait karena  ancaman keamanan bukan saja datang dari terorisme saja, bahkan ancaman kebodohan atau rendahnya pendidikan masyarakat merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi stabilitas suatu negara.(AN)

 
Minimnya Pemahaman Agama Dapat Melahirkan Sikap Intoleran PDF Print Email

Jakarta, 28/12 (Puslitbang 1) - “Untuk tumbuhnya sikap toleran, dibutuhkan 3 prasyarat: Kedalaman pengetahuan, berorientasi pada nilai kemanusiaan, dan wawasan kebangsaan”, demikian disampaikan Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan dalam semiloka "Mengatasi Problem Kerukunan dalam Berdakwah di Jakarta", Rabu (28/11). Beliau menjelaskan bahwa sikap ekslusif, intoleran, dan radikal biasanya lahir dari minimnya pemahaman terhadap persoalan yang dihadapi. “Keluasan wawasan dan pengetahuan para ulama terdahulu telah melahirkan banyak karya yang menunjukkan kedalaman ilmu dan sikap keagamaan yang inklusif dan toleran terhadap perbedaan”, demikian ujar Nur Kholis.

Semiloka ini merupakan hasil kerjasama Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia.

Ketua Umum PBNU KH. Said Agil Siroj, yang hadir menyampaikan keynote speech mengatakan “Pada tahun 1914, Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari sudah mengenalkan istilah ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah, keduanya bagi umat Islam harus dipahami dan diamalkan secara seimbang dan saling melengkapi". Apa yang dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari ini menurutnya adalah gagasan yang luar biasa, sebab saat itu Indonesia belum menjadi sebuah negara yang merdeka namun ia sudah mengkampanyekan sebuah wawasan kebangsaan. Selanjutnya KH. Said Agil Siroj mengungkapkan bahwa cinta tanah air itu dalam rangka mengamalkan ajaran Islam. "Ketika kita berjuang demi Negara maka berarti juga berjuang untuk Islam, demikian juga sebaliknya,” cetusnya. Kyai Said menambahkan, dalam berdakwah untuk membangun tanah air, para dai jangan ketika menyampaikan materi dakwah jangan hanya berkisah tentang surga dan neraka, tentang pahala dan dosa saja. Menurutnya, Islam adalah tidak hanya aqidah dan syari’at saja, tapi Islam adalah agama ‘ilm (pengetahuan), tsaqafah (peradaban), adab (budaya), hadloroh, tamaddun (kemajuan), dan insaniyah (kemanusiaan).

Hadir sebagai narasumber dalam semiloka ini adalah Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan (Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan), Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D, KH Zakky Mubarok (Ketua PP LDNU), Bhikku Dhammasubo dari unsur agama Budha, serta Fathuri SR (Manager Penelitian dan Kajian PP Lakpesdam NU).

Menurut ketua panitia yang juga wakil sekretaris PP LDNU, H Syaifullah Amin, semiloka ini diikuti oleh lima puluh peserta yang terdiri dari unsur-unsur perwakilan lintas agama dan perwakilan-perwakilan ormas Islam dan peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. (AJW)

 
Profil Masyarakat Indonesia Menjunjung Harmoni PDF Print Email

Yogyakarta, 20/11 (Puslitbang 1) - “Profil masyarakat Indonesia adalah menjunjung harmoni, opini bahwa masyarakat Indonesia intoleran adalah bukan pencerminan realitas yang ada”, demikian disampaikan Dra. Hj. Kustini M,Si dalam sambutannya mewakili Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag dalam pembukaan seminar hasil penelitian yang dilakukan oleh Dialog Center Pascasarjana UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta bekerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Kegiatan ini dilaksanakan pada 20 Nopember 2012 di University Hotel, Yogyakarta.

Selanjutnya Dra. Hj. Kustini, M.Si juga mengatakan: “Dalam penelitian ini di nyatakan bahwa masyarakat desa Sampetan merupakan masyarakat plural, namun damai dan harmoni, relasi antara agama dan budaya di sana bersifat akomodatif. Hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi penyeimbang terhadap berbagai isu yang menyatakan Indonesia sebagai masyarakat yang intoleran, hanya karena adanya beberapa persoalan terkait pendirian rumah ibadah dan paham keagamaan tertentu.”

Sementara itu DR. Baidowi, M.Si selaku Direktur Dialog Center Pascasarjana UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta menyampaikan dalam sambutannya bahwa, Desa Sampetan dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini merupakan desa yang plural, berbeda dengan umumnya sebuah desa yang masyarakatnya homogen. Tiga agama besar, yaitu Islam, Budha, dan Kristen hidup rukun dan damai secara berdampingan. Selain nampak dalam semangat toleransi dan kerjasama antar warga, di Desa Sampetan terdapat 7 vihara, 5 gereja, serta terdapat 21 masjid dan mushalla sebagai tempat peribadatan warga. Semangat gotong royong sebagai ciri khas panguyuban masyarakat desa masih sangat menonjol. Masyarakat masih memegang erat nilai-nilai tradisi dalam kultur keseharian hidup mereka. Di samping itu, kerjasama, kerja keras dan sikap tanpa pamrih, nrimo menjadi ciri khas mereka. Masyarakat desa Sampetan merupakan masyarakat yang sangat inklusif, mudah diajak kerjasama, kritis, ingin maju dan rela berkorban. Semangat kegotongroyongan di antara mereka masih sangat kuat.

Dialog Center Pascasarjana UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta telah melakukan penelitian dengan tema “Sketsa Desa Damai di Desa Sampetan, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah”, kesimpulan hasil penelitian ini menyatakan bahwa keharmonisan kehidupan sosial di Desa Sampetan tidak timbul dengan sendirinya, namun terbentuk melalui proses-proses yang diusahakan dalam waktu yang lama, mulai dari pembentukan fondasi oleh para leluhur sampai kemudian dipertahankan oleh generasi-generasi selanjutnya seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman.

Seminar ini diikuti oleh 50 orang peserta terdiri dari akademisi berbagai perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta juga serta peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut DR. Hamdan Daulay dan DR. Marzuki Idris. (AJW)

 
Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Lokal : Pondasi Pemeliharaan Kerukunan Umat di Bima PDF Print Email

Bima,20/11 (Puslitbang 1) - “Kegiatan sosialisasi ini penting, sebab dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung bagi para pimpinan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam menyatukan visi bersama guna meningkatkan dan mengembangkan wadah kerukunan dan ketahanan lokal di kalangan antar umat beragama sebagai salah satu pondasi penting pemeliharaan kerukunan umat beragama”, demikian pernyataan Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof Dr. H.M. Nur Kholis Setiawan, MA yang diwakili oleh Drs. H. Bashori A. Hakim, M.Si Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan saat membuka secara resmi kegiatan bertajuk “Sosialisasi PBM dan Revitalisasi Kearifan Lokal dan Pengembangan Wadah Kerukunan di Kecamatan Donggo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat”,  Senin, 19 November 2012 di Hotel Marina Bima. Kegiatan ini akan berjalan selama 3 hari dan merupakan kerjasama antara Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan Kankemenag Kab. Bima serta KUA Kec. Donggo.

Sementara itu, Kasubbag TU Kankemenag Kab. Bima dalam sambutannya mewakili Kepala Kankemenag mengatakan bahwa di Bima dirasakan tidak ada konflik antarumat beragama, melainkan lebih mengarah kepada konflik sosial, semisal konflik antar kampung/desa akibat hiburan organ tunggal, maupun konflik antar calon pemimpin daerah. Namun, konflik sosial yang sepele bisa menjadi besar akibat dimanfaatkan oleh kepentingan ekonomi dan politik. Oleh karena itu Kemenag Bima telah menginisiasi pertemuan untuk mencoba menganalisis akar permasalahan konflik yang kerap terjadi, mengingat Bima dulunya dikenal sangat rukun dan relijius.

Mayoritas masyarakat Donggo sangat religius dalam kehidupan masyarakatnya, hal ini disebabkan aspek sejarah. Bima dahulunya merupakan kerajaan Islam, yang sebelumnya dibawah kekuasaan raja Hindu. “Kondisi sekarang berubah sehubungan era globalisasi dan keterbukaan yang berdampak dari budaya luar. Keberadan wadah kerukunan yang merupakan perwakilan unsur-unsur agama yang ada, dalam bentuk apapun nama dan bentuknya menjadi sangat diperlukan untuk menangkal terjadinya konflik. Oleh karena itu, kegiatan pengembangan wadah kerukunan dan ketahanan lokal yang diselenggarakan ini direspon positif dan dinilai sangat tepat”, ujar Fathurrahman.

Sementara Drs. Haidlor Ali Ahmad, MM , Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan memaparkan hasil penelitiannya mengenai potensi konflik dan kerukunan di Bima yang antara lain  bahwa di kecamatan Donggo terdapat kearifan lokal Maja Labo Dahu (merasa malu dan takut pada perbuatan yang salah), Mbolo weki (musyawarah bersama) yang menjadi faktor pendukung kerukunan. Sementara beberapa hal yang ditengarai dapat menjadi potensi konflik antara lain: pemanfaatan rumah tinggal sebagai  tempat ibadat, keberadaan tempat penjualan miras di lingkungan warga Muslim serta perkawinan beda agama.

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 19 – 21 November 2012, dan diikuti oleh 40 orang peserta terdiri dari berbagai tokoh agama, masyarakat, adat, di Kec. Donggo Bima. Sejumlah nara sumber dihadirkan dalam kegiatan ini yaitu  Drs. H. Bashori A. Hakim, M. Si, Drs. H. Haidlor, MM, serta jajaran terkait dari Kab. Bima mencakup Kesbangpollinmas, Kankemenag, MUI Kec. Donggo, Tokoh Agama Kristen dan Katolik dan Ketua Adat dari Kab. Bima. (AK, RNF)

 
<< Start < Prev 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Next > End >>

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.