Home /  Berita
Rohaniawan Asing, Perlu atau Tidak? PDF Print Email

Jakarta (21 Juni 2016). Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan seminar hasil penelitian “Peran Rohaniawan Asing terhadap Perkembangan Kehidupan Keagamaan di Indonesia” di Hotel Takes Mansion Jl. Taman Kebon Sirih 1 No. 3 Jakarta Pusat, Selasa (21/6).

Seminar dibuka dan dihadiri oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D., Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dr. H. Muharam Marzuki, perwakilan dari Majelis Agama, Direktorat Jenderal Bimas Islam, Bimas Katolik, Bimas Kristen, Bimas Hindu, Bimas Buddha, dan para peneliti di lingkungan Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Dalam sambutannya, Mas’ud menekankan kita harus berpedoman pada rule of the game yang ada, yaitu SKB Tahun 1979 tentang Penyiaran Agama, terkait dengan rohaniawan asing di Indonesia. Menurutnya, penyiaran agama mengacu pada Pasal 3 dan 4 SKB Tahun 1979 yang bunyi: “Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dengan melakukan ibadat menurut agamanya”.

Selanjutnya, Pasal 4 berbunyi: “Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara: a) Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut, b) Menyebarkan pamflet, majalah, buletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain, dan c) Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain’.

“SKB Tahun 1979 ini sudah cukup untuk menjadi acuan, namun perlu di-update lagi,” ujar Mas’ud.

Bertindak sebagai narasumber Adi Saputro dari Direktorat Jenderal Pengendalian Tenaga Asing Kementerian Tenaga Kerja  dan Marwan Wardana dari Direktorat Jenderal Imigrasi. Adi Saputro mengatakan hasil penelitian ini perlu dilengkapi data-data sosio-ekonomi lebih rinci untuk menarik garis merah. Selanjutnya, “Kementerian Agama seharusnya menentukan daerah mana yang boleh ada rohaniawan asingnya,” ungkapnya.

Marwan Wardana mengapresiasi hasil penelitian ini. “Hasil penelitian ini menjadi masukan, khususnya terkait dengan visa dan izin tinggal. Selain itu, penelitian ini pun harus memberikan definisi tentang rohaniawan, dari negara mana asal rohaniawan, dan apa tugasnya,” ujarnya.

Pada sesi diskusi, para peserta menyambut baik hasil penelitian tersebut. Namun, mereka menyarankan agar digali lebih mendalam lagi keberadaaan rohaniawan tersebut, baik dari segi personal maupun sponsornya. Apakah keberadaan mereka merekatkan atau justru melemahkan umat?  (bas)

 
Nilai-nilai Pancasila Perlu Digali Kembali PDF Print Email

Jakarta (1 Juni 2016). Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan bedah buku “Falsafah Kebudayaan Pancasila: Nilai dan Kontradiksi Sosialnya” karya Syaiful Arif, di Hotel Take’s Mansion Jalan Taman Kebon Sirih 1 No. 3, Jakarta Pusat, 1 Juni 2016.

Kegiatan ini dihadiri Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D., Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dr. H. Muharram Marzuki, perwakilan ormas-ormas keagamaan, LSM, akademisi, dan peneliti di lingkungan Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. Dalam sambutannya, Abdurrahman Mas’ud menekankan bahwa kita perlu mengkaji kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh Karena itu, gagasan-gagasan dalam buku karya Syaiful Arif ini perlu digalikembali untuk melihat bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat.

Bertindak sebagai narasumber utama Dr. (HC). K.H. As’ad Said Ali, mantan wakil Kepala BIN dan tokoh Nahdlatul Ulama. As’ad Said Ali mengapresiasi terbitnya buku ini. Meskipun begitu, “buku ini terlalu filosofis dan sulit dicerna”, ungkapnya.

Pada sesi diskusi, para peserta juga mengapresiasi buku karya Syaiful Arif ini. Namun, sebagaimana narasumber, mereka menilai buku ini berat. Karena itu, perlu ditulis dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna. Dan, yang lebih penting lagi, menggali nilai-nilai Pancasila dengan contoh-contoh dari kearifan lokal. (bas/rin)

 
Peneliti Perlu Belajar dari Ricklefs PDF Print Email

Jakarta, 25/7 (Puslitbang 1) - Puslitbang Kehidupan Keagamaan kembali menggelar bedah buku keagamaan. Kali ini yang dibedah adalah buku bernuansa sejarah berjudul “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang,” yang ditulis M. C. Ricklefs. Hadir sekitar 50 peserta dari berbagai lembaga, terdiri atas peneliti, dosen, dan beberapa pejabat Balitbang. Acara yang digelar pada Kamis (24/7/2014) di Hotel Millenium Jakarta ini, dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. Dr. Machasin.

Dalam sambutannya, Prof. Machasin menceritakan kesan menarik terkait penulis buku, Ricklefs, yang dipandang perlu dibagi ke para peneliti. Bahwa sekitar tahun 1986, dirinya pernah bersama-sama Ricklefs melakukan penelitian di Solo. Selain itu, dalam kesempatan lain dirinya pernah berbincang panjang tentang banyak hal. Dalam amatannya, Ricklefs merupakan sosok peneliti yang teliti, cermat meneliti Indonesia dan modernisasi Indonesia, juga fokus melihat Islamisasi di Jawa. Diceritakannya, Ricklefs sampai tahu hal detail kondisi Jawa, dimana pada abad 16-17 Jawa merupakan pengekspor beras, lalu mundur sampai 1998, dan setelah itu justeru jadi pengimpor beras paling besar.

Ricklefs juga seorang yang cermat meneliti modernisasi Indonesia. Menurut Ricklefs, sebagaimana diceritakan Machasin, modernisasi Indonesia melalui dua jalur, yakni jalur Timur Tengah dan jalur Barat/Belanda. Yang melalui Timur Tengah, yang menjadi modern adalah santri. Sedangkan yang jalur Barat priyayi. Yang santri menerima pikiran modern yang sudah diolah dari Timur Tengah (seperti pikiran Abduh dan Rasyid Ridho). Menarik¬nya, ciri pokok santri tidak bisa baca tulisan Jawa, tetapi paham betul tulisan Arab (pegon Jawa atau pegon Melayu). Adapun yang dari pendidikan Barat sangat paham dengan tulisan Jawa.

Kesan lain soal Ricklefs adalah perhatiannya yang konsisten tentang Islam di Jawa, termasuk apa yang ditulis dalam bukunya yang dibedah ini. Dari sini tergambar bahwa Islamisasi terus berjalan. Tidak hanya Islamisasi dari yang non-muslim melainkan dari Islam abangan. Islamisasi juga bahkan terjadi dalam politik dan negara. Meski aspirasi negara Islam tidak berlanjut, tapi Islamisasi dalam bentuk lain terus berlanjut. Digambarkan Machasin, jaman dulu, orang masih suka malu melakukan sholat, khususnya di kampus-kampus umum, sekarang orang justeru seperti ingin menunjukkan bahwa dirinya sholat. Sekarang dimana-mana orang leluasa berjilbab, dan dekorasi ornamen Islam menghiasi ruang-ruang publik. Bahkan, Islam sepertinya selalu ada dan tidak bisa dilepaskan dari perpolitikan Indonesia sekarang ini.

Nah, dari cerita panjangnya soal Ricklefs, Prof. Machasin sejatinya menegaskan perlunya audiens (khususnya para peneliti) mencontoh Ricklefs dalam hal teliti, cermat, tekun, dan fokus dalam melakukan penelitian, dan menuliskannya. Buku Ricklefs yang cukup tebal dan lengkap ini memang menjadi bukti karakter peneliti itu. Mungkin banyak peneliti di Indonesia atau di Jawa yang lebih tahu tentang apa yang terjadi di Indonesia, atau khususnya tentang Islam Jawa, tapi Ricklefs yang menuliskannya. Budaya menulis dan menerbitkan buku di kalangan peneliti perlu diperkuat karenanya.

Selain soal belajar pada Ricklefs, Prof. Machasin juga memandang perlunya mengkaji cerita-sejarah Ricklefs yang ditulisnya dalam buku yang dibedah ini. Beliau mengajak peserta, para peneliti dan pemerhati agama, untuk melihat proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia: ke arah mana? Adanya fenomena deklarasi dukungan terhadap gerakan ISIS di Solo beberapa waktu lalu, misalnya, mengkhawatirkannya dan penting untuk dicermati.

Setelah dibuka, acara bedah buku dilanjutkan dengan paparan pembedah, nara¬sumber, dan diskusi peserta. Buku setebal 888 halaman ini dibedah oleh Prof. Mudjahirin Thohir (Antropolog UNDIP) dan Prof. Dedi Djubaedi (Pemerhati Sosial Keagamaan), serta dilengkapi oleh J.J. Rizal (Sejarawan UI). Acara yang akan berlangsung setengah hari ini dipandu oleh Drs. H. Nuhrison, peneliti senior Puslitbang Kehidupan Keagamaan. [asr]

 
Lakukan Pembinaan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah dengan Mengacu pada Pedoman Kemenag! PDF Print Email

Jakarta, 05/06 (Puslitbang 1) - “Dalam rangka penyelesaian masalah aliran dan keagamaan baru dan bermasalah di Indonesia secara komprehensif dan berkesinambungan, kami mohon agar satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama melakukan penanganan dan pembinaan dengan mengacu kepada Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan  Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama”.

Demikian isi Surat Edaran Seketaris Jenderal Kementerian Agama nomor SJ/B.V/2/HK.00/ 71.08/2014  tentang Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia yang ditandatangani Sekretaris Jenderal  Bahrul Hayat, Ph. D. tanggal 7 April 2014.  Pengesahan Buku Pedoman melalui Surat Edaran Sekjen tersebut, bukanlah sesuatu yang terjadi dengan tiba-tiba.  Berbasis hasil penelitian tentang berbagai aliran keagamaan bermasalah, dilanjutkan dengan  serangkaian workshop, diskusi, dan uji coba, akhirnya tersusun Buku Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia.

Disadari bahwa meski Buku Pedoman tersebut telah dikuatkan melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, tetapi tidak secara otomatis dapat diketahui dan dipahami oleh seluruh jajaran Kementerian Agama, baik di Pusat maupun Daerah. Oleh karena itu pada tanggal 6 Mei 2014 Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyelenggarakan Sosialisasi Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia. Sosialisasi yang dilaksanaan di Hotel Ibis Tamarin Jakarta itu dihadiri  50 peserta terdiri atas pejabat eselon III di lingkungan Kementerian Agama, Kepala Kankemenag di Jabodetabek serta para peneliti Kementerian Agama.

Dalam sambutan pembukaan, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang diwakili Kepala Bidang Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan, Kustini, menyampaikan bahwa ada dua tujuan utama sosialisasi. Pertama, menyamakan pemahaman terkait dengan isi buku. Kedua, menyusun agenda baik yang akan dilakukan secara bersamaan maupun sendiri-sendiri terkait dengan tindak lanjut Surat Edaran Sekjen tersebut.

Tim penulis buku Pedoman bertindak sebagai nara sumber yaitu Ahmad Syafii Mufid, Rusmin Tumanggor, dan Abdul Aziz. “Kita berharap bahwa Pedoman ini menjadi salah satu karya monumental Puslitbang Kehidupan Keagamaan, selain karya-karya yang telah lebih dahulu muncul” Demikian ungkapan Ahmad Syafii Mufid dalam bagian awal paparannya. Para peserta menyambut baik keberadaan Pedoman ini karena sampai sekarang di berbagai daerah masih terus  bermunculan berbagai aliran kegamaan yang berbeda dari mainstream dan menjadi potensi konflik di masyarakat. (KK)

 
Perumusan Ulang Regulasi Organisasi Gereja PDF Print Email

Jakarta,03/06 (Puslitbang 1) - Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI menyelenggarakan Seminar Hasil Penelitian, “Pandangan Pemimpin Gereja tentang Pengaturan Organisasi Gereja”, Kamis, 28/05 di Hotel Millenium, Jakarta. Seminar ini merupakan pembahasan atas hasil penelitian, baik oleh para peneliti, pimpinan gereja dan pejabat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang diwakili oleh Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Hubungan Antarumat Beragama  Ibnu Hasan Muchtar dalam pembukaan acara menyatakan, seminar ini bertujuan untuk menvalidasi hasil penelitian para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, dengan para pimpinan gereja. Penelitian ini sendiri dilatari oleh kekhawatiran membludaknya pendaftaran denominasi Gereja, padahal telah keluar moratorium atau penghentian sementara penambahan Gereja baru.

“Dengan terbitnya UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Ditjen. Bimas Kristen merasa khawatir nantinya terjadi pendaftaran denominasi Gereja baru, tidak melalui Kementerian Agama, melainkan melalui Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri. Mengingat organisasi gereja bisa masuk kategori Ormas, ia bisa mendaftar kepada Kesbangpol berdasarkan peluang UU tersebut”, demikian disampaikan Ibnu Hasan Muchtar.

Wakhid Sugiyarto, salah satu peneliti menyatakan, “Kekhawatiran ini mengemuka di kalangan pimpinan gereja. Sebab sebagai lembaga yang berkaitan dengan politik dan kebangsaan, Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri tidak memiliki wewenang dalam hal agama. Padahal, organisasi gereja memiliki wilayah teologis yang tidak akan dipahami oleh Kementerian Dalam Negeri. Oleh karenanya, sebagian besar informan penelitian menganjurkan Kementerian Agama (Bimas Kristen) sebagai pintu yang sah bagi pendaftaran gereja baru”.

Demikian pula peneliti utama, Nuhrison M. Nuh yang melakukan penelitian di Manado, menunjukkan kesamaan sikap para pimpinan gereja yang menawarkan solusi teknis: pengelompokan denominasi gereja baru ke dalam gereja-gereja induk. “Jadi lahirnya gereja baru tidak perlu dilarang, melainkan dikelompokkan ke dalam gereja-gereja induk aras nasional”, demikian papar beliau.

Hanya saja ketika kemunculan gereja baru disertai dengan paham keagamaan di luar mainstream kekristenan, sebagian besar pendeta menolak hal itu. Misalnya, gereja yang membawa paham Kristologi non-Trinitas yang tentunya sudah keluar dari prinsip utama teologi Kristen. Atas kemunculan paham ini, pemerintah diminta untuk tidak memasukkannya menjadi bagian dari kekristenan. Hal ini disampaikan oleh Syaiful Arif, mitra peneliti yang juga pengajar di Pascasarjana STAINU Jakarta. “Namun perbedaan paham tidak memunculkan konflik di kalangan Kristen. Seperti di Semarang, di mana gereja non-trinitas (Unitarian/Tauhid) juga disahkan, yakni Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI), para pimpinan Gereja tetap bisa bersatu dalam kerukunan. Hal ini disebabkan oleh peran forum-forum kerukunan antar-Gereja yang difasilitasi oleh Pembimas Kristen Jawa Tengah”, demikian imbuhnya.

Selain presentasi hasil penelitian oleh para peneliti, hadir pula narasumber pembahas. Yakni Pdt. Martin Sinaga dari STT Jakarta dan Pontus Sitorus, Sekretaris Ditjen Bimas Kristen. Dalam bahasannya, Martin menjelaskan bahwa perkembangbiakan Gereja-gereja yang dianggap konfliktual dan terpecah bukanlah sifat dasar Protestantisme, melainkan dinamika wajar di setiap umat beragama. Makanya Martin memberi masukan agar Puslitbang Kehidupan Keagamaan perlu melakukan penelitian lanjutan untuk menggali lebih lanjut penyebab proliferasi tersebut baik dari sisi kepemimpinan maupun organisasi.

Penelitian ini sendiri diadakan pada 27 Maret-5 April serentak di tujuh wilayah, yakni Medan, Manado, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Papua. Rencananya, Seminar Hasil Penelitian akan ditindaklanjuti oleh Workshop Perumusan Pengaturan Organisasi Gereja yang melibatkan para pimpinan Gereja, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri (SA).

 
<< Start < Prev 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Next > End >>

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.