Makassar,17/12 (Puslitbang 1) - Seorang peneliti harus percaya diri tapi tidak boleh PDOD alias Percaya Diri Over Dosis. Demikian salah satu isi arahan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. DR. Phil.HM. Nur Kholis Setiawan, MA saat membuka Semiloka Penelitian Kebijakan Kehidupan Keagamaan yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Agama Makassar kerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Hotel Grand Clarion & Convention Makassar, tanggal 15 Desember 2012.
Nur Kholis juga menyampaikan bahwa peneliti harus memiliki standing point yang jelas, tidak hanya mengulang atau copy paste. "Harga diri (pride) peneliti harus kita tingkatkan, karena peneliti adalah pencari kebenaran berdasarkan data dan fakta, sementara data riset tersebut dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan. Itulah salah satu fungsi Badan Litbang dan Diklat sebagai supporting agency", demikian ujar Nur Kholis.
Selain menampilkan Prof. Nur Kholis sebagai narasumber, semiloka ini juga menghadirkan Prof. DR. HM. Ridwan Lubis, Guru Besar pada UIN Jakarta dan Prof. DR. Hj. Nurhayati Rahman, M. Hum Guru Besar pada UNHAS. Dalam makalahnya, Prof. Ridwan menyampaikan tentang Peran Penelitian Kebijakan dalam Mengelola Dinamika Kehidupan Beragama. Paparannya banyak mengupas tentang pengertian penelitian kebijkan yaitu: “penelitian kebijakan, merupakan rangkaian aktivitas yang diawali dengan persiapan peneliti untuk mengadakan penelitian atau kajian, pelaksanaan penelitian, dan diakhiri dengan penyusunan rekomendasai. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa penelitian kebijakan pada hakikatnya merupakan penelitian yang dimaksudkan guna melahirkan rekomendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial. Masalah sosial oleh para peneliti tidak dapat dipersepsi secara tunggal, oleh karena terdapat banyak persepsi mengenai masalah sosial, lebih-lebih yang menyangkut seluruh tatanan kehidupan”. Sementara Prof. Hj. Nurhayati mengupas tentang Signifikansi Metodologi Sejarah Sosial dalam Penelitian Kebijakan.
Semiloka ini sendiri bertujuan untuk merumukan langkah strategis upaya optimalisasi peran dan positioning Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai satuan kerja supporting agency Kementerian Agama. Peserta semiloka sebanyak 50 orang, terdiri dari para peneliti di lingkungan Balai Litbang Agama Makassar juga perwakilan dari Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi di Makassar, diantaranya dari Lemlit UIN Alauddin, UIM Al-Gazalih, UNMUH, UMI, Atmajaya, UKI Paulus dan STT Intim. (IHM, RNF) |
Malang, 14/12 (Puslitbang 1) - Menindaklanjuti hasil penelitian tentang Pelaksanaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Puslitbang Kehidupan Keagamaan bekerjasama dengan Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengadakan Seminar Sehari membahas UU Perkawinan, terutama yang berkaitan dengan persoalan dan kedudukan anak dalam perkawinan tidak tercatat dan anak hasil perzinaan, pasca putusan MK. Seminar tersebut diadakan pada tanggal 14 Desember 2012 di Hotel Pelangi, Malang dengan tajuk Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya: Mengkaji Putusan MA No. 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materi UU Perkawinan pada Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) serta Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012.
Dalam sambutannya, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof. Dr. Phil H.M. Nurkholis Setiawan menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan kerjasama dalam membangun jaringan penelitian dan pengembangan, sehingga dapat diperoleh manfaat yang lebih luas bagi dua belah pihak. Lebih dari itu, kajian melalui hasil riset akan menunjukkan bahwa hasil riset mampu menjadi acuan kebijakan. Menurut Dekan Fakultas Syariah UIN Malang, Dr. Tutik Hamidah, peserta seminar bagian terbesar adalah para mubalighah (NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahir) serta aktivis perempuan, LSM dan Pusat Studi Wanita beberapa perguruan tinggi setempat.
Seminar menampilkan narasumber antara lain Prof. Dr. Phil. H.M. Nurkholis Setiawan; Drs. KH Chamzawi, MHI (Rois NU dan MUI Kabupaten Malang); Dr. Saifullah, Drs. Muhammad Jazui (Hakim PA Kabupaten Malang); Dr. Tutik Hamidah; Dra. Hikmah Bafagih, M. Pd (Ketua P2TP2A Kab. Malang).
Nurkholis memaparkan hasil riset Puslitbang Kehidupan Keagamaan tentang Pelaksanaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang diadakan di 8 Kabupaten/Kota di Jawa dan Madura menunjukkan bahwa pelaku perkawinan dibawah umur yang mengajukan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama, di Indramayu, dari tahun 2010 sampai Juni 2012 sebanyak 825 kasus; Yogyakarta, tahun 2012 terdapat 26 pengajuan dispensasi nikah; NTB, dari tahun 2007 – 2011 terdapat 44 pengajuan dispensasi nikah dan Kabupaten Malang dari tahun 2010 sampai dengan Oktober 2012 terdapat 474 pengajuan dispensasi nikah. Menurut Nurkholis, yang lebih penting adalah mengapa kasus-kasus perkawinan tidak tercatat dan di bawah umur ada di kantong-kantong santri. “Ini yang perlu dicatat dan menjadi perhatian, padahal Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan”, cetus Nurkholis.
Soal beda penafsiran dalam Islam, KH. Chamzawi mengatakan bahwa itu adalah hal yang lumrah. “Karena Al-Quran dan hadis itu bahasa Arab, maka yang namanya tafsir itu pasti ada perbedaan ketika diterjemahkan di luar bahasa Arab. Ini masalahnya, sehingga pasti ada beda penafsiran. Termasuk dalam menafsirkan tentang anak”, ujar Chamzawi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa anak itu didefinisikan sebagai seseorang yang dilahirkan sebagai akibat dari pernikahan secara syar’i dan sah dalam pernikahan. “Kemudian, muncul lagi definisi pernikahan cukup sah secara agama atau harus tercatat di Negara dan seterusnya. Nah disinilah kemudian muncul persoalan dan dampak hukum yang signifikan dan bervariasi”, tandas Chamzawi.
Pendapat yang berbeda muncul dari Dr. Saifullah, praktisi hukum. Menurutnya dalam hukum, produk anak tidak hanya dari perkawinan. Banyak anak yang lahir tanpa ikatan pernikahan resmi. Hukum harus memberi ruang dan perlindungan, bagaimana anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat mencari perlindungan hukum. Oleh karena itu, aturan hukum sifatnya plural. “Bagaimana nasib anak-anak yang dihasilkan dari nikah siri, zina, perkawinan tidak tercatat? KUHP kemudian memberikan ruang kepada anak-anak tersebut. Disinilah yang kemudian menjadi polemik. Tetapi ada kekhususan bahwa anak zina memang tidak diakui, kecuali orang tuanya secara khusus mengajukan ke pengadilan. Bagi mereka yang tidak terperhatikan, melalui proses hukum dan teknologi, anak hasil zina bisa menuntut pengakuan. Meskipun mereka tidak mendapat warisan, hanya mendapatkan hak sampai dewasa”, runut Saifullah.
Acara dilanjutkan dengan Focus Group Discussion oleh peserta, untuk mendiskusikan berbagai topik seminar, sehingga sebagai mubalighah dapat lebih memahami secara berimbang antara persoalan agama dan aturan undang-undang Negara. Seminar kemudian ditutup oleh Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. (KW) |
Sumedang, 8/12 (Puslitbang 1) - ”Culture of peace merupakan budaya yang telah melekat pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu dalam bentuk kearifan lokal di berbagai wilayah dan masyarakatnya. Budaya damai tersebut juga diformulasikan dan dirawat oleh tokoh-tokoh agama, sehingga pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengembangkan diplomasi dengan jalur tokoh agama”. Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Phil H.M. Nur Kholis Setiawan (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan) pada saat menyampaikan pengarahan pada acara Semiloka tentang Peningkatan “Budaya Damai” (Culture of Peace) di Kalangan Dosen Agama se Jawa Barat.
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa tradisi keilmuan keagamaan harus terus berupaya melakukan perubahan mengikuti tantangan peradaban, dimana nilai-nilai keagamaan harus memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, kegiatan semiloka ini dikhususkan untuk meningkatkan kembali budaya damai yang ada di wilayah Jawa Barat (Sunda). Dalam paparannya, Nur Kholis menyampaikan bahwa perspektif agama dapat menjadi penguat dalam menyuburkan budaya damai dalam diri masing-masing orang yang secara given banyak memiliki perbedaan, dan sedikit memiliki persamaan.
Semiloka menghadirkan 3 narasumber, yaitu: Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja (Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung), yang menyampaikan bahwa kearifan lokal masyarakat Sunda sudah mengakar, seperti di Ciamis Utara berdampingan 3 agama yang dapat hidup rukun. Semua agama samawi mengajarkan adanya budaya damai, dengan ajaran penyerahan diri kepada Tuhan secara total. Selanjutnya Prof. Juhaya menyampaikan bahwa agama jangan dijadikan sebagai alat, namun harus dijadikan etika dalam berbangsa dan bernegara (ekonomi, politik dan kehidupan keagamaan).
Ferdinand S. Watti, M.Th. (Ketua Umum Badan Kerjasama Gereja-gereja dan Lembaga Kristen Kota Cimahi) sebagai narasumber kedua menyampaikan secara global bahwa dalam dunia maya (internet) ada kelompok-kelompok dialog lintas agama yang sehat, namun ada juga yang propaganda/merusak. “Untuk itu budaya damai harus dimulai dari diri kita (umat beragama) sendiri. Dalam ajaran Kristiani misalnya, damai harus dimulai dari diri sendiri, setelah kuat dapat mengasihi/menstransfer kepada orang lain”, ujar Ferdinand.
Dr. Deden Effendi (Ketua Lemlit UIN Sunan Gunung Djati Bandung), memaparkan bahwa ada 4 indikator budaya damai (tanpa kekerasan), yaitu: pengembangan kebebasan, tingkat kesehatan, pendidikan dan daya beli. “Kalau diukur dari 4 indikator yang digunakan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) tersebut, maka indeks budaya damai Indonesia termasuk rendah (tidak menunjukkan damai), namun kenyataannya kita damai-damai saja”, papar Deden. Budaya masyarakat Sunda sebenarnya mempunyai identitas lokal yang sulit diidentifikasi namun rapih, juga sangat mudah menerima pengaruh global, karena itu dapat disimpulkan bahwa orang Sunda adalah masyarakat yang damai. Untuk itu budaya damai dapat dibangun melalui proses internalisasi budaya melalui pendidikan baik melalui pencerahan intelektual maupun penguatan kultur kebersamaan.
Zaenal Abidin selaku koordinator kegiatan menyatakan bahwa semiloka dilaksanakan selama 1 hari tanggal 8 Desember 2012 di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Sumedang, dan diikuti oleh 50 orang peserta, terdiri dari para dosen-dosen agama Jawa Barat (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu). Semiloka menghasilkan 3 rekomendasi, yaitu: pertama, perlunya mengformulasikan kembali “budaya damai” yang culturally bound yang di perguruan tinggi diterapkan melalui institusi: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat; kedua, lembaga penelitian di perguruan tinggi diarahkan untuk ”memproduksi” pengetahuan budaya damai melalui penelitian dosen; ketiga desimanasi informasi tentang budaya damai diperluas melalui berbagai pertemuan ilmiah. (ZA) |
Mojokerto, 6/12 (Puslitbang 1) - ”Pelajaran apapun yang akan kita petik, semua tahu bahwa konflik di Kabupaten Sampang sudah terjadi. Workshop ini merupakan prakarsa Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sampang yang didampingi oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan tujuan untuk mempertemukan para pihak yang terlibat konflik, sehingga terjadi komunikasi dan saling pengertian.” Demikian disampaikan Prof. Dr. H. Machasin, MA, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama saat menyampaikan pengarahan pada acara Workshop Prakarsa Perdamaian Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal Pasca Konflik Horizontal di Kabupaten Sampang. Selanjutnya Machasin menyatakan bahwa konflik horizontal seperti di Sampang juga terjadi di banyak tempat di Indonesia, yang salah satu sebabnya orang itu tidak mengerti, seperti dalam pepatah Arab, “orang akan menjadi musuh apa yang tidak dimengertinya.”
Selanjutnya Prof. Machasin, mengingatkan bahwa Islam datang membawa ajaran yang diikuti oleh pemeluknya. Ajaran itu mesti dilaksanakan sesuai dengan keadaan; sholat bisa dikerjakan berdiri, duduk, atau berbaring. Kita boleh meyakini suatu ajaran yang kita anut paling benar, namun tetap harus menjaga kekeluargaan dan saling menghormati. Bahwa ada beberapa perbedaan apalagi dalam ibadah sunah, untuk kebersamaan kita boleh meninggalkan beberapa hal yang sunah (meyakini benar ada dalam diri sendiri sehingga jangan sampai ada kekerasan). Hal ini sudah dicontohkan oleh para pendahulu tokoh NU dan Muhammadiyah, demikian pula oleh Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa pendapatnya benar, namun tidak menutup kemungkinan ada kesalahan didalamnya.
Workshop dipantau oleh 2 anggota Komisi VIII DPR RI, Dr. H. Azis Suseno dan Drs. H. Ahmad Ruba’i, M.Si, yang menyatakan dukungannya kepada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dalam upaya-upaya prakarsa perdamaian di Kabupaten Sampang.
Workshop menghadirkan 4 narasumber, salah satunya Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan), yang menyampaikan hal-hal sebagai berikut: pertama, masjid adalah tempat berbagai kegiatan umat Muslim termasuk persaudaraan; kedua, perjanjian-perjanjian di Madinah mempersaudarakan muhajirin dengan anshor; ketiga, perlunya menata peraturan karena warga terlibat dalam berbagai kegiatan seperti, ekonomi dan tata kehidupan, seperti contoh dimana Rasulullah tidak pernah memaksakan kepada suku, kaum dan penganut agama yang sudah ada.
Narasumber lainnya, Dr. H. Taufikkurrahman, M.Pd (Ketua STAIN Pamekasan) menyampaikan materi tentang kekayaan budaya Madura mempunyai banyak kearifan lokal untuk dijadikan pedoman, seperti ungkapan jagaa’eng dalem genthong (jagalah air dalam tempayan), artinya menjaga dan menciptakan keamanan dan kedamaian di lingkungan kita hanya kita sendiri. Sementara H. Rudy Setiasdhy, SE, MM (Kepala Bakesbangpol Kab. Sampang) menjadi fasilitator brainstorming dan Drs. Yudi Sudarsono, M.Si memandu outbond dengan berbagai permainan yang dapat merajut kerjasama seluruh peserta workshop.
Zaenal Abidin selaku koordinator kegiatan menyatakan bahwa workshop dilaksanakan selama 3 hari yaitu tanggal 3 s.d. 5 Desember 2012 di Arca Cottages & Resort, Trawas, Mojokerto, dan diikuti oleh 60 orang peserta, terdiri dari warga Sunni dan Syiah di Sampang, tokoh masyarakat, aparat keamanan, aparat pemerintah Kab. Sampang, serta Kasi Penais se-Madura. Peserta workshop juga diajak mengunjungi Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam dan Iran Corner Universitas Muhammadiyah Malang. Acara workshop didesain sederhana dengan tujuan terjadinya komunikasi yang alhamdulillah bisa tercapai, dimana pada waktu berangkat dari Sampang hubungan antara peserta Sunni dengan Syiah yang berasal dari GOR Sampang terlihat tegang, namun setelah berakhirnya workshop sudah mulai mencair. Hal ini dapat terlihat pada wajah yang cerah dan damai dari para peserta. (ZA) |
|
|