Jakarta, 02/01 (Puslitbang 1) - “Freedom and Liberty, pada hakekatnya mempunyai 5 makna: pertama, semakin besar kemerdekaan yang kita nikmati maka semakin besar beban yang kita pikul untuk orang lain; kedua, kemerdekaan harus kita perjuangkan; ketiga, untuk menjadi bebas kita harus disiplin kalau tidak akan hilang; keempat, kebebasan adalah hak untuk memilih yang benar dan salah, serta kemerdekaan adalah hak kita memilih yang benar maka akan kita dapatkan kemerdekaan; dan kelima, kemerdekaan tidak boleh melakukan yang salah.” Hal tersebut dikemukakan Prof. Dr. H.M. Machasin, MA (Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI) saat menyampaikan pengarahan pada acara Seminar Peningkatan Peran FKUB sebagai Lembaga Bina Damai. Selanjutnya Machasin menyatakan bahwa Peraturan Bersama Menteri (PBM) semestinya tidak dipahami secara kaku, karena peraturan pada dasarnya adalah tahapan akhir dari penyelesaian kasus pendirian rumah ibadah, sementara proses-proses persuasif dan pendekatan kekeluargaan yang seharusnya dikedepankan.
H. Ahmad Syafi,i Mufid (Ketua FKUB DKI Jakarta) menyampaikan bahwa seminar bertujuan merangkum berbagai pemikiran bersama agar FKUB menjadi lembaga bina damai dan ke depannya harus melakukan kerjasama dalam rangka penguatan peran FKUB. Sementara Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan) pada saat seminar menyampaikan bahwa hasil penelitian, “Peranan FKUB dalam Pelaksanaan PBM” yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2009, disimpulkan: pertama, peran FKUB dalam melakukan dialog dan dalam menampung aspirasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan sudah dilakukan; kedua faktor-faktor pendukung pelaksanaan tugas diantaranya dukungan dana, pemberian prioritas waktu dan semangat toleransi, sedangkan penghambat kerja FKUB diantaranya keterbatasan dana dan waktu, kurang paham dalam beragama, serta gangguan politik sesaat.
Pdt. Suprianto (Pengurus PGIW DKI Jakarta) dengan judul makalah, ”Peranan Majelis Agama Membangun Kerukunan”, menyampaikan bahwa tantangan aktual para pimpinan majelis agama adalah: pertama, kita harus mewaspadai munculnya ekspresi sikap-sikap keagamaan yang tidak mencerminkan kesantunan dan toleransi; kedua,misi atau dakwah adalah kewajiban masing-masing agama yang kerap menjadi sumber konflik; ketiga, perilaku radikalitas keagamaan yang bersifat transnasional; dan keempat, kemampuan mengelola konflik internal yang lemah.
Menurut Zaenal Abidin, selaku koordinator kegiatan, seminar ini dilaksanakan selama 1 hari tanggal 28 Desember 2012 di Hotel Santika, TMII Jakarta. Seminar diikuti oleh 50 orang peserta, terdiri dari para pengurus FKUB se DKI Jakarta dan para pengurus ormas keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu). (za) |
Jakarta, 31/12 (Puslitbang 1) - Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyelenggarakan acara Pre-Launching Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan pada tanggal 26 Desember 2012 di hotel Millenium Jakarta. Acara ini dihadiri oleh oleh kurang lebih 60-an partisipan yang merupakan representasi dari berbagai lembaga/organisasi keagamaan seperti; MUI, PGI, KWI, MATAKIN, PHDI,WALUBI, Muhammadiyah, NU serta peneliti, dosen dan jurnalis.
Prof. Dr. H. Machasin, MA, Kepala Badan dan Diklat Kementerian Agama RI yang membuka acara sekaligus memberikan beberapa arahan penting, menyatakan bahwa Laporan Tahunan semacam ini penting dan susbtansial karena diperlukan untuk menjadi discourse yang dapat memberikan ruang segar yang lebih menggembirakan dan berwarna dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Masyarakat umum (public) dididik (civic education) untuk lebih terbiasa dengan pendekatan yang beraneka ragam dan tidak monolog. Pendewasaan masyarakat melalui diskursus yang multi-approach ini juga akan mematangkan pola relasi vertikal dan horizontal kehidupan keagamaan di Indonesia.
Tak kalah pentingnya, Machasin menegaskan bahwa Laporan Tahunan ini juga menunjukan pada masyarakat bahwa Negara tidak pernah tinggal diam dalam mengelola dan menumbuhkan budaya damai (the culture of tolerance). "Negara terlibat secara langsung dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi sepanjang tahun 2012, termasuk dalam kasus-kasus seperti rekonsiliasi Sunni-Syiah Sampang", ujar Machasin. Negara (Kementerian Agama) juga berperan aktif dalam penyelenggaraan kegiatan bertema pengembangan kerukunan dan budaya damai, misalnya Kemah Bersama antar Umat Beragama, pagelaran musik lintas agama, serta Dialog HAM Norwegia-RI ke-11 di Jakarta.
Adapun Kapuslitbang Kehidupan Keagaamaan Prof.Dr.Phil.H.M.Nur Kholis Setiawan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Laporan Tahunan 2012, meski tentu saja di perlukan beberapa penyempurnaan seperti aksentuasi yang harus lebih tegas, metode yang dipilih harus konsisten, serta harus adanya kuantifikasi kasus yang terjadi sepanjang tahun 2012 sebagai entry point analisa yang akan dikembangkan. Hal tersebut menurut beliau perlu diberi perhatian yang lebih agar hasil Laporan Tahunan 2012 lebih reliable dan secara akademis-metodologis dapat dipertanggungjawabkan.
Kegiatan penyusunan Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan adalah bentuk nyata ke arah upaya penyediaan data dan informasi yang diemban Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Data dan informasi tersebut pada waktunya diharapkan akan menjadi dasar penyu¬sunan kebijakan pembangunan agama (research based policy), dalam rangka mendukung tercapainya program-prog¬am pembangunan bidang agama. Penyusunan laporan tahunan ini telah memasuki tahun ketiga, setelah tahun 2010 dan 2011 dilakukan hal serupa. Selain meneruskan dan membuatnya berkesinambungan, kegiatan tahun ini diha¬rapkan menyempurnakan hal-hal yang dinilai kurang di tahun lalu dan dapat menjadi data penyeimbang laporan kehidupan keagamaan di Indonesia seperti yang sudah dan sedang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain seperti SETARA, The Wahid Institute, CRCS , Moderate Muslim Society (MMS) dsb. Adapun paradigma yang digunakan dalam Penyusunan Laporan Tahunan 2012 adalah keutuhan NKRI, kerukunan dan resolusi konflik, serta penghormatan terhadap HAM yang bercorak Home-grown.
Achmad Suaedi dari The Wahid Institute, yang diundang sebagi pembahas dalam pre-launching ini memberikan beberapa catatan yang menarik dan penting untuk ditindak lanjuti seperti pentingnya mempertegas metode analisa data, pentingnya membuat runtutan/kronologi persitiwa jika hal tersebut berulang di tahun yang berbeda, juga pentingnya pemilihan isu yang substansial dan memiliki dampak sosial yang krusial. (EH, RNF-ed) |
Jakarta,27/12 (Kompas) - Pelaku kejahatan atas Undang-undang Perkawinan sampai sekarang belum banyak dikenai sanksi hukum. Tidak diterapkannya sanksi ini mencederai hak pemenuhan keadilan bagi korban kejahatan perkawinan. Dengan alasan berpijak pada agama dan tradisi, kejahatan perkawinan terus dilakukan di tengah masyarakat. Pelakunya bukan hanya kaum kebanyakan, melainkan juga pejabat publik, mantan pejabat publik, dan selebritas.
”Kejahatan terhadap Undang-undang Perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan di bawah umur (perkawinan anak) dan perkawinan yang tidak dicatatkan,” kata Andy Yentriyani, komisioner pada Komnas Perempuan, Rabu (26/12). Rabu siang kemarin digelar seminar bertema ”Strategi Mengatasi Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Dicatat” yang diadakan Kementerian Agama dan Alimat. Alimat adalah gerakan pemikiran dan aksi masyarakat Indonesia yang bertujuan mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender dalam keluarga.
Tidak dicatat Hasil sementara survei yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), di 111 desa di 17 provinsi pada tahun 2012, rata-rata 25 persen perkawinan tidak dicatat, mempelai hanya menikah agama dan adat. Di beberapa provinsi, angka perkawinan tidak dicatat mencapai 50 persen adalah di Nusa Tenggara Timur, Banten, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, menurut penelitian Pusat Litbang Kehidupan Keagamaan dan Diklat Kementerian Agama, penyebab utama perkawinan anak dan perkawinan tidak dicatatkan adalah faktor tradisi. Orangtua merasa malu jika anak perempuannya diperolok sebagai perawan tua sehingga cepat-cepat dinikahkan di usia dini dan tidak dicatatkan karena belum memenuhi syarat sesuai undang-undang.
Nur Rofiah, pengurus Alimat, mengatakan, Indonesia masih memerlukan banyak tokoh agama perempuan yang tidak berpandangan patriarki. Tokoh agama perempuan ini dibutuhkan dalam membuat fatwa-fatwa terkait dengan isu perempuan dan anak. ”Selama ini fatwa lebih didominasi dari sudut pandang laki-laki,” kata Rofiah. Dampak dari perkawinan anak adalah terganggunya kesehatan reproduksi dan tekanan mental yang dialami sang anak. Hal ini disebabkan anak harus menjalani tanggung jawab begitu besar. Adapun perkawinan tidak tercatat menghilangkan hak anak dan istri yang seharusnya masih ditanggung suami jika suami menikah lagi. (IND) |
Jakarta, 20/12 (Puslitbang 1) - “Meski Indonesia telah memiliki UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), namun hingga saat ini harus diakui masih banyak terjadi kerusakan ekologis. Ironisnya perusakan lingkungan ini banyak dilakukan oleh komunitas beragama, untuk itu lembaga-lembaga keagamaan perlu terlibat dalam upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan”, demikian disampaikan Dra. Hj. Kustini, M.Si, Kepala Bidang Litbang Aliran dan Pelayanan Keagamaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, ketika menyampaikan sambutannya dalam acara Semiloka Peran Komunitas Agama Dalam Pemeliharaan Lingkungan di Hotel Mega Proklamasi Jakarta tanggal 19 Desember 2012.
Para narasumber dari kalangan agamawan Dr. Nasrullah Jasam (Islam), Pdt. Jonathan Viktor Rembert (Kristen) sepakat bahwa setiap agama memiliki ajaran yang mengatur bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, selain itu agama juga mengajarkan manusia untuk mencintai lingkungan.
Sementara Irhas Ahmady (Walhi) selaku narasumber menyampaikan, bahwa agama-agama monotheisme umumnya menempatkan manusia pada posisi superior dari alam, akibatnya sering terjadi eksploitasi alam oleh umat beragama. Irhas juga menyampaikan, kerusakan lingkungan saat ini lebih disebabkan oleh ketidakadilan ekologi akibat kebijakan dan politik ekonomi yang berpihak pada pemilik modal, Irhas mengatakan: “kesadaran kolektif masyarakat tidak didukung oleh kebijakan penguasa yang jauh dari keadilan ekologi sehingga upaya-upaya masyarakat selama ini jadi sia-sia”.
Kegiatan Semiloka ini diselenggarakan oleh Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) bekerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Semiloka menghadirkan 4 orang narasumber yaitu: Dr. Nasrullah Jasam (Intelektual Islam), Pdt. Jonathan Viktor Rembert (Intelektual Kristen), Irhas Ahmady (Walhi) dan Sultonul Huda (LPBINU). Kegiatan dihadiri 50 orang peserta berasal dari para tokoh agama, akademisi, aktivis/praktisi/pemerhati lingkungan, utusan NGO/LSM lingkungan, dan peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. (AJW)
|
|
|