Home /  Berita
Pimpinan Agama Harus Berperan sebagai Leader, bukan Korlap PDF Print Email

Bantul, 06/07 (Puslitbang 1) – “Pimpinan Agama harus berperan sebagai leader bagi umatnya, mengarahkan dan meluruskan jika ada provokasi yang berpotensi mengganggu kerukunan umat beragama, bukannya bertindak sebagai koordinator lapangan yang hanya memfasilitasi keinginan umat agamanya”, demikian disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Dr. H. Machasin, MA dalam pengarahannya saat membuka acara “Lokakarya Pengembangan Budaya Damai di Kalangan Pimpinan Ormas Keagamaan Lintas Agama Kab. Bantul Yogyakarta” di Hotel Rosin Yogyakarta, Sabtu 6 Juli 2013.

Machasin menambahkan bahwa emosi yang muncul karena simpati keagamaan terkadang mendorong orang lupa diri. “Inilah yang menjadi salah satu tugas pimpinan agama, yaitu melakukan pembinaan agar umat tidak melakukan provokasi dengan mengatasnamakan kebenaran (perintah Tuhan). Selain itu pimpinan agama juga diharapkan untuk membentuk jaringan/network melalui forum-forum semacam ini, dalam rangka mempromosikan budaya damai”, ujar Machasin.

Sementara itu, Kakanwil Kementerian Agama Prov. DIY, Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.I dalam sambutannya  mengatakan bahwa  kegiatan lokakarya ini merupakan salah satu upaya Kementerian Agama dalam melaksanakan tugasnya menjaga kerukunan umat beragama, dan juga menjalin tali silaturahmi dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan. “Kami mengapresiasi dan mengucapkan terimakasih atas kepercayaan Badan Litbang dan Diklat memilih Bantul sebagai lokasi diselenggarakannya lokakarya ini. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Bantul, memang dikenal kondusif kerukunan beragamanya”, lanjut Maskul.

Kegiatan ini bertujuan untuk membangun komunikasi dan dialog antar pimpinan ormas keagamaan lintas agama, sebagai langkah antisipasi timbulnya konflik antar umat beragama. Ke depannya, Pimpinan Ormas Keagamaan diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung di internal umat masing-masing.

Acara ini diadakan selama 3 hari, dari tanggal 6 s.d. 8 Juli 2013, dan merupakan kerjasama antara Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan Kantor Kemenag Bantul Prov. DIY. Lokakarya diikuti oleh 50 orang peserta terdiri dari unsur majelis agama di daerah, pimpinan ormas keagamaan/lembaga dakwah, penyuluh agama serta perwakilan SKPD terkait. Materi yang disampaikan di antaranya mengenai penguatan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, kebijakan pemda dalam pemeliharaan KUB di Bantul serta upaya membangun budaya damai melalui penguatan budaya lokal. Acara di Bantul ini merupakan rangkaian dari kegiatan lokakarya budaya damai di 3 lokasi, 2 lokasi lainnya diadakan di Kab. Bekasi (awal Juli) dan Kota Kupang (direncanakan awal Agustus). (RNF)

 
Kemenag Apresiatif dan Kritis terhadap Pembentukan KHI oleh Para Pendahulu PDF Print Email

Mataram, 4/06 (Puslitbang1) – Dua sikap Kementerian Agama dalam melihat apa yang telah dikontribusikan oleh para pendahulu yaitu apresiatif dan nalar kritis. Apresiatif artinya memberikan penghargaan terhadap apa yang telah mereka berikan, dan nalar kritis, dasarnya adalah apresiasi yang tinggi. Demikian dikemukakan oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan dalam pembukaan Sosialisasi Draft Naskah Akademik RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan di Hotel Lombok Garden, Nusa Tenggara Barat, Selasa 4 Juni 2013.

"Di dalam tradisi keilmuan keislaman tidak  pernah saya temukan literatur yang memasung kebebasan berpikir. Sampai pada literatur kitab nahwu saja itu memberikan penghargaan terhadap keragaman misalnya kenapa ada posisi majzum, rofa’, mansub dan lainnya, ini karena ada perangkat-perangkat sebelumnya. Nahwu dan sharaf itu mengajarkan kita tentang fleksibilitas. Posisi-posisi tertentu memberikan penghargaan terhadap kontribusi-kontribusinya masing-masing”, ujar Nur Kholis.

Selanjutnya Prof. Nur Kholis mengungkapkan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hasil dari diskusi dan pembahasan yang sangat luar biasa di antara para ulama, yang merujuk kepada kitab-kitab fiqh (madzahibul arba’ah) dan kiyai-kiyai yang dilibatkan adalah kiyai-kiyai Pesantren. “Dapat kita lihat pada tahun 1980-an Munawir Sadzali sudah sukses memberikan kontribusi terhadap umat Islam yang melahirkan KHI, untuk itu kita harus mengapresiasinya”.

Dalam kesempatan tersebut Prof Nur Kholis juga menjelaskan tentang tiga hukum yang digunakan di Indonesia: hukum Barat, hukum Islam dan hukum adat. "Kami melihat hukum adat sangat banyak digunakan di Indonesia karena hukum adat lebih tua dari hukum yang lainnya. Tentu, kerangka kita bicara hukum positif pasti berangkat dari nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, sosialisasi RUU arahnya adalah kepancasilaan yang sumbernya dari hukum Islam. Seperti kegiatan ini merupakan bagian yang terpenting di dalam proses perjuangan. Artinya bagaimana negara ini mampu memberikan wadah sekaligus mampu memayungi secara optimal kepentingan-kepentingan umat beragama di tanah air ini, yang paling besar adalah kepentingan umat Islam pada khususnya”, papar Nur Kholis.

Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Fakultas Syari’ah IAIN Mataram, dan dihadiri oleh akademisi dari berbagai ormas seperti Nahdlatul Waton, NU, Muhammadiyah. Unsur peserta lainnya adalah Pengadilan Agama, Akademisi, dan LBH. Acara ini sendiri diharapkan dapat membuka wawasan bahkan memberikan masukan terhadap draf naskah yang sudah ada.

Sosialisasi dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama membahas dua tema penting yaitu Peran Kementerian Agama dalam Mewujudkan Positivisasi Hukum Islam dan Argumen Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Pembentukan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan dengan masing-masing pembicara Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan dan H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. Bertindak sebagai pembahas dalam acara ini adalah Dr. H. Miftahul Huda, M.Ag., Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Mataram. Sedangkan sesi kedua menghadirkan pembicara Dr. H. Edi Riyadi, SH, MA, dengan materi Muatan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan dan sebagai pembahas Syafruddin Badaruddin, S.Ag. M.S.I., Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, Lombok Barat, NTB. (AM)

 

 
Perlu Kontekstualisasi Tafsir Keagamaan tentang Posisi dan Peran Perempuan PDF Print Email

Bandung,29/5 (Puslitbang 1) - “Kita perlu kontekstualisasi tafsir keagamaan tentang posisi dan peran perempuan”, demikian salah satu pernyataan yang ditegaskan oleh Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan dalam Semiloka Nasional Wawasan Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh dan Konselor BP4 yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Perhimpunan Rahima. Semiloka yang dilaksanakan selama tiga hari 29 s.d. 31 Mei 2013 di Hotel Jayakarta Bandung ini mengusung tema “Reinterpretasi Konsep Keluarga Sakinah dalam Konteks Keindonesiaan”.

Dalam sesi pembukaan kegiatan, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan menyinggung mengapa kegiatan semiloka ini penting untuk diadakan. “Memperbaiki keadaan suatu bangsa tidak lain adalah serangkaian upaya sungguh-sungguh yang harus dimulai dari perbaikan kualitas keluarga, sebab keluarga merupakan inti masyarakat dan bangsa untuk melahirkan generasi bangsa yang berkualitas. Untuk itu Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah banyak melakukan riset dan pengembangan terkait keluarga sakinah”, ujar Nur Kholis.

Beliau juga menyampaikan bahwa dari hasil kajian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan diketahui masih ada beberapa problem terkait pengembangan Keluarga Sakinah antara lain: (1) Problem kultural, yaitu konstruksi masyarakat termasuk tafsir keagamaan yang masih bias gender sehingga berimplikasi pada pemahaman tentang pola relasi suami isteri dalam keluarga yang tidak setara, (2) Problem institusional, yaitu antara lain  kurang maksimalnya pelaksanaan kursus calon pengantin (suscatin) di Kantor Urusan Agama, dan (3) Problem sosial ekonomi, misalnya tingginya jumlah tenaga kerja perempuan yang sudah menikah dan sebagian besar menjadi pekerja migran di luar negeri yang dapat berakibat pada  munculnya beban ganda pada perempuan.

Lebih lanjut Nur Kholis menjelaskan, “Saat ini harus diakui masih adanya tafsir keagamaan yang bias gender, misalnya dalam penjelasan kitab Al Arbaiin An-Nawawiyah disebutkan bahwa beristri empat itu bagian dari Sunnah Rasul, juga misalnya dalam Kitab Tafsir Hasan Al-Basri yang menyebut pengertian dari kalimat as-Sufaha itu diartikan sebagai Yahudi, Nasroni, dan an-Nisa (perempuan). Untuk itu perlu kajian bagaimana mendorong tafsir teks-teks keagamaan dalam konteks kekinian, sehingga lebih menghargai perempuan sebagai kontributor peradaban.”

 
Modul Pemeliharaan Lingkungan : Reaktualisasi Fiqh dalam Menjawab Problem Kehidupan Aktual PDF Print Email

Jakarta, 24/05 (Puslitbang 1) - Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) selama 3 hari, tanggal 20 sd. 22 Mei 2013 menyelenggarakan kegiatan Workshop Penyusunan Modul Pemeliharaan Lingkungan melalui Peran Komunitas Agama dengan Pendekatan PAR (Participatory Action Research). Output kegiatan tersebut adalah penyusunan modul yang nantinya akan diujicobakan di 3 daerah dengan peserta para penyuluh agama, tokoh agama, dan pengurus majlis taklim dan pesantren sebagai wujud partisipasi aktif mereka dalam upaya pemeliharaan lingkungan.

Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Sofyan Betawi, Menteng, Jakarta Pusat ini dihadiri oleh para pejabat dan peneliti dari Puslitbang Kehidupan Kegamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, pejabat dan staf Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU),  akademisi, dan aktivis lingkungan.

Sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan menyampaikan bahwa kegiatan penyusunan modul ini merupakan sesuatu yang berbeda, suatu ikhtiar untuk memasukan agama dalam upaya pemeliharaan lingkungan. "Hal ini penting sehingga upaya pemeliharaan lingkungan menjadi lebih kuat karena mendapatkan ‘vitamin’ dari modul ini”, demikian ujar Nur Kholis.

Lebih lanjut Nur Kholis mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan seri lanjutan dari upaya yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, dimana sebelumnya pernah menerbitkan Tafsir Tematik Al-Quran tentang Lingkungan Hidup. "Tafsir ini merupakan landasan teologis bagi umat Islam dalam konservasi lingkungan, sedangkan modul ini lebih aplikatif dan lebih kuat perspektif ushul fiqh dan fiqh-nya. Saat ini reaktualisasi atau reformasi nilai-nilai fiqh sangat dibutuhkan, sehingga obor agama dapat masuk pada problem kehidupan yang lebih riil,” demikian tambahnya.

Sementara itu Asisten Deputi Peningkatan Peran Organisasi Kemasyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Drs. Widodo Sambodo, M.S menyatakan, “Meski NASA saat ini berhasil menemukan adanya Planet Capler yang terindikasi memiliki sumber kehidupan, namun jika itu terbukti dikemudian hari benar, maka kita tidak boleh berhenti untuk tetap berupaya melindungi dan memelihara bumi kita.”

“Saat ini kandungan minyak bumi kita akan habis dalam 12 tahun lagi, sementara batu  bara tinggal 60 tahun lagi, jika tidak diantisipasi maka seluruh teknologi yang kita pakai akan mati dan tidak dapat digunakan, sehingga perlu dipikirkan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Untuk itu perlindungan dan pengelolaan alam secara baik menjadi sesuatu yag niscaya dan mendesak dilakukan”, tandas Widodo.

Di akhir penyampaiannya, beliau juga berharap agar kedepan Kementerian Agama dan KLH bisa lebih banyak sinergi dalam upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup, meski secara institusional itu menjadi tugas utama KLH. (AJW)

 
Kelompok Bimbingan Haji (KBH) Tidak Boleh Melakukan Bisnis Haji PDF Print Email

Jakarta, 17/05 (Puslitbang 1) - Sebagaimana telah banyak dimaklumi, selama ini Kelompok Bimbingan Haji (KBH) diakui banyak berperan membantu pemerintah dalam melakukan bimbingan ibadah haji, namun tidak dipungkiri ada juga KBH yang ternyata melakukan bisnis haji dan tidak mematuhi regulasi yang ditetapkan. Oleh karenanya Kementerian Agama akan melakukan kajian penelitian terhadap sejumlah KBH yang rencananya akan dilakukan dengan melibatkan para peneliti baik dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan maupun Balai Litbang Keagamaan (Jakarta, Semarang, dan Makassar) dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2013. Untuk itu, Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyelenggarakan pembahasan Desain Operasional Penelitian tentang Kelompok Bimbingan Haji (KBH) di Hotel Ibis Tamarin Jakarta Pusat selama dua hari, yaitu sejak tanggal 16 s.d 17 Mei 2013.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan yang membuka kegiatan ini dalam sambutannya  mengatakan: “Penelitian dilakukan untuk memotret KBH, peran KBH adalah sebagai alat bantu Dirjen Haji, jadi harus ada kebersamaan. Ada sinyalemen seakan peran itu berjalan sendiri-sendiri. Situasi ini tentu tidak kondusif sebab baiknya harus selalu ada kordinasi. Oleh karenanya penelitian ini mencoba mencairkan sekat-sekat tersebut dan Litbang dapat berperan melalui produk riset yang baik sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan.”

Kapuslitbang juga menyatakan bahwa penelitian ini penting untuk penataan KBH ke depan. "Penelitian ini akan melahirkan rekomendasi, demi perbaikan-perbaikan kinerja KBH, sehingga nantinya akan mendorong perbaikan pelaksanaan ibadah haji. Ini pekerjaan  besar, untuk itu Balai-Balai Litbang Agama dilibatkan”, ujar Nurkholis.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini dihadiri oleh 30 orang peserta, terdiri dari para pejabat dari Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh, para pejabat serta peneliti di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, serta para pimpinan Balai Litbang Agama (Jakarta, Semarang, dan Makassar).

Sementara itu Direktur Pembinaan Haji dan Umroh Bapak Drs. H. A. Kartono sebagai nara sumber dalam kegiatan tersebut menyampaikan: “Penelitian KBH ini penting dilakukan untuk mengetahui apakan KBH telah benar-benar melaksanakan tugas bimbingan kepada jamaah haji atau tidak. Jika sudah, sejauhmana hal tersebut dapat memandirikan jamaah dalam melaksanakan ibadah secara baik dan benar. Apakah jamaah berhasil menunaikan ibadah secara baik atau tidak. Jadi kita perlu evaluasi peran KBH. Jangan sampai ada KBH yang tidak maksimal atau keliru dalam memberikan bimbingan ibadah. Selama ini hal-hal yang disoroti publik umumnya yang bersifat fasilitas fisik, sementara substansi haji sebagai ibadah jarang mendapat sorotan.”

Untuk mendapatkan gambaran yang utuh atas peran KBH, maka penelitian ini rencananya akan mengambil lokasi di tanah air maupun di Arab Saudi, dengan mengambil sampel sejumlah KBH yang selama ini sudah mendapatkan ijin dari Kantor Kementerian Agama Provinsi di seluruh Indonesia. Penelitian akan menggunakan pendekatan mixed methode yaitu menggunakan dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. (AJW)

 
<< Start < Prev 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Next > End >>

JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.