Jakarta, 29/04 (Puslitbang 1) - Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa “Tidak benar tata hukum Indonesia itu menyatakan ada agama resmi.” Merujuk pada putusan MK yang pernah dibuatnya tahun 2010 silam, Mahfud mengingatkan Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965. Bahwa di Indonesia ada agama-agama yang banyak dipeluk, yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun demikian, agama-agama lainnya dibiarkan adanya berkembang. Kata ‘dibiarkan’ ditafsirkan dengan diabaikan, padahal menurutnya bukan itu melainkan jangan diganggu. Oleh sebab itu,” ditegaskannya, “sampai hari ini tidak ada di dalam hukum kita itu menyebut enam agama itu sebagai agama resmi. Bahwa dalam praktik ada yang seperti itu, itulah yang salah.”
Hal ini disampaikan Moh. Mahfud MD dalam Seminar dan Peluncuran Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan 2013, yang digelar Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama, pada Senin (28/4) di Jakarta. Acara yang dibuka Kabalitbang M. Machasin ini, diikuti oleh para pejabat Kementerian terkait, tokoh agama, aktivis LSM, dan peneliti agama. Hadir perwakilan Kemenlu, Kemenkum HAM, Kemendagri, Kemenag, Staf Ahli Menag, MUI, PGI, KWI, Walubi, PHDI, Matakin, dan lain-lain. Selain Mahfud, penanggap lain adalah Buya Syafii Ma’arif, Nursyahbani Katjasungkana, Romo Hariyanto, dan Asrori S. Karni. Acara dipandu secara atraktif oleh Dedi Djubaedi, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan.
Adanya anggapan ‘agama resmi dan tidak resmi’, menurut Asrori S. Karni, redaktur GATRA, antara lain karena ternyata revisi UU Adminduk 2013 masih tetap mempertahankan klausul “agama belum diakui.” Padahal, menurutnya, adanya kesan diakui atau tidak ini berimplikasi pada adanya diskriminasi pelayanan pemeluk “agama lainnya” yang secara statistik kian bertambah. Hal ini dikuatkan Nursyahbani Katjasungkana, Kordinator Nasional APIK, yang bertanya, “apa kesulitannya hingga negara tak memberikan perlindungan kepada warga negara dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, termasuk diskriminasi dalam hal pelayanan publik.” Romo menegaskan tugas negara adalah menjaga ketertiban umum dengan menjamin hak-hak konstitusional warga negara.
Sementara itu, Buya Syafii Maarif melihat lebih luas lagi. Kerukunan ke depan yang dibayangkannya bukan sekadar kerukunan umat beragama, umat yang beragama, tetapi juga dengan yang tidak beragama. Antara orang beriman dan yang tidak beriman. Buya juga mengkritik fatwa soal haramnya pluralisme, seraya mempertanyakan pendefinisiannya.
Seakan menjawab persoalan ‘agama resmi-tidak resmi’ ini, Kabalitbang M. Machasin menyampaikan pihaknya sedang mengkaji pelayanan hak-hak sipil bagi pemeluk agama di luar enam agama. Rancangan bentuk regulasi terkait ini sedang dalam proses pembahasan di/oleh lintas Kementerian. [asr]
Unduh Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan 2013 disini! |
|
Jakarta, 24/03 (Puslitbang 1) - Peringatan 8 tahun implementasi PBM menjadi momentum perlunya kembali sosialisasi PBM, untuk menjawab problem kerukunan antarumat beragama yang masih ada. Demikian intisari refleksi para tokoh agama dalam acara “Coffee Morning: Refleksi 8 Tahun PBM No. 9 dan 8 tahun 2006.” Acara yang digelar Puslitbang Kehidupan Keagamaan di Penang Bistro, Kebon Sirih, Senin (24/3/2014) ini, dihadiri oleh para tokoh lintas agama, tim perumus PBM, serta sejumlah pejabat lintas kementerian. Tampak tokoh agama perwakilan MUI, PGI, KWI, PHDI, Walubi, dan Matakin. Hadir pula beberapa anggota tim perumus PBM, Staf Ahli Menteri Agama Abdul Fatah, Kapus Pinmas Zubaidi, Kepala PKUB Mubarok, Direktur pada Kementerian Hukum dan HAM, perwakilan LSM, serta sejumlah peneliti.
Dalam sambutannya, Kepala Badan Litbang dan Diklat M. Machasin menegaskan, acara evaluasi tahunan implementasi PBM ini penting dilakukan. Ia menengarai dewasa ini PBM telah dipahami salah atau bahkan digunakan suatu kelompok justeru untuk menolak berdirinya rumah ibadat tertentu. Terhadap rumah ibadat lama yang direnovasi, misalnya, belakangan justeru dilakukan penolakan. Banyak disalahpahami, peraturan ini karenanya perlu disosialisasikan lagi.
M. Atho Mudzhar, mantan Kabalitbang yang turut membidani lahirnya PBM ini, juga menegaskan perlunya sosialisasi PBM digalakkan lagi. Ia melihat dewasa ini sosialisasi sudah jarang dilakukan, padahal gangguan kerukunan terkait rumah ibadat masih terus terjadi. Ia pun mengusulkan agar dibuat instruksi dua menteri atau surat edaran untuk mendorong sosialisasi PBM, dengan disertai penjelasannya (Tanya Jawab PBM) yang menjadi bagian tak terpisahkan. Koordinasi dan hubungan baik antara Kemenag dan Kemendagri menjadi kunci sukses agenda ini, imbuhnya.
Sementara itu, anggota Tim Perumus PBM dari KWI, Vera Wenny, mengaku prihatin terhadap proses penyelesaian kasus rumah ibadat yang masih kurang baik. Ia mengusulkan “mediasi” sebagai jalan hukum yang tegas dan dapat mengikat para pihak. Keprihatinan juga ditujukan atas adanya anggota FKUB yang dinilainya kurang negarawan. Hal ini disambung Pendeta Favor Bancin dari PGI, yang juga melihat pentingnya penyeleksian anggota FKUB. Bancin juga melihat bahwa implementasi PBM sangat tergantung peran kepala daerah. Sayangnya mereka luput dari sosialisasi-sosialisasi yang dilaksanakan. Hal ini dijawab Budi Prasetyo, Direktur pada Kesbangpol Kemendagri, yang menyatakan bahwa evaluasi terus dilakukan atas peran pemda tersebut. Karena daya ungkit PBM ada di tangan kepala daerah, maka dilakukan terobosan untuk pemerkuatan APBD dengan memasukkan “anggaran untuk FKUB” pada Pedoman Penyusunan APBD yang disusunnya.
I Nengah Dana, Tim Perumus dari PHDI, melihat PBM lebih dilihat hanya dari soal rumah ibadat, padahal ada sisi pemberdayaan masyarakat oleh FKUB, ungkapnya. Hal ini ditambahkan Ketua FKUB DKI, Ahmad Syafii Mufid, yang melihat peran FKUB kian luas cakupannya, tidak hanya empat tugas sebagaimanya dituntut PBM. Demikian juga dikemukakan Staf Ahli Menag, Abdul Fatah, yang mengharapkan fungsi FKUB lebih luas ke fungsi lain termasuk terkait pelayanan agama non-enam.
Acara Coffee Morning yang dipandu secara atraktif oleh Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Dedi Djubaedi ini, banyak merekam butir-butir evaluasi, refleksi, serta usul dan harapan dari para peserta untuk perbaikan implementasi PBM ke depan. Sesuai tujuan acara ini, harapannya peraturan dua menteri ini bisa semakin efektif menjawab problem umat. Jikapun kekuatan dua menteri dirasa kurang, forum ini juga mendorong peningkatan kekuatan hukum PBM ke dalam bentuk perundangan lain yang lebih tinggi. Meski begitu, peningkatan pemahaman masyarakat terhadap PBM lebih urgen dilakukan saat ini. Abdul Fatah, mengutip pendapat Frans Magnis, menyatakan bahwa PBM sangat berpengaruh terhadap hubungan antarumat beragama. Maka, mari galakkan kembali sosialisasi PBM! [asr] |
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar menyelenggarakan kegiatan Workshop “Kerukunan Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Sulawesi Selatan”. Acara ini diikuti oleh 50 orang peserta yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu perwakilan Kanwil dan Kemenag Kota Makassar, FKUB, Majelis-Majelis Agama, Ormas Keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, LDII, DDI, IJABI, JAI, perwakilan pemuda lintas agama dan unsur Perguruan Tinggi serta peneliti Balai Litbang Agama Makassar. Acara ini dilaksanakan dari tanggal 27 s.d. 29 November 2013 dan menghadirkan beberapa narasumber yaitu Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M.Ag, Prof.H.Azhar Arsyad, MA., Dr.Halilintar Latief, M.Pd. dan Dr. Abd. Kadir Ahmad.
Kepala Balai Litbang Agama Makassar Dr. Hamzah Harun Al Rasyid menyatakan bahwa kegiatan ini dilatarbelakangi dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2009 tentang pemetaan keagamaan. Pemetaan Keagamaan tidak hanya berasal dari data kehidupan keagamaan masyarakat Sulawesi Selatan tetapi juga berdasarkan kearifan lokal yang bersumber dari seluruh etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi nilai-nilai lokal di Sulawesi Selatan, yang akan dijadikan sebagai landasan dasar kebijakan untuk seluruh Nusantara.
Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M.Ag, selaku Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyambut baik dilaksanakannya workshop ini. Dalam sambutannya sekaligus menyampaikan materi, Kapuslitbang menyampaikan harapannya melalui workshop kearifan lokal ini dapat mewujudkan kerukunan umat beragama.
"Allah menciptakan manusia sebagai kholifah, sebagai pemimpin yang akan dimintai pertanggungan jawabannya. Yang dibutuhkan sebagai pemimpin adalah pelayanan untuk melanjutkan aktifitas kelestarian kebijaksanaan dan kearifan lokal sebagai tanggungjawab bersama. Kearifan lokal apabila tidak dikembangkan dalam konteks kemajuan zaman maka akan punah. Misalnya di Ambon dengan kearifan lokal seperti Katong Basaudara (Kita Orang Bersaudara) adalah salah satu upaya merealisasikan kehidupan yang rukun terpancar dalam kehidupan manusia. Kearifan lokal bisa menjadi jembatan, untuk mengerti kebutuhan masyarakat. Kita harus mampu mencari kearifan lokal yang membangun sistem berfikir yang menang-menang, karena selama ini yang terfikir kalah-menang", demikian ungkap Prof Dedi Djubaedi.
Sementara menurut Prof.H.Azhar Arsyad, MA, pranata-pranata lokal bisa menjadi spirit bagi kearifan lokal. Karena itu tidak perlu ada pertengkaran, sebab masing-masing memiliki ruh keyakinan dan keimanan di dalam hatinya bagi setiap manusia. Ruh, menurut Hossein Nasser adalah substance (substansi), spiritual, celestial (melangit), luminious (bercahaya), living (hidup), knowing, potentially dan active by nature. Kearifan lokal munculnya dari ruh dan masuk menjadi inner capacity.
Dr. Halilintar Latief, M.Pd mengatakan bahwa ada beberapa kearifan lokal yang berasal dari asing, tetapi telah menjadi bagian dari kita, meskipun diantaranya ada yang diterima dengan keikhlasan atau dengan paksaan. Setelah pemaparan narasumber, dilanjutkan dengan dialog. Muncul usulan dari para peserta dalam rangka mempertahankan kearifan lokal supaya tetap terjaga, diantaranya agar kearifan lokal dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi. |
"Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada di tengah masyarakat pada akhir-akhir ini , umat beragama dituntut agar tidak mudah dimanfaatkan oleh kepentingan sesaat suatu golongan untuk melakukan hal-hal yang kontra produktif. Kedepannya masyarakat Cianjur diharapkan mampu melakukan tindakan preventif akan terjadinya perselisihan dengan selalu membina kerukunan antar umat beragama". Hal ini disampaikan oleh Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M.Ag dalam acara pembukaan Diskusi Kajian Masalah Aktual Kehidupan Keagamaan, Sabtu 7 Desember 2013 bertempat di Wisma Maleber Pacet, Cianjur Jawa Barat.
Acara yang digagas oleh Bhakti Parahyangan - CSO bekerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan ini berjalan dengan hangat dan santai, para peserta tampak menyimak arahan Prof. Dedi yang humoris dengan seksama serta sesekali diwarnai dengan gelak tawa. Kapuslitbang juga berharap para peserta bisa menjadi agen-agen penyebar “virus” kerukunan umat di lingkungannya. "Para agen ini dituntut untuk kreatif, berfikir positif, pro aktif dan mempunyai frame berpikir “win-win solution” dalam menyelesaikan persoalan kerukunan, ujar Dedi Djubaedi.
Acara diskusi ini dihadiri oleh berbagai unsur kemasyarakatan yang ada di Kabupaten Cianjur seperti tokoh-tokoh ormas kepemudaan, para tokoh lintas agama, aktivis sosial dan mahasiswa. Panitia juga menghadirkan narasumber pusat lainnya yakni Zuhairi Misrawi yang juga merupakan tokoh dari lembaga Moderate Moslem Society, Jakarta. (AN) |
Banjarbaru Kalsel, 11/11 (Puslitbang 1) - “Melestarikan lingkungan hidup bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi“, demikian pernyataan Prof. Dr. Dedi Djubaedi, M.Ag Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam acara penutupan workshop Pemeliharaan Lingkungan melalui Peran Komunitas Agama dengan Pendekatan PAR (Participatory Action research) di Kota Banjarbaru. Lebih lanjut beliau juga menyatakan, “Saya berharap kontribusi dan implementasi nyata dari kegiatan ini di masyarakat, karena melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi, harus dimulai sejak saat ini dan oleh semua orang, tidak harus pemerintah”.
Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M. Ag berharap agar kegiatan yang dilaksanakan ini tidak hanya terhenti dan memiliki arti hanya sebagai sebuah kegiatan seremonial belaka akan tetapi ada tindak lanjut nyata yang diimplementasikan di masyarakat sebagai sebuah wujud nyata peran serta para tokoh agama yang notabene sering berada di tengah-tengah masyarakat, dalam upaya bersama sama memelihara lingkungan.
Workshop Uji Coba Modul Pemeliharaan Lingkungan melalui Peran Komunitas Agama dengan Pendekatan PAR (Participatory Action Reasearch) ini dilaksanakan sejak tanggal 8 sd 11 November 2013 di Hotel Permata In Kota Banjarbaru. Kegiatan ini diprakarsai oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) serta secara teknis dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Agama Kota Banjarbaru.
Abdul Jamil, S.Ag, M.Si selaku ketua pelaksana kegiatan pemeliharaan lingkungan sengaja dilakukan di Kalimantan Selatan karen berdasarkan data dari BNPB tahun 2010 Kalsel adalah provinsi tertinggi ke enam yang banyak mengalami kejadian bencana alam setelah Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, dan NTT. Terkait digunakannya pendekatan PAR dalam workshop beliau menyatakan “Bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia saat ini, lebih disebabkan karena adanya kerusakan ekologis yang itu banyak disebabkan ulah manusia, untuk itu melalui pendekatan PAR masyarakat diharapkan lebih banyak terlibat”.
Latar belakang dilakukannya kegiatan sendiri adalah karena Indonesia saat ini tengah mengalami krisis lingkungan yang akut. Sebab, munculnya berbagai bencana karena kerusakan faktor lingkungan yang disebabkan exploitasi manusia terhadap alam secara membabi buta. Sebagai sebuah negara yang kental dengan nuansa religius, sudah tentu peran aktif dari kalangan agamawan dalam ikut serta mengatasi kerusakan lingkungan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
Sementara PAR sendiri adalah salah satu pendekatan akademik di bidang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan penekanan pada penemuan masalah, analisis, perencanaan, dan aksi yang partisipatif melibatkan masyarakat. Melalui PAR diharapkan masyarakat dan persoalan yang dihadapinya berubah ke arah yang lebih baik, dan pada akhirnya pembangunan yang dilakukan akan berwawasan lingkungan.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut diikuti oleh 30 orang peserta yang terdiri dari unsur Penyuluh Agama Muslim, Tokoh Agama Non Muslim, Pimpinan Majelis Taklim, Pimpinan Pesantren, Pimpinan Ormas Keagamaan, Balai Diklat, dan Unsur Kemenag Kota Banjarbaru. Sementara para narasumber adalah dari MUI dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kota Banjarbaru, dan LPBINU.
Kegiatan ini disambut baik oleh para peserta. Pgs. Kankemenag Kota Banjarbaru Drs. H. Syukeriansyah dalam sambutannya pada acara penutupan Workshop. “Kami menyambut baik dan berterima kasih atas kepercayaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang sudah memilih Kota Banjarbaru sebagai tempat penyelenggaraan Workshop Uji Coba Modul Pemeliharaan Lingkungan ini, dan mudah-mudahan ini membawa manfaat yang besar dan pengaruh yang nyata terhadap upaya pelestarian lingkungan di Kota Banjarbaru”. (AJW) |
|
|