HomeBeritageneral /  Abdurrahman Mas'ud: Dialog Islam-Barat Sangat Penting
Abdurrahman Mas'ud: Dialog Islam-Barat Sangat Penting PDF Print Email

Dalam studi yang Anda lakukan, siapakah Barat yang dimaksud?

Barat memang luas. Konsep Barat bisa berdasarkan warna kulit putih, bahasa, serta budaya Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan seterusnya. Jadi, bisa dilihat secara geografis. Dalam sejarah, sejak Perang Salib menjelang abad pertengahan, umat Islam melihat Barat identik dengan Kristen sebagai pelaku Perang Salib. Sama juga orang Barat yang mengganggap Islam identik dengan jihad dan menempatkan kaum non-Muslim sebagai kafir yang wajib dibunuh.

Jika sampai abad 21 ini masih ada yang memandang seperti itu, berarti cara pandang itu tidak beda dengan cara pandang akhir periode klasik yang penuh dengan tumpah darah. Makanya, harus dilihat dari sisi lain. Sebab, jika melihat sejarah secara tidak utuh, hasilnya akan merugikan banyak pihak. Makanya, dalam pengukuhan guru besar saya tahun 2003 silam, saya mencoba mengangkat isu soal "Membuka lembaran baru dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis." Tapi, studi saya batasi dan lebih fokus pada fenomena AS. Sebab, AS meskipun dengan kompleksitas problemanya, ia tetap adikuasa dan saya hampir 8 tahun berdomisili dan mengkritisi budaya di sana. Jadi, sah-sah saja saya berkomentar tentang Barat dalam konteks yang saya lihat.

Media Barat dinilai gagal menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, apa pemicunya?

Betul. Lama sekali Barat tenggelam dalam prejudice dan stereotyping yang menyesatkan. Media AS, misalnya, telah gagal memahami bahwa kekerasan di Arab sesungguhnya merupakan reaksi terhadap kezaliman Israel yang tidak berperikemanusiaan terhadap Palestina. Faktor penyebab potret yang salah di antaranya karena dilandasi ideologi kebencian atau juga eksklusivisme yang sering disebut Eurosentrisme.

Selain itu, bisa juga bagian dari industri dunia Barat yang diliputi dengan kondisi dan kekuatan politik yang salah memahami Islam. Faktor lainnya karena memang murni ketidaktahuan (ignorance) seperti yang kerap disimpulkan dari hasil dialog-dialog selama ini. Contoh kecil, masyarakat Barat lebih kenal Bali ketimbang Indonesia secara keseluruhan. Meskipun demikian, kita harus jujur mengakui, kesalahpahaman itu terkadang juga diakibatkan oleh sebagian kecil dunia Muslim sendiri yang lebih mengedepankan kekerasan dari dialog dan akal sehat.

Melihat kompleksitas masalah, tampaknya dialog Islam Barat utopis belaka?

Saya optimistis. Sejak dulu, kita melakukan dialog antara Islam dan di luar Islam. Saya merasa, apa yang saya lakukan direspons dengan baik. Dialog bukan hal yang utopis. Sebab, dialog pernah saya lakukan langsung, tidak hanya gagasan di belakang meja belaka. Baik ketika saya kuliah, postdoct riset, maupun saat mengajar di New Port Rhode Island. Bahkan, juga berdialog dengan para tokoh Barat di berbagai kesempatan.

Dialog seperti ini penting agar mereka bisa mendengar langsung dari dunia Islam. Orang Amerika Serikat tidak tahu banyak tentang Islam. Selama ini, mereka salah paham dan menganggap Islam identik dengan kekerasan serta perlakuan yang diskriminatif.

Pascatragedi 11 September 2001, hubungan Islam-Barat sebenarnya tidak seburuk yang dikhawatirkan. Justru peristiwa itu menimbulkan rasa ingin tahu kalangan Barat sehingga pengetahuan mereka menjadi semakin baik dan mendalam.

Bahkan, berdasarkan survei harian USA Today, dalam skala nasional 2003, justru pemahaman mereka menjadi semakin meningkat mencapai angka 80 persen. Tidak heran saat kita mendengar Islam sebagai the fastest growing religion in the USA.

Apa indikasi keberhasilan dialog yang Anda lakukan?

Pengalaman saya pribadi berinteraksi dengan dunia kampus AS pada bulan Ramadhan sekitar enam tahun lalu, telah membuktikan bahwa potensi manusia untuk damai semestinya harus lebih diberi ruang dan dilatih secara berkesinambungan. Sebagaimana latihan dalam bulan Ramadan. Bukan sebaliknya. Sisi-sisi konflik kemanusiaan dan peradaban yang ditonjolkan sebagaimana tulisan Samuel Huntington.

Salah seorang wartawati muda Newport Daily, Nicole Chevrette, yang juga berpartisipasi intensif dalam dialog itu, dalam artikelnya menjadi saksi akan pentingnya dialog yang pernah kami gelar. Ia menulis begini.

As Prof Mas`ud learns about Westrern culture simply by being here, he is also teaching students, many of whom never had any significant interaction with the Islamic world, but who are likely to after graduation. The fact is that Muslims desire peace as much as Westerner do. We must learn to overcome culture devide.

(Sementara Prof Mas'ud belajar budaya Barat dengan kehadirannya di sini, dia juga mengajar mahasiswa-mahasiswi yang kebanyakan mereka belum pernah berinteraksi dengan dunia Islam, tapi agaknya mereka akan mengalami interaksi setelah wisuda. Kenyataannya adalah dunia Islam mendambakan kedamaian, sama seperti orang Barat memimpikannya. Kita, orang Barat, harus belajar untuk mengatasi benturan budaya).

Kita senang, dewasa ini kerja sama dengan pihak Barat semakin baik dalam berbagai bidang. Selain itu, keberhasilan bisa menengok perkembangan baru dialog antarperadaban. Forum-forum dialog sudah dibentuk dan digelar. Di Eropa, di antaranya pernah digelar Asia Europe Meeting (ASEM) dan Alliance of Civilizations (AOC) yang pernah dihadiri oleh Barack Obama. Begitu juga dengan dialog yang digelar antarnegara.

Lantas apa yang menjadi hambatan utama dialog?

Politik kepentingan (political interest). Seperti kebijakan luar negeri AS yang pro-Israel, tindakan semena-mena yang ditunjukan di dunia Islam seperti di Afghanistan dan Irak. Arogansi ini mempersulit tugas kemanusiaan di masa depan. Ditambah kegagalan dunia menyetop arogansi ini dianggap sebagai mandulnya demokrasi, akal sehat, serta kemanusiaan.

Kritik terhadap dunia Barat adalah bahwa isu terorisme baru berkembang pada paruh kedua abad dua puluh, tidak jauh berbeda masanya dengan lahirnya isu HAM. Masa penjajahan (kolonialisme) dunia Barat terhadap dunia ketiga selama berabad-abad telah luput dari isu terorisme. Jika ada kekerasan di dunia Barat dianggap bukan terorisme, sebaliknya jika terjadi di luar dunia Barat dikatagorikan terorisme. Ini saya sebut sebagai eufimisme modern.

Eufimisme modern agaknya bisa ditemukan di mana-mana, termasuk pada kebijakan politik AS. Hal ini sesuai dengan kritik Noam Chomsky dalam Pirates and Emperors, yang menggambarkan standar ganda AS dan kecenderungan escalating policy of apartheid dalam memperlakukan terorisme internasional.

Sesungguhnya pencipta teroris terbesar adalah Israel dan Amerika itu sendiri saat memberi dukungan terhadap Israel tanpa syarat. Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina telah memberi stimulus lahirnya kelompok Hamas, Hizbullah, serta militan-militan lain. Yang bisa mengubah kebijakan AS tentu orang yang berada di dalam negeri itu sendiri. Kita bersyukur masih ada tokoh di negeri AS seperti Noam Chomsky yang berani bersuara melawan ketidakadilan AS.

Tapi, bukankan di bawah Barack Obama, AS mencoba mendekati dunia Muslim?

Benar. Kedatangan Obama ke Turki dan Mesir diharapkan ada perubahan kebijakan AS. Namun persoalannya, AS masih didominasi oleh politisi yang anti-Islam meskipun saat ini sudah ada politisi moderat di senat ataupun gedung putih.

Tetapi, selama AS belum mengubah kebijakannya yang cenderung menyudutkan dunia Islam, pasti menghambat dan menyakiti umat Islam. Akibatnya, yang terjadi Islam tetap menganggap Barat sebagai musuh. Sementara di Barat masih lahir Islamofobia.

Di sinilah sebetulnya urgensi dialog antarindividu people to people lintas peradaban, kesenian, sumber daya manusia, dan kebudayaan sehingga dialog menjadi semakin efektif dan produktif.

Selain politik dan hegemoni kelompok anti-Islam, apa faktor penghambat lainnya untuk berdialog?
Penodaan terhadap agama, religious defamation. Apa yang diperbuat Terry Jones cukup membuat resah umat beragama, juga kartun Nabi Muhammad. Terbukti pandangan penodaan ini tidak memperoleh simpati dunia. Juga cara pandang yang salah menggeneralisasi Islam sebagai agama teroris.

Termasuk paradigma yang disampaikan Huntington. Samuel Huntington tidak tahu banyak soal Islam. Persepsi mereka dibangun atas premis yang salah, maka hasilnya pun kesimpulan yang salah. Terbukti, dialog saat ini semakin terbuka.

Disamping itu, hal yang penting diketahui, umat beragama di AS juga di Eropa menghadapi tantangan modernitas. Oleh karena itu, masalah menyikapi terhadap modernitas adalah masalah kemanusiaan yang penting untuk saling berbagi pengalaman.

Sebetulnya, persoalannya bukan Islam dan Barat (la syarqiyah wa la gharbiyah), tetapi bagaimana umat manusia di mana pun berada menyikapi modernitas. Semua bangsa menghadapi problematika sama bagaimana menyikapinya.

Sekalipun berhasil, tetapi dialog akan terseok-seok?

Itulah pentingnya pendidikan yang menurut ahli sekalipun lambat, tetapi mempunyai dampak ke depan yang dahsyat. Di sini, pendidikan tak hanya melalui lembaga formal, tetapi juga bisa dengan dialog dan pertukaran informasi sehingga makin terbuka dan Islam akan dipahami oleh Barat dengan lebih empatik.

Apa manfaat lain dari dialog Islam dan Barat?

Dalam bidang keilmuan, rasio dunia Barat mengalami kemajuan. Salah satunya karena sumbangsih ilmuwan Muslim seperti Ibnu Rusyd. Setelah Perang Salib, terjadi kontak Barat dengan dunia Islam. Meskipun perang tersebut telah meninggalkan korban jiwa dari kedua belah pihak, tetapi ada sisi positif dari kejadian itu. Sebab, ada kontak peradaban dan penerjemahan kitab-kitab hasil karya umat Islam ke bahasa mereka. Sekalipun ribuan karya telah dibakar oleh pasukan Salib.

Imigran dituding menjadi ancaman bagi entitas Barat, menurut Anda?

Tidak hanya bagi Barat, tetapi juga mengancam umat Islam sendiri. Kedatangan imigran Muslim di Barat dikhawatirkan menggerus identitas mereka sebagai Muslim. Di saat yang sama, Barat merasa rugi dengan kehadiran imigran. Nilai-nilai yang dulunya mereka anggap baik meliputi kerja keras, kebersihan, dan keamanan menjadi rusak karena pengaruh para pendatang baru.

Sebenarnya, kehadiran imigran tak perlu dijadikan momok ketakutan jika bersama mencari solusi terbaik. Misalnya, waktu saya seminggu lokakarya di Barcelona tahun lalu, pemerintah membuka dialog dengan para imigran, terutama Muslim. Sebab, keberadaan Muslim di Spanyol selain sudah menyejarah, dewasa ini terbukti juga semakin banyak. Dalam dialog tersebut, dipaparkan bahwa Pemerintah Spanyol menghargai entitas mereka sebagai imigran, tetapi mereka meminta para imigran tersebut menjadi Muslim Eropa.

Apa prinsip-prinsip utama kesuksesan dialog?

Komunikasi efektif yang membawa pesan keislaman, kedamaian, kebenaran, kebaikan, dan akal sehat. Untuk mengurangi kesalahpahaman dalam komunikasi, perlu memperhatikan prinsip-prinsip modern, seperti berangkat dari asumsi berbeda hingga menemukan kesamaan (assume differences until similarity is proven), lebih menekankan deskripsi dari penilaian penafsiran atau evaluasi (emphasize description rather than interpretation or evaluation). Lakukanlah empati merasa sebagai umat manusia (practice emphathy), perlakukanlah penafsiran-penafsiran sebagai hipotes operasional (Treat your interpretations as a working hyphothesis).

Petunjuk teori praktis modern ini, sesuai dengan prinsip Islam. Di antaranya surah Al-Hujurat ayat ke-13. Inilah ayat utama yang menjadi dalil dan rujukan dialogis teologis di sini. Selain itu, perlu sikap dan kedewasaan saling mendengar. Inilah mengapa kemampuan mendengarkan sangat penting. Alquran bahkan menegaskan urgensi sikap mendengar yang diulang sebanyak 173 kali. Juga ajaran Alquran ketika diskusi dan debat diperlukan maka sepatutnya dilakukan secara proporsional dan beretika. (QS An-Nahl [16]: 125).  Ed: syahruddin el-fikri

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.