HomeBeritaKUB /  Pemerintah Dorong Kearifan Lokal Perkuat Kerukunan Beragama
Pemerintah Dorong Kearifan Lokal Perkuat Kerukunan Beragama PDF Print Email

 Menurut Atho yang juga pimpinan  rombongan dialog, kearifan lokal saat ini masih berfungsi di masyarakat yang lebih homogen seperti di pedesaan.

 Namun ada tantangan baru ketika penduduk menjadi heterogen sehingga diperlukan kearifan tambahan yang merupakan kesepakatan bersama pemimpin agama.

 Ia mencontohkan seperti di Bali, ada kesepakatan bersama dimana di suatu acara cukup dengan satu salam saja dan dianggap sudah menghormati seluruhnya yang dikenal dengan kearifan baru.

 Pemerintah juga membuat kearifan baru berupa surat peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9-8 tahun 2006 tentang kerukunan umat beragama.

 "Kearifan lokal yang sudah ada berabad-abad itu sekarang kita perkuat dengan kearifan baru dalam bentuk kesepakatan bersama pemerintah maupun tokoh-tokoh agama," tambahnya.

 Sementara itu, Plt Gubernur Propinsi Kepulauan Riau, HM Sani mengatakan, kegiatan dialog yang dilakukan antara pemuka agama pusat dan daerah sangat penting sehingga ada keterbukaan.

 "Kegiatan ini sangat berguna, tentunya bila diaplikasikan untuk kerukunan umat beragama. Kadang-kadang ada hal yang di daerah yang tidak tahu, mungkin bisa dijawab dari pengurus pusat," katanya.

 


Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

pada Acara Pembukaan Dialog/Diskusi Pengembangan

Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah

di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau

Selasa - Sabtu, 3 - 7 Agustus 2010

 

 

Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Salam sejahtera dan bahagia bagi kita semua,

 

Yang kami hormati,

Walikota Batam,

Para pejabat Pemerintah Kota Batam,

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau dan jajarannya,

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam dan jajarannya,

Para Pemuka Agama Pusat dan Daerah,

Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Batam, serta

Segenap Peserta Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang berbahagia,

 

 

Mengawali sambutan ini, pertama-tama, marilah kita se­nantiasa me­man­jatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kua­sa, atas segala curahan nikmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga. Sebab, ha­nya atas karunia-Nya pula, pada hari ini, kita dapat berkumpul dan bertatap muka di tempat ini da­lam suasana yang penuh kesejukan dan keakraban. Dan, dalam suasana yang demikian itu, kita akan mengikuti acara pembukaan ke­giatan Dia­log/Diskusi Pengem­bangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Dae­rah di Kota Ba­tam Provinsi Kepulauan Riau. Sebuah kegiatan yang kami ang­gap pen­ting dan strate­gis dengan beberapa alasan. Pertama, para peserta dialog terdiri atas unsur pemuka agama, baik pusat maupun daerah. Mereka, sebagaimana diketahui, adalah orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Kedua, isu utama yang didialogkan ber­kaitan dengan upaya pengembangan wawasan multikultural. Sebuah tema yang sa­ngat aktual, menarik, dan stra­tegis untuk didialogkan, terutama dalam rangka menca­ri formulasi efektif mengelola ke­majemukan masyarakat Indonesia. Ketiga, kegiatan­nya sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu katalisator bagi akselerasi komunikasi antar pemuka agama pusat dan daerah, mata rantai peng­ikat ke­bersama­an di antara mere­ka, dan ruang terbuka bagi penya­luran aspirasi umat beragama da­lam upaya pening­katan kerukunan umat beragama di Indonesia. Keempat, tempat dialog, yaitu Kota Batam. Sebuah tempat yang berpenduduk heterogen secara etnis dan agama, pin­tu keluar/masuk ke negara tetangga, dan pertumbuhan ekonomi berjalan cepat yang dapat menjadi sebab terjadinya kesenja­ngan ekonomi dan ge­sekan kepentingan di antara warganya.  

 

Bapak, ibu, hadirin peserta dialog yang kami hormati,

Forum dialog pengembangan wawasan multikultural seperti yang kita ikuti sa­at ini, telah dilakukan oleh Kementerian Agama mulai tahun 2002 dan sampai 2009 telah mencapai 27 provinsi, dan tahun 2010 ini di Provinsi Kepulauan Riau. Dari rangkaian dialog yang telah kita lakukan di berbagai daerah, ternyata begi­tu banyak hal yang bermanfaat untuk diketahui dan dipelajari bersama dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa yang lebih rukun dan damai ke depan. Bahkan, sebagian menjadi tahapan yang baik bagi penerapan kebijakan baru pemeliharaan ke­rukunan umat beragama. Sebagai contoh, di Provinsi Sumatera Utara, di samping ber­fungsinya adat dalihan na tolu juga ada Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKPA) yang menjembatani masalah-masalah bersama lintas agama yang kemudian memuluskan pembentukan FKUB sebagaimana dikehendaki Peraturan Bersama Men­teri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun  2006. Forum serupa ju­ga terdapat di Provinsi Sumatera Selatan dengan sebutan Forum Komunikasi Umat Sumatera Selatan (FOKUSS) sebelum lahirnya FKUB. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat program Rukun Mengharum dan Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKPA), sebelum menjadi FKUB. Di Bali ada konsep menyama braya (rasa persaudaraan dan kesepakatan mengucapkan salam dengan satu salam saja sesuai dengan cara agama orang yang menyampaikan salam tersebut, dan tidak perlu ada kesan mengurangi rasa hormat hadirin yang kebetulan menganut agama berbeda. Di Provinsi Jambi dan Riau dijumpai budaya dan adat Melayu yang sarat dengan petuah-petuah bijak yang menjunjung persatuan bangsa. Begitu juga di Provinsi Jawa Timur ada konsep siro yo ingsun, ingsun yo siro, yang merupakan perwujudan konkret egali­terianisme dan sikap persaudaraan. Di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat Rumah Betang, yaitu rumah panjang yang dihuni berbagai anggota keluarga yang mungkin juga berbeda agama yang dilandasi cinta, kasih sayang, persaudaraan dan kerukunan. Juga ada konsep handep atau habaring hurung yang menjunjung nilai-nilai gotong-royong dan kebersamaan. Di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat beberapa ungkap­an seperti kayuh baimbai yang bermakna kerjasama, gawi sabumi yang berarti go­tong royong, basusun sirih yang berarti kesetaraan, dan manyisir sisi tapih yang me­nganjurkan pentingnya introspeksi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, di daerah ini terdapat Forum Kerukunan Umat Beragama dengan sebuatan Forum Ko­munikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) yang sekarang telah disesuaikan menjadi FKUB.

Hal serupa terdapat di daerah-daerah lain seperti suku Bugis di Provinsi Sula­wesi Selatan memiliki konsep sipakalebbi dan sipakatau yang berarti saling menghor­mati dan mengingatkan, di Provinsi Sulawesi Utara terdapat budaya mapalus atau gotong royong, di Provinsi Maluku, tentu saja kita mengenal budaya pela gandong yang terkenal itu, dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal istilah Thong Ngin Fan Ngin Jit Jong yang artinya masyarakat Tionghoa dan masyarakat Melayu adalah sama serta moto Serumpun Sebalai dan Sepintu Sedulang. Demikianlah, dae­rah-daerah memiliki kearifan lokal yang sejak lama terbukti efektif dalam menjaga ke­harmonisan dan ketenteraman masyarakat. Persoalannya ialah kearifan lokal itu ku­rang dipahami secara luas oleh masyarakat dan tampaknya lebih efektif ditaati ma­syarakat ketika tingkat kehidupan kita masih sangat sederhana, kehidupan pedesaan yang serba harmoni. Tetapi, ketika kehidupan masyarakat kita semakin kompleks, ke­tika urbanisasi meningkat, bahkan ketika terpaan arus globalisasi dan kemajuan tek­nologi komunikasi begitu kuat, maka sebagian beban pemeliharaan kerukunan umat beragama semakin berat dan sebagian kearifan lokal itu tidak sanggup lagi mendu­kung beban berat tersebut. Mungkin perlu upaya memperkuat kembali kearifan-ke­arifan lokal tersebut dengan beberapa modifikasi, termasuk pengenalan kebijakan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan hasil kesepakatan para pemuka adat dan pemuka agama itu sendiri seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemelihara­an Kerukunan Umat, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pen­dirian Rumah Ibadat.

PBM, sebagaimana diketahui, merupakan peraturan yang disusun dan diru­mus­kan secara bersama-sama dengan melibatkan wakil dari majelis-majelis agama tingkat pusat, ya­itu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Dengan demiki­an, meskipun PBM ditandatangani oleh peme­rintah, pada hakikatnya meru­pakan kesepakatan para pimpin­an majelis-majelis agama. Pe­merintah pada saat itu hanya berperan sebagai pihak yang memfasilitasi proses komunikasi antarwakil majelis-majelis agama dan memberikan le­galitas hukum dari perspektif hukum ketatane­garaan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban moral dan institusional bagi para pim­pinan majelis-majelis agama baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengetahui, mema­hami, mensosialisasikan, mengamankan, dan melaksanakan PBM secara kon­sisten.

Berkenaan dengan proses penyusunan PBM, Pemerintah menyadari bahwa pada era reformasi, partisipasi masyarakat sangatlah penting. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pem­bentukan Peraturan Perundang-Undangan secara khusus mengatur tentang partisi­pasi ma­syarakat. Bab X Pasal 53 UU tersebut berbunyi: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancang­an Undang-Undang dan rancangan Peraturan daerah”. Menu­rut ketentuan, kewajiban Pemerintah un­tuk menampung masukan secara lisan dan tertulis dari masyarakat, sesungguhnya hanya terhadap kedua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Namun demikian, karena Pemerintah memandang begitu pentingnya materi yang di­muat dalam PBM, maka dalam rangka bersama-sama masyarakat luas, khususnya pim­pinan majelis-majleis agama untuk membangun keru­kunan nasional sebagaimana dicita-citakan oleh UUD 1945, penyusunan Peraturan Bersama ini telah melibatkan secara pe­nuh majelis-majelis agama bukan hanya dalam memberikan masukan tetapi sekaligus menyusun dan menyelesaikan rancangan PBM.

Setelah PBM disahkan ada memang anggota masyarakat yang memper­ta­nyakan me­ngapa agama diatur oleh Pemerintah, bukankah itu merupakan bagian dari kebebas­an ber­agama. Dalam kaitan ini perlu dijelaskan bahwa yang diatur oleh PBM bukanlah aspek dok­trin agama yang merupakan kewenangan masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalulintas para pemeluk agama yang juga warga negara Indonesia ketika me­reka bertemu sesama warga negara Indonesia pemeluk agama lain dalam mengamalkan ajaran agama mereka. Karena itu, PBM sama sekali tidak mengura­ngi kebebasan beragama yang disebut dalam Pasal 29 UUD 1945. Beribadat dan mem­bangun rumah ibadat adalah dua hal yang berbeda. Ber­ibadat adalah ekspresi keagama­an seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Se­dangkan membangun rumah ibadat ada­lah tindakan yang berhubungan dengan warga negara lainnya karena pemilikan tanah, kede­katan lokasi, dan sebagainya. Karena itu maka prinsip yang dianut dalam PBM ialah bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada, kemudian dalam waktu yang sama harus tetap menjaga kerukunan umat beragama dan menjaga keten­teraman serta ketertiban masyarakat. Inilah prinsip sekaligus tujuan dari PBM.

PBM juga menghilangkan keraguan sementara orang yang mengatakan bahwa Peme­rintah Daerah tidak mempunyai kewenangan dan tanggung jawab di bidang ke­hidupan ke­agamaan, sebagaimana dipahami sepintas dari Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pe­merintahan Daerah, dimana agama tidak termasuk yang diotonomi­kan. Substansi PBM secara tersirat menegaskan bahwa yang dimaksud deng­an kewenangan pemerintah pusat di bidang agama adalah pada aspek kebijakannya. Se­dangkan pada aspek pelaksanaan pembangunan dan kehidupan beragama itu sendiri tentu saja dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat Indone­sia di seluruh tanah air termasuk oleh pemerintahan daerah. Lebih jauh PBM juga mene­gaskan secara tersurat bahwa pe­meliharaan kerukunan umat beragama adalah bagian penting dari pembinaan kerukunan nasional yang menjadi tanggung jawab daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, serta sebagai bagian dari upaya peme­liharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut.

 

Bapak, ibu, hadirin peserta dialog yang kami hormati,

Setelah disahkannya PBM ini, telah dilakukan sosialisasi kepada semua aparat peme­rintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan pada tahun 2007, sosialisasi PBM telah turut  menyumbang sebesar 17,4% dalam pemeliha­ra­an kerukunan umat beragama. Berdasarkan pemantauan, setelah dikeluarkannya PBM, ka­sus-kasus menyangkut pendirian rumah ibadat cenderung menurun.

Untuk mengetahui peranan FKUB dalam melaksanakan tugas-tugasnya, pada tahun 2009 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian ten­tang Peranan FKUB dalam Melaksanakan Tugas-tugasnya yang Ter­cantum dalam Pasal 9 PBM No 9 dan No 8 Tahun 2006 di enam provinsi yaitu: Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Penelitian tersebut mengungkapkan bah­wa tugas-tugas FKUB tersebut sudah dapat dilaksanakan cukup baik oleh FKUB provinsi mau­pun FKUB kabupaten/ kota, walaupun pelaksanaannya belum optimal. Masih terdapat berba­gai kendala dalam pelaksanaannya termasuk masih perlunya dukungan Pemerintah Daerah dalam menyediakan Peraturan Gubernur yang mengatur secara rinci tentang FKUB.

 

Bapak, ibu dan saudara sekalian yang kami hormati,

Akhirnya, pada kesempatan dialog ini, kami ingin mengajak semua pihak, khususnya para pemuka agama baik pusat maupun daerah untuk: Pertama, memupuk saling pengertian dengan lebih me­manfaatkan dan mengefektifkan saluran komunikasi an­tarpemuka agama yang su­dah ada, baik dalam bentuk forum (atau wadah) pada masyarakat maupun bentuk lain­nya, baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Dalam kait­an ini, kiranya pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota senantiasa memberikan perhatian bagi kelancaran pelaksanaan tugas FKUB sebagai wadah komunikasi antar­umat beragama; Kedua, menggali dan melestarikan berbagai unsur ke­arifan lokal, tradisi, dan pranata lokal, termasuk norma dan adat istiadat yang ber­manfaat dan dapat berfungsi efektif dalam mendukung kerukunan ma­syarakat lokal, sambil mela­kukan kajian dan pengayaan dengan kearifan-kearifan baru.

Kami mengharapkan agar para peserta dialog dapat memberikan sumbangan pemikiran yang jernih dan tulus, sehingga tujuan diadakannya kegiatan ini dapat ter­ca­pai. Meskipun kita mungkin belum dapat sepaham dalam semua hal, tapi kita harus tetap bersama-sama mendialogkan masalah-masalah bangsa yang kita hadapi untuk mencapai titik temu bersama.

Selamat berdialog.

Wassalamu`alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

 

Batam, 4 Agustus 2010

Kepala Badan,

 

Ttd.

 

Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar

NIP 19481020 196612 1 001

 

 

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.