HomeBeritaKUB /  Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia Dinilai Terbaik
Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia Dinilai Terbaik PDF Print Email

`Bahkan Indonesia dianggap sebagai laboratorium kerukunan umat beragama. Paling tidak hal ini terungkap dari pernyataan Menlu Italia, Franco Frattini dan pendiri komunitas Sant` Egidio, Andrea Riccardi dalam pidato mereka pada pembukaan seminar internasional dengan tema: Unity in Diversity: The Indonesian Model for a Society in which to Live Together, yang digelar pada 4 Maret 2009 di Roma,` kata Menag.

Atas pujian itu menurut Menag, tentu saja tidak boleh membuat semua pihak terlena. `Namun harus tetap mawas diri, karena kerukunan umat beragama adalah sesuatu yang dinamis yang dapat berubah sesuai dengan perilaku para pendukungnya,` kata Menag.

Sekitar 30 pemuka atau tokoh lintas agama tingkat pusat turut dalam rombongan Departemen Agama pada acara audiensi dan dialog yang digelar tiga hari di Ternate dan Halmahera, Maluku Utara. Antara lain Ketua PP Muhammadyah Goodwil Zubir, Ridwan Lubis dari PBNU, I Nengah Dana (PHDI), Romo Benny Susetyo (KWI), Pendeta Kumala Setiabrata (PGI), Slamet Effendi Yusuf (MUI), Sudjito Kusumo (WALUBI) serta Herlianti Widagdo (MATAKIN). Rombongan disambut Wagub Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba serta sejumlah tokoh dan pemuka agama Maluku Utara.

Diakui Menag, kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama. `Kita sudah terbiasa menerimanya dengan hidup berdampingan secara damai dalam balutan semangat kesatuan bangsa. Namun penerimaan perbedaan saja tanpa pemahaman yang mendalam akan arti dan hakikat yang sesungguhnya dari perbedaan tersebut ternyata masih sangat rentan terhadap godaan kepentingan primordialisme dan egosentrisme individu maupun kelompok,` katanya. Menurut Menag, gangguan kedamaian itu akan mudah meluas manakala sentimen dan simbol-simbol keagamaan dipakai sebagai sumbu atau pemicu.

Tak Pernah Berawal dari Agama

Pada kesempatan yang sama, Ketua PP Muhammadyah Goodwil Zubir menegaskan bahwa sepanjang sejarah konflik horizontal yang pernah terjadi di Indonesia, tidak pernah bermula atau berawal dari agama sebagai pemicunya. `Misalnya kasus di Poso, Aceh, Sampit dan di Maluku ini, bukan merupakan konflik agama. Namun konflik kepentingan yang kemudian dibungkus atau dikemas dengan agama,` tegas Goodwil.

Menurut Goodwil, salah satu tujuan penyelenggaraan dialog antar tokoh agama pusat dan daerah ini, antara lain adalah untuk menyerap kearifan-kearifan lokal yang terdapat di Maluku Utara. `Ini juga kita lakukan di daerah-daerah lain. Bisa saja kearifan lokal yang ada di Maluku Utara ini kemudian bisa diterapkan di daerah lain. Demikian juga sebaliknya,` kata Goodwil.

Sementara Wagub Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba, mengakui bahwa konflik yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara beberapa tahun silam, di tingkat masyarakat sendiri tidak mengetahui apa pemicunya. `Yang jelas sampai hari ini, kita semua berupaya untuk melupakan peristiwa itu. Kita sekarang hidup damai, bersatu dan saling menghargai satu sama lain,` tandas Kasuba. (sumber:www.depag.go.id/Rep/ts)
 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.