HomeBeritageneral /  Kemenag Apresiatif dan Kritis terhadap Pembentukan KHI oleh Para Pendahulu
Kemenag Apresiatif dan Kritis terhadap Pembentukan KHI oleh Para Pendahulu PDF Print Email

Mataram, 4/06 (Puslitbang1) – Dua sikap Kementerian Agama dalam melihat apa yang telah dikontribusikan oleh para pendahulu yaitu apresiatif dan nalar kritis. Apresiatif artinya memberikan penghargaan terhadap apa yang telah mereka berikan, dan nalar kritis, dasarnya adalah apresiasi yang tinggi. Demikian dikemukakan oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan dalam pembukaan Sosialisasi Draft Naskah Akademik RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan di Hotel Lombok Garden, Nusa Tenggara Barat, Selasa 4 Juni 2013.

"Di dalam tradisi keilmuan keislaman tidak  pernah saya temukan literatur yang memasung kebebasan berpikir. Sampai pada literatur kitab nahwu saja itu memberikan penghargaan terhadap keragaman misalnya kenapa ada posisi majzum, rofa’, mansub dan lainnya, ini karena ada perangkat-perangkat sebelumnya. Nahwu dan sharaf itu mengajarkan kita tentang fleksibilitas. Posisi-posisi tertentu memberikan penghargaan terhadap kontribusi-kontribusinya masing-masing”, ujar Nur Kholis.

Selanjutnya Prof. Nur Kholis mengungkapkan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hasil dari diskusi dan pembahasan yang sangat luar biasa di antara para ulama, yang merujuk kepada kitab-kitab fiqh (madzahibul arba’ah) dan kiyai-kiyai yang dilibatkan adalah kiyai-kiyai Pesantren. “Dapat kita lihat pada tahun 1980-an Munawir Sadzali sudah sukses memberikan kontribusi terhadap umat Islam yang melahirkan KHI, untuk itu kita harus mengapresiasinya”.

Dalam kesempatan tersebut Prof Nur Kholis juga menjelaskan tentang tiga hukum yang digunakan di Indonesia: hukum Barat, hukum Islam dan hukum adat. "Kami melihat hukum adat sangat banyak digunakan di Indonesia karena hukum adat lebih tua dari hukum yang lainnya. Tentu, kerangka kita bicara hukum positif pasti berangkat dari nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, sosialisasi RUU arahnya adalah kepancasilaan yang sumbernya dari hukum Islam. Seperti kegiatan ini merupakan bagian yang terpenting di dalam proses perjuangan. Artinya bagaimana negara ini mampu memberikan wadah sekaligus mampu memayungi secara optimal kepentingan-kepentingan umat beragama di tanah air ini, yang paling besar adalah kepentingan umat Islam pada khususnya”, papar Nur Kholis.

Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Fakultas Syari’ah IAIN Mataram, dan dihadiri oleh akademisi dari berbagai ormas seperti Nahdlatul Waton, NU, Muhammadiyah. Unsur peserta lainnya adalah Pengadilan Agama, Akademisi, dan LBH. Acara ini sendiri diharapkan dapat membuka wawasan bahkan memberikan masukan terhadap draf naskah yang sudah ada.

Sosialisasi dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama membahas dua tema penting yaitu Peran Kementerian Agama dalam Mewujudkan Positivisasi Hukum Islam dan Argumen Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Pembentukan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan dengan masing-masing pembicara Prof. Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan dan H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. Bertindak sebagai pembahas dalam acara ini adalah Dr. H. Miftahul Huda, M.Ag., Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Mataram. Sedangkan sesi kedua menghadirkan pembicara Dr. H. Edi Riyadi, SH, MA, dengan materi Muatan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan dan sebagai pembahas Syafruddin Badaruddin, S.Ag. M.S.I., Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, Lombok Barat, NTB. (AM)

 

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.