HomeBeritageneral /  Perlu Kontekstualisasi Tafsir Keagamaan tentang Posisi dan Peran Perempuan
Perlu Kontekstualisasi Tafsir Keagamaan tentang Posisi dan Peran Perempuan PDF Print Email

Bandung,29/5 (Puslitbang 1) - “Kita perlu kontekstualisasi tafsir keagamaan tentang posisi dan peran perempuan”, demikian salah satu pernyataan yang ditegaskan oleh Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan dalam Semiloka Nasional Wawasan Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh dan Konselor BP4 yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Perhimpunan Rahima. Semiloka yang dilaksanakan selama tiga hari 29 s.d. 31 Mei 2013 di Hotel Jayakarta Bandung ini mengusung tema “Reinterpretasi Konsep Keluarga Sakinah dalam Konteks Keindonesiaan”.

Dalam sesi pembukaan kegiatan, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan menyinggung mengapa kegiatan semiloka ini penting untuk diadakan. “Memperbaiki keadaan suatu bangsa tidak lain adalah serangkaian upaya sungguh-sungguh yang harus dimulai dari perbaikan kualitas keluarga, sebab keluarga merupakan inti masyarakat dan bangsa untuk melahirkan generasi bangsa yang berkualitas. Untuk itu Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah banyak melakukan riset dan pengembangan terkait keluarga sakinah”, ujar Nur Kholis.

Beliau juga menyampaikan bahwa dari hasil kajian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan diketahui masih ada beberapa problem terkait pengembangan Keluarga Sakinah antara lain: (1) Problem kultural, yaitu konstruksi masyarakat termasuk tafsir keagamaan yang masih bias gender sehingga berimplikasi pada pemahaman tentang pola relasi suami isteri dalam keluarga yang tidak setara, (2) Problem institusional, yaitu antara lain  kurang maksimalnya pelaksanaan kursus calon pengantin (suscatin) di Kantor Urusan Agama, dan (3) Problem sosial ekonomi, misalnya tingginya jumlah tenaga kerja perempuan yang sudah menikah dan sebagian besar menjadi pekerja migran di luar negeri yang dapat berakibat pada  munculnya beban ganda pada perempuan.

Lebih lanjut Nur Kholis menjelaskan, “Saat ini harus diakui masih adanya tafsir keagamaan yang bias gender, misalnya dalam penjelasan kitab Al Arbaiin An-Nawawiyah disebutkan bahwa beristri empat itu bagian dari Sunnah Rasul, juga misalnya dalam Kitab Tafsir Hasan Al-Basri yang menyebut pengertian dari kalimat as-Sufaha itu diartikan sebagai Yahudi, Nasroni, dan an-Nisa (perempuan). Untuk itu perlu kajian bagaimana mendorong tafsir teks-teks keagamaan dalam konteks kekinian, sehingga lebih menghargai perempuan sebagai kontributor peradaban.”

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.