Executive Summary Peningkatan Wawasan dan Kemampuan Muballighah dalam Penanganan dan Pendampingan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) - 2012 PDF Print Email

Peran muballighah semakin meningkat di masyarakat sejalan dengan terjadinya perubahan sosial yang dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi. Peran tradisional mereka yang sebelumnya hanya terfokus pada transfer pengetahuan tentang ke-Islaman, kini mulai mengalami perluasan dengan beragam aktivitas yang mengarah kepada pemberdayaan perempuan. Namun, tidak bisa dipungkiri, masih banyak muballighah yang hanya melakukan ceramah agama sehingga kurang peka terhadap problem sosial yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Padahal, kehadiran mereka akan lebih bermakna, aktivitasnya dapat menjawab tuntutan masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Salah satu isu krusial yang harus direspon oleh muballighah adalah memudarnya keharmonisan rumah tangga yang disebabkan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT), yang meliputi kekerasan terhadap istri/suami/anak dan pekerja rumah tangga (PRT). Meski Undang-undang P-KDRT telah disahkan pada tahun 2004, namun kekerasan dalam rumah tangga masih banyak terjadi. Komnas perempuan mencatat, tahun 2007 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan mencapai 25.778 kasus, kekerasan terhadap anak berjumlah 1.693 kasus, dan kekerasan terhadap PRT sebanyak 467 kasus.

Sehubungan alasan-alasan di atas, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI bekerjasama dengan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan workshop Peningkatan Wawasan dan Kemampuan Muballighah dalam Penanganan dan Pendampingan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Kegiatan ini didahului dengan penyusunan Modul ”Pendampingan Korban KDRT bagi Muballighah”.

Adapun tujuan yang akan dicapai dari workshop ini adalah:
1. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan muballighah dalam menyosialisasikan isu-isu kekerasan dalam rumah tangga
2. Meningkatkan keterampilan dan kemampuan muballighah dalam menangani dan mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat
3. Meningkatkan peran muballighah dalam melaksanakan dakwah sehingga mampu melihat secara kritis dan empati terhadap persoalan-persoalan KDRT

Workshop dilakukan di tiga kota, yaitu  Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat (tanggal 14 – 17 Juni 2012), Kabupaten Singkawang Provinsi Kalimantan Barat (tanggal 4 – 7 Juli 2012), dan Kota Mataram Provinsi Nusa Tengara Barat (tanggal 4 – 7 September 2012). Pemilihan ketiga kota ini didasarkan pada fakta bahwa daerah tersebut memiliki angka KDRT tinggi, angka kematian ibu (AKI), dan menjadi daerah sending dan transit area terjadinya trafficking, serta merupakan daerah yang memiliki angka kemiskinan yang relatif tinggi. Narasumber dan fasilitator workshop ini adalah pejabat di lingkungan Kementerian Agama, aktivis perlindungan anak, dan aktivis PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki kompentensi dalam hal ilmu keislaman, ilmu sosial, kajian perempuan, serta pelayanan dan pendampingan korban KDRT. Peserta workshop adalah para muballighah, aktivis organisasi masyarakat Islam, penyuluh, pengurus BP4, serta staf dan pejabat Kementerian Agama RI di tiga daerah tersebut di atas, dengan jumlah masing-masing kota 30 orang.

Untuk menumbuhkan motivasi peserta dalam pendampingan KDRT, pada setiap worskhop, peserta melakukan kunjungan dan dialog dengan lembaga-lembaga yang memberi perhatian pada perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, peserta juga mendengarkan kesaksian dari para korban/klien KDRT. Di Cianjur, peserta melakukan kunjungan dialog dengan P2TP2A, di Singkawang dengan LBH PEKKA, dan di Nusa Tenggara Barat dengan LBH APIK.

Adapun hasil yang telah dicapai dari kegiatan workshop ini adalah sebagai berikut:
1. Tersosialisasinya Modul ”Pendampingan Korban KDRT bagi Muballigah” di kalangan muballighah, aktivis organisasi keagamaan, serta staf dan pejabat Kementerian Agama RI yang berisi materi yaitu: (a) kesetaraan laki-laki dan perempuan di dalam dan di luar pernikahan, (b) realitas KDRT di Indonesia, (c) kekerasan dalam relasi suami dan istri, (d) kekerasan terhadap anak, (e) kekerasan terhapat pekerja rumah tangga (PRT), dan (f) peran muballighah dalam pendampingan KDRT.
2. Meningkatnya pengetahuan 90 orang peserta workshop dalam membangun cara pandang masyarakat tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan tentang pentingnya mengadvokasi korban KDRT sesuai dengan UU No. 23 tahun 2004.
3. Meningkatnya keterampilan 90 peserta dalam melakukan pendampingan korban KDRT dan kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya, karena selain transfer pengetahuan, peserta juga memperoleh pengalaman terkait praktek pendampingan korban. 

Di dalam proses workshop ditemukan tiga kategori permasalahan:
1. Secara individual, para muballighah merasa memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam merespon berbagai persoalan kekerasan dalam rumah tangga, memiliki kesulitan dalam melakukan pendampingan, dan ketidaktahuan dalam melakukan kerja jaringan sebagai upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Secara institusional, tidak adanya sinergi antara BP4, majelis taklim, P2TP2A, dan berbagai lembaga masyarakat yang concern terhadap isu kekerasan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Selain itu, pembinaan terhadap majelis taklim, khususnya muballighah, dan organisasi keagamaan masih kurang maksimal dan tidak ada penguatan terhadap isu-isu dan pengetahuan terkait berbagai permasalahan kekerasan dan trafficking.
3. Secara sosio-kultural, teridentifikasi beberapa persoalan berikut:
a. Cianjur; tingginya angka kemiskinan, tingginya angka buruh migran, pendidikan yang rendah, tingginya kasus trafficking dan ekploitasi seksual, serta berbagai permasalahan keluarga seperti pernikahan di bawah umur, perkawinan tidak tercatat, masih banyak perjodohan, tingginya tingkat perceraian, dan adanya fenomena perempuan dianggap suka dimadu.
b. Singkawang; sebagai wilayah transit kasus trafficking, khususnya di daerah Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang,  tingginya angka buruh migran, maraknya kawin foto, kawin kontrak, dan perkawinan yang tidak dicatatkan.
c. Nusa Tenggara Barat; adanya praktik merarik (kawin lari) yang dipahami secara tidak tepat sehingga mempertinggi angka perkawinan di bawah usia, perkawinan sirri, dan perkawinan liar (perkawinan tidak tercatat di KUA tetapi dirayakan).  Selain itu, maraknya perkawinan cina buta, kawin cerai, poligami yang dilakukan tuan guru, kepala dusun, dan tingginya angka kematian anak (AKA) yang melampaui angka nasional.

Rekomendasi
Mempertimbangkan berbagai hal di atas, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dirjen Bimas Islam, khususnya Direktorat Penais, perlu menyosialisasikan modul ini kepada ustadz/ustadzah dan kelompok-kelompok grassroot lainnya yang menjadi garda terdepan dalam melakukan sosialisasi kesetaraan gender dan pendampingan KDRT di masyarakat.
2. Ditjen Bimas Islam, khususnya Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah perlu memperkuat sistem pelembagaan keluarga sakinah melalui: a) memasukkan isu KDRT sebagai  salah satu materi dalam kursus calon pengantin; b) membuat minimal 1 pilot project pendampingan korban KDRT di lingkungan majelis taklim di setiap daerah yang dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang sudah mapan (PEKKA, LBH APIK, P2TP2A, dan lain-lain), c) Melakukan monitoring, evaluasi dan pendampingan majelis taklim yang sudah melakukan pelayanan terhadap korban KDRT. 
3. Ditjen Bimas Islam, khususnya Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, dan Direktorat Penais perlu melakukan pembekalan terhadap tokoh-tokoh agama tentang metodologi studi Islam perspektif kesetaraan, sehingga dapat meminimalisir pemahaman keagamaan yang bias gender.
4. Ditjen Bimas Islam perlu mendorong terbentuknya Women Crisis Center (WCC) berbasis majelis taklim dan melakukan pembinaan secara berkesinambungan.

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.