HomeBeritageneral /  Belum Ada Sanksi Hukum bagi Kejahatan Perkawinan
Belum Ada Sanksi Hukum bagi Kejahatan Perkawinan PDF Print Email

Jakarta,27/12 (Kompas) - Pelaku kejahatan atas Undang-undang Perkawinan sampai sekarang belum banyak dikenai sanksi hukum. Tidak diterapkannya sanksi ini mencederai hak pemenuhan keadilan bagi korban kejahatan perkawinan. Dengan alasan berpijak pada agama dan tradisi, kejahatan perkawinan terus dilakukan di tengah masyarakat. Pelakunya bukan hanya kaum kebanyakan, melainkan juga pejabat publik, mantan pejabat publik, dan selebritas.

”Kejahatan terhadap Undang-undang Perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan di bawah umur (perkawinan anak) dan perkawinan yang tidak dicatatkan,” kata Andy Yentriyani, komisioner pada Komnas Perempuan, Rabu (26/12). Rabu siang kemarin digelar seminar bertema ”Strategi Mengatasi Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Dicatat” yang diadakan Kementerian Agama dan Alimat. Alimat adalah gerakan pemikiran dan aksi masyarakat Indonesia yang bertujuan mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender dalam keluarga.

Tidak dicatat
Hasil sementara survei yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), di 111 desa di 17 provinsi pada tahun 2012, rata-rata 25 persen perkawinan tidak dicatat, mempelai hanya menikah agama dan adat. Di beberapa provinsi, angka perkawinan tidak dicatat mencapai 50 persen adalah di Nusa Tenggara Timur, Banten, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, menurut penelitian Pusat Litbang Kehidupan Keagamaan dan Diklat Kementerian Agama, penyebab utama perkawinan anak dan perkawinan tidak dicatatkan adalah faktor tradisi. Orangtua merasa malu jika anak perempuannya diperolok sebagai perawan tua sehingga cepat-cepat dinikahkan di usia dini dan tidak dicatatkan karena belum memenuhi syarat sesuai undang-undang.

Nur Rofiah, pengurus Alimat, mengatakan, Indonesia masih memerlukan banyak tokoh agama perempuan yang tidak berpandangan patriarki. Tokoh agama perempuan ini dibutuhkan dalam membuat fatwa-fatwa terkait dengan isu perempuan dan anak. ”Selama ini fatwa lebih didominasi dari sudut pandang laki-laki,” kata Rofiah. Dampak dari perkawinan anak adalah terganggunya kesehatan reproduksi dan tekanan mental yang dialami sang anak. Hal ini disebabkan anak harus menjalani tanggung jawab begitu besar. Adapun perkawinan tidak tercatat menghilangkan hak anak dan istri yang seharusnya masih ditanggung suami jika suami menikah lagi. (IND)

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.