HomeBeritaKUB /  Kearifan Lokal : Culture of Peace yang Melekat pada Bangsa Indonesia
Kearifan Lokal : Culture of Peace yang Melekat pada Bangsa Indonesia PDF Print Email

Sumedang, 8/12 (Puslitbang 1) - ”Culture of peace merupakan budaya yang telah melekat pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu dalam bentuk kearifan lokal di berbagai wilayah dan masyarakatnya. Budaya damai tersebut juga diformulasikan dan dirawat oleh tokoh-tokoh agama, sehingga pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengembangkan diplomasi dengan jalur tokoh agama”. Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Phil H.M. Nur Kholis Setiawan (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan) pada saat menyampaikan pengarahan pada acara Semiloka tentang Peningkatan “Budaya Damai” (Culture of Peace) di Kalangan Dosen Agama se Jawa Barat.

Selanjutnya beliau menyatakan bahwa tradisi keilmuan keagamaan harus terus berupaya melakukan perubahan mengikuti tantangan peradaban, dimana nilai-nilai keagamaan harus memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, kegiatan semiloka ini dikhususkan untuk meningkatkan kembali budaya damai yang ada di  wilayah Jawa Barat (Sunda). Dalam paparannya, Nur Kholis menyampaikan bahwa perspektif agama dapat menjadi penguat dalam menyuburkan budaya damai dalam diri masing-masing orang yang secara given banyak memiliki perbedaan, dan sedikit memiliki persamaan.

Semiloka menghadirkan 3 narasumber, yaitu: Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja (Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung), yang menyampaikan bahwa kearifan lokal masyarakat Sunda sudah mengakar, seperti di Ciamis Utara berdampingan 3 agama yang dapat hidup rukun. Semua agama samawi mengajarkan adanya budaya damai, dengan ajaran penyerahan diri kepada Tuhan secara total. Selanjutnya Prof. Juhaya menyampaikan bahwa agama jangan dijadikan sebagai alat, namun harus dijadikan etika dalam berbangsa dan bernegara (ekonomi, politik dan kehidupan keagamaan).

Ferdinand S. Watti, M.Th. (Ketua Umum Badan Kerjasama Gereja-gereja dan Lembaga Kristen Kota Cimahi) sebagai narasumber kedua menyampaikan secara global bahwa dalam dunia maya (internet) ada kelompok-kelompok dialog lintas agama yang sehat, namun ada juga yang propaganda/merusak. “Untuk itu budaya damai harus dimulai dari diri kita (umat beragama) sendiri. Dalam ajaran Kristiani misalnya, damai harus dimulai dari diri sendiri, setelah kuat  dapat mengasihi/menstransfer kepada orang lain”, ujar Ferdinand.

Dr. Deden Effendi (Ketua Lemlit UIN Sunan Gunung Djati Bandung), memaparkan bahwa ada 4 indikator budaya damai (tanpa kekerasan), yaitu: pengembangan kebebasan, tingkat kesehatan, pendidikan dan daya beli. “Kalau diukur dari 4 indikator yang digunakan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) tersebut, maka indeks budaya damai Indonesia termasuk rendah (tidak menunjukkan damai), namun kenyataannya kita damai-damai saja”, papar Deden. Budaya masyarakat Sunda sebenarnya mempunyai identitas lokal yang sulit diidentifikasi namun rapih, juga sangat mudah menerima pengaruh global, karena itu dapat disimpulkan bahwa orang Sunda adalah masyarakat yang damai. Untuk itu budaya damai dapat dibangun melalui proses internalisasi budaya melalui pendidikan baik melalui pencerahan intelektual maupun penguatan kultur kebersamaan.

Zaenal Abidin selaku koordinator kegiatan menyatakan bahwa semiloka dilaksanakan selama 1 hari tanggal 8 Desember 2012 di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Sumedang, dan diikuti oleh 50 orang peserta, terdiri dari para dosen-dosen agama Jawa Barat (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu). Semiloka menghasilkan 3 rekomendasi, yaitu: pertama, perlunya mengformulasikan kembali “budaya damai” yang culturally bound yang di perguruan tinggi diterapkan melalui institusi: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat;  kedua, lembaga penelitian di perguruan tinggi diarahkan untuk ”memproduksi” pengetahuan budaya damai melalui penelitian dosen; ketiga desimanasi informasi tentang budaya damai diperluas melalui berbagai pertemuan ilmiah. (ZA)

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.