HomeBeritaKUB /  Muakhi : Nilai Etika Sosial Masyarakat Lampung
Muakhi : Nilai Etika Sosial Masyarakat Lampung PDF Print Email

Jakarta,29/11 (Puslitbang 1) - Muakhi dalam budaya masyarakat Lampung secara etimologi berarti persaudaraan dalam hubungan bertetangga. Kata muakhi berasal dari kata puakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu. Masyarakat adat Abung menyebut ‘mewarei’ yang berarti bersaudara. Muakhi sebagai nilai dasar etika sosial dilandasi filsafat hidup Piil Pesenggiri, sehingga dapat dikembangkan secara substansial dan fundamental, sebab hal itu ada dalam pemahaman dan pengamalan orang Lampung. Pemahaman tentang muakhi dalam masyarakat adat Lampung menjadi urgen, karena muakhi sebagai sikap dan nilai etika sosial berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat. Demikian penjelasan Prof. Dr. H. A. Fauzie Nurdin, M.S mengenai konsep budaya muakhi  dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kamis 29 November 2012 di Hotel Millenium, Jakarta. Acara bedah buku yang dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof.Dr. H. Machasin, MA ini menyajikan dua orang pembedah yakni Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr.Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan dan Asisten Teritorial Panglima TNI Mayjend Dr. S. Widjonarko, S.Sos., MM, M.Sc. Peserta bedah buku yang hadir berasal dari berbagai unsur yaitu para peneliti di lingkungan Badan Litbang Kementerian Agama, ormas-ormas Keagamaan, para akademisi, LSM dan kalangan media massa.

Dalam sambutannya Prof Machasin menyampaikan perasaan mirisnya terhadap  konflik yang sering terjadi akhir-akhir ini.  “Agama yang seharusnya menjadi penyejuk dan faktor yang mendasari suasana kedamaian di tengah kehidupan masyarakat kini cenderung malah digunakan sebagai alasan untuk melakukan tindakan destruktif. Hal ini sangat bertolak belakang dengan budaya dan  kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suatu daerah pada umumnya”, ujar Machasin. Terkait dengan hal itu,  Machasin mengharapkan acara ini bukan hanya sekedar membedah buku tentang budaya Muakhi  saja, tetapi bagaimana kita bisa memunculkan pemikiran baru  dan mengaktualisasikan konsep budaya Muakhi  dalam kerangka kerukunan kehidupan bermasyarakat.

Prof Nur Kholis dalam bahasannya menyatakan timbulnya percikan konflik dalam masyarakat antara masyarakat lokal dan pendatang adalah disebabkan oleh ekses dari modernitas yang salah satunya adalah faktor deprivasi relatif bagi penduduk lokal, yakni adanya perasaan ditinggalkan oleh yang lain, akibat ketidaksiapan dalam “perebutan sumber daya”. Wilayah yang didiami oleh masyarakat asli dan pendatang, kemudian pendatang lebih mendapatkan kemudahan bahkan “menguasai” asset ekonomi dan lainnya. Kasus Balinuraga beberapa waktu yang lalu merupakan tantangan kongkrit bagaimana membumikan kembali Muakhi sekaligus menempatkan Piil Pesenggiri dalam konteks budaya Lampung selaras dengan prinsip pluralitas yang dianut. Sementara itu Asisten Teritorial Panglima TNI Mayjend Dr. S. Widjonarko memaparkan alternatif penyelesaian konflik dari sisi pendekatan manajemen teritorial, dimana pengawasan teritorial kini perlu melibatkan berbagai pihak terkait karena  ancaman keamanan bukan saja datang dari terorisme saja, bahkan ancaman kebodohan atau rendahnya pendidikan masyarakat merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi stabilitas suatu negara.(AN)

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.