HomeBeritaKUB /  Mengubah Persepsi dengan Dialog
Mengubah Persepsi dengan Dialog PDF Print Email

"Upaya dialog harus dilakukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dalam menyelesaikan persoalan."

Jakarta,28/09 (Republika) - Ada banyak kanal untuk melawan berbagai kasus  penistaan terhadap Islam dan simbol-simbol kesuciannya. Memberontak dengan cara kekerasan, bukan cara yang bijak. Justru jika keberingasan itu muncul, akan menjadi pembenaran hujatan mereka. Sebab, menurut  Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama,Prof Abdurrahman Mas’ud, MA, PhD, penistaan itu sengaja dilakukan oleh pihak tertentu untuk mendiskreditkan Islam menggunakan media yang bias. “Karena itu, harus dilawan,” katanya.

Ini penting, katanya, mengingat keinginan hidup berdampingan itu adalah cita-cita bersama. Tak terkecuali masyarakat barat pada umumnya. Saat berbagai kasus penghinaan Rasulullah SAW muncul, kecamanpun muncul dari penduduk sipil. Persoalannya, tak ada perangkat hukum kuat untuk menjerat pelaku.Padahal, jika ada aturan hukumnya, minimal mereka menghormati dan tidak melukai umat agama lain. Selama belum aturannya ada,disharmoni antara barat dan islam akan terjadi pasang surut.

Bentuk perlawanan itu, katanya, bukan melulu kekerasan karena masih ada cara-cara bijak, intelek, santun yang bisa dilakukan umat Islam, salah satunya berdialog. Dialog ini bisa dilakukan antarpemerintah, antara ormas dan ormas, atau orang per orang.

Dialog bersama dilakukan dengan format memberikan informasi dan edukasi yang seluas-luasnya, sehingga pihak Barat mengerti tentang Islam. Sebaliknya, pihak Barat pun menjelaskan bagaimana versi dari pihak Barat. Ini penting karena penyebab penistaan bisa juga akibat faktor ketidaktahuan dan kebodohan pelakunya.

Dialog bisa juga dilakukan dengan si pelaku penistaan agar mengetahui argumentasi dari si pelaku. “Kita jelaskan bagaimana perkembangan Islam, kalau mereka tidak percaya diharapkan  mengupas sendiri rasa keingintahuannya tentang Islam“, tambahnya.

Pemerintah, katanya rutin berdialog dengan negara-negara Barat. Di antaranya Norwegia. Bahkan, telah memasuki kali ke-12. Bentuknya dialog antara pemerintah, ormas, dan tokoh-tokoh dari Norwegia. Materi pertemuannya telah disusun, lanjut Rahman, antara lain mengagendakan bagaimana menghindari disharmonisasi, seperti Islamfobia ataupun Baratfobia.
Dialog Parlemen    

Dialog yang dimaksud, efisien pula dijalin antar parlemen negara. Ini bisa menyamakan persepsi terkait perbedaan menyikapi konflik antar umat beragama. Hal itu berusaha dibuktikan Kepala Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Surahman Hidayat, melalui dialog yang bertajuk  “ Interfaith Dialogue”. Perhelatan itu dijadwalkan berlangsung pada 20-24 November 2012 di Bali.

Ia mengatakan, dialog antar parlementarian sangat relevan dengan kondisi internasional terkini. Melalui acara ini kedua pola pemikiran yang berbeda bisa saling terbuka. Ia menilai, ide mempertemukan legislator dari seluruh benua, tidak berlebihan dan bisa berbuah manis  pada terciptanya perdamaian.

Peristiwa – peristiwa tragedi kemanusian yang dipicu perbedaan pandang serta pikir dalam kerangka agama dan kultur, ungkap legislator Partai Keadilan Sejahtera ini, Rabu (26/9) kian merebak. Dalam satu dekade terakhir, komitmen moral antar bangsa menurun. Sehingga rasa toleransi kian terkikis akibat tidak ada upaya menindaklanjutinya kebawah payung hkum untuk menyelesaikanya kasus-kasus kemanusiaan tadi.   

“Jalan hukum selalu melewati jalur legislasi. Tepat rasanya  parlementarian untuk mengusung Piagam Moral agar ada pandangan mengartikan kekuasaan tanpa kekerasan serta saling menghormati, itu nantinya yang akan kita eksplorisasi,“  cetus anggota komisi X DPR RI ini.

Tekad itu juga bakal diwujudkan dalam secercah ide, yaitu menghapuskan pemakaian kalimat ‘penistaan’ ataupun ‘penodaan’ dalam setiap penyebutan peristiwa-peristiwa akibat perbedaan
persepsi.

Hilangnya verbalisasi tadi, diharapkan memunculkan minat publik agar tak terpancing melakukan hal yang sama. Sekaligus menghormati setiap simbol-simbol yang disakralkan oleh masing-masing umat beragama.

“Penyamaan persepsi bisa dimulai dari hal-hal kecil tadi. Ini bisa jadi bahaya laten masyrakat kalau akar masalahnya tidak bisa ditemukan dan diatasi,” katanya.
Ia berharap, penilaian seperti itu bisa didorong menjadi sebuah regulasi yang proaktif untuk menumbuhkan rasa toleransi beragama. Di sisi lain, umat juga berupaya menghapus fanatisme sempit yang mengganggu pemikiran pihak-pihak yang kurang fokus pada sebuah objek sakral. Harmonisasi antar negara juga bergantung pada pemikiran umat beragama.” Sehingga negara memang harus concern agar regulasi yang dibuatnya bisa menyerap aspirasi hidup keberagamaan umat,” katanya. (Ed:nashih nashrullah)

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.