HomeBeritageneral /  Menangani Radikalisme Tidak Cukup Hanya dengan Ceramah
Menangani Radikalisme Tidak Cukup Hanya dengan Ceramah PDF Print Email

Depok, 29/09 (Puslitbang 1) - Fenomena radikalisme saat ini perlu diperhatikan karena berdampak pada kerukunan dan stabilitas. Upaya strategis, sitematis, dan menyeluruh diperlukan untuk mencegah radikalisme. Menangani radikalisme tidak cukup hanya dengan ceramah”. Pernyataan itu disampaikan oleh  Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, dalam Semiloka dengan tema “Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan dan Peran Majelis Taklim dalam Meneguhkan Doktrin dan Gerakan Islam Rahmatan Lil Alamin” yang diselenggarakan Yayasan Bina Citra Insani bekerjasama dengan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Acara ini diselenggarakan tanggal 28-30 September 2012 di Wisma Polimedia Komplek Kampus Politeknik Negeri Media Kreatif, Jagakarsa, Depok.

Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D juga mengungkapkan, “Gerakan radikalisme keagamaan  memperjuangkan keyakinan keagamaan yang dianutnya dilakukan dengan tanpa kompromi dan bila perlu dilakukan dengan cara kekerasan dan anarkisme. Hal ini terjadi karena kedangkalan dalam memahami agama. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya, dan keringnya nilai-nilai spiritualitas dalam beragama”.

Semiloka yang dihadiri para pimpinan pondok pesantren, akademisi, dan beberapa organisasi kepemudaan se-Kota Depok ini mendiskusikan upaya-upaya yang dilakukan oleh majlis taklim dalam menangkal paham dan gerakan radikal yang banyak terjadi di Indonesia. Dalam semiloka tersebut hadir para narasumber dari kalangan akademisi, aktivis dan intelektual Islam yaitu: Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D (Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan), KH. Masdar Farid Mas’udi (PBNU), Zuhairi Misrawi, Ahmad Baso (Lakpesdam NU), Hasibullah Satrawi (Pengamat Timur Tengah), dan Nasihin Hasan (ICIS).

KH. Masdar F. Masudi saat menyampaikan materinya menyatakan, saat ini banyak terminologi-terminologi yang telah dibajak untuk kepentingan yang secara mendasar bertentangan dengan Islam. Jihad saat ini dimaknai oleh sebagian orang hanya jihad secara fisik. Seharusnya Jihad sebagaimana pemahaman para sufi dan tariqat adalah lebih esensial yaitu mujahadatu an-nafs. Syahid juga banyak yang dimaknai secara fisik, dengan mati dimedan perang, padahal hakikat kemenangan adalah kemenangan hati, yaitu dengan kelembutan dan akhlak, sebab jika kemenangan fisik akan ada pembalasan, kemenangan fisik adalah kemenangan semu sehingga akan ada seperti spiral. Kata Irhab juga kini sudah diselewengkan, seharusnya dimaknai sebagai mempersiapkan kekuatan yang jika orang lain (musuh) tahu maka mereka akan kalah lebih dahulu. Jadi irhab adalah cara menggentarkan musuh tanpa harus bertindak (action). Jadi bukan meledakkan bom apalagi dengan melakukan bunuh diri. jadi ini pemelesetan yang terlalu jauh.

Sementara Zuhairi Misrawi dalam uraiannya banyak mengungkapkan pandangannnya tentang akar radikalisme. Dengan mengutip Khaled Abou el Fadl, seorang pemikir muslim terkemuka kelahiran Kuwait, dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. Pandangan Khaled dalam tesisnya ini menarik untuk dicermati, dalam tesisnya ia menegaskan perihal adanya relasi antara paham wahabisme dengan aksi terorisme yang diseponsori oleh jaringan terorisme internasional al-Qaeda dan gerakan Taliban di Afganistan. Wahabisme merupakan paham yang menyuburkan lahirnya gerakan-gerakan yang mengusung radikalisme agama, disamping faktor keadilan global terhadap Negara-negara muslim.

Dalam pandangan Ahmad Baso, Islam Indonesia adalah Islam yang ramah dan terbuka bukan Islam yang puritan dan fundamentalis, hal ini disebabkan karena Islam yang disebarkan oleh para ulama nusantara dahulu adalah Islam yang merupakan perpaduan antara keketatan doktrin, kelenturan fiqh, dan moralitas kesufian, pendekatan dakwahnya mengedepankan suasana dialogis dengan penduduk sekitar. Para ulama nusantara ini  kemudian banyak mendirikan pesantren yang kemudian menjadi motor penggerak pembaharuan masyarakat. Proses pembaharuan oleh pesantren ini melalui proses yang lentur , fleksibel, tidak kaku, atau menutup diri terhadap dunia luar.

Sedangkan Hasibullah Satrawi yang juga menjadi narasumber mengungkapkan, gerakan radikalisme saat ini sudah mengalami perubahan dan elevasi yaitu: dari mahasiswa ke siswa, dari terorganisir ke personal, dari jaringan internasional ke nasional dan lokal, dan dari radikalisme ke terorisme. Upaya deradikalisasi perlu dilakukan dengan deideologisasi, hal  ini karena aksi-aksi radikalisme dan terorisme adalah mendapat pembenaran secara teologis, setidak-tidaknya menurut keyakinan para pelakunya. Upaya deidiologisasi ini harus terintegratif dan melibatkan semua pihak, dari level kepala Negara sampai kepala keluarga.

Dalam sesi terakhir, narasumber dari ICIS Nasihin Hasan menyatakankan bahwa sebelum melakukan deradikalisasi harus lebih dahulu memahami sejarah radikalisme, tahapan/ proses radikalisasi, faktor penyebab radikalisme, klasifikasi radikalisme dan peta gerakannya. Selanjutnya Nasihin Hasan juga mengungkapkan untuk deradikalisasi diperlukan langkah-langkah yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat secara terkordinasi antara lain: Kajian radikalisme, penangkalan radikalisme melalui pendidikan, penyuluhan, advokasi, serta upaya rehabilitasi. (AJW)

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.