HomeSinopsis /  Lokakarya Peranan Pimpinan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai
Lokakarya Peranan Pimpinan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai PDF Print Email
Written by   
DATE_FORMAT_LC2

Pada saat ini, berbagai kalangan menyorot secara tajam fenomena munculnya Islam radikal di Indonesia. Fenomena tersebut perlu digarisbawahi dan direnungkan, sebab tumbuhnya gerakan Islam radikal mempunyai dampak terhadap kerukunan umat beragama. Oleh sebab itulah Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2009 menganggap penting melaksanakan Lokakarya dengan tema: ”Peranan Pimpinan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai”.

Lokakarya ini bertujuan untuk (1) Membangun jaringan kerjasama antar Pondok Pesantren dalam menanggulangi radikalisme keagamaan; (2) Merumuskan pandangan pondok pesantren tentang radikalisme  keagamaan; (3) Mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham radikal.

Sesuai dengan tema tersebut, lokakarya ini  menampilkan beberapa pemakalah yang  membahas topik-topik  sebagai berikut: (1) Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang “Radikalisme Keagamaan”; (2) Cara-cara Pondok Pesantren dalam  Menanggulangi Radikalisme Keagamaan; (3) Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam  Menanggulangi Radikalisme Keagamaan; (4) Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah Teologi dan Politik oleh Prof. Dr. Ahsin Sakho/Dr. Ali Nurdin; (5) Meluruskan Makna Jihad menurut Islam oleh KH Ma’ruf Amin/Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub; (6) Konsep Wasathiyah menurut Islam oleh Dr. Mukhlis Hanafi; (7) Perkembangan Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar; dan (8) Budaya Damai Dunia Pesantren oleh Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.

Lokakarya ini diadakan di 6 provinsi yaitu Provinsi Lampung (Bandar Lampung), Provinsi Jawa Tengah (Semarang), Provinsi Jawa Timur (Jombang), Provinsi Banten (Serang), Provinsi Kalimantan Timur  (Samarinda), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Mataram),  Provinsi Gorontalo (Gorontalo) dan Provinsi  Sulawesi Tengah (Palu).


Adapun rumusan hasil lokakarya di enam provinsi tersebut, sebagai berikut:

A. Pandangan Pimpinan Pondok Pesantren Tentang Radikalisme Keagamaan.

  1. Pandangan agama yang radikal tidak sesuai dengan kultur pesantren, karena makna jihad yang diajarkan oleh pesantren mempunyai makna yang beragam, tidak semata-mata berarti perang (qital).
  2. Radikalisme keagamaan tidak sesuai dengan pola pendidikan yang selama ini dikembangkan di pondok pesantren yang bersifat terbuka dan moderat, dan juga bertentangan dengan budaya Islam Indonesia yang santun, tepo seliro dan kekeluargaan.
  3. Radikalisme keagamaan  merupakan reaksi umat beragama terhadap penguasa yang dianggap tidak adil terhadap umat Islam.
  4. Radikalisme  agama tumbuh dan berkembang akibat kedangkalan dalam memahami agama. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya, dan keringnya nilai-nilai spiritualitas dalam beragama.
  5. Terorisme merupakan tindakan kontraproduktif bagi eksistensi Islam dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, sebagai agama cinta kasih dan damai. Segala bentuk kekerasan atas nama agama bertentangan dengan kepribadian muttaqin yang memiliki kepedulian terhadap sesama yang mampu menahan amarah, terbebas dari sikap dendam dan senantiasa berpikir serta bertindak positif.
  6. Terorisme bukan jihad, karena  jihad merupakan sarana untuk perbaikan bukan untuk merusak.
  7. Radikalisme dapat mengganggu tatanan kehidupan keagamaan di Indonesia yang telah terjalin dengan penuh toleransi.
  8. Jihad fi sabilillah dalam konteks kekinian akan memberikan maslahat bila diaktualisasikan dengan memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Jihad dalam bentuk kekerasan fisik merupakan tindakan kontaraproduktif dalam upaya penegakan ajaran Islam yang cinta kedamaian.


B. Pola Penanganan Gerakan Radikal di Kalangan Pondok Pesantren.

  1. Untuk menghindari tumbuhnya paham radikal di kalangan pondok pesantren perlu kiranya pimpinan pondok pesantren memiliki wawasan keislaman  yang luas.
  2. Syiar agama melalui jalur pesantren memilih jalur infiltrasi nilai-nilai Islam ke dalam budaya sehingga tercipta kehidupan damai. Islam dalam posisi ini tidak tercerabut dari akar budaya ke-Indonesiaan.
  3. Pimpinan Pondok Pesantren memberikan teladan berupa perilaku yang mencerminkan pelaksanaan ajaran Islam yang cinta damai.
  4. Memberikan pemahaman kepada santri tentang nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, penyelamatan, dan cinta kasih, selain itu perlu pula ditingkatkan akan kesadaran hukum, penegakan keadilan, toleran terhadap perbedaan dan moderat dalam memandang berbagai permasalahan.
  5. Mendeteksi secara dini para santri yang memiliki sikap temperamental, berkarakter keras, dan membimbing mereka agar tidak teracuni virus-virus radikalisme. Meningkatkan kemandirian santri dengan memberikan ketrampilan kewirausahaan, karena keterhimpitan ekonomi menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
  6. Perlu dikembangkan pengajaran agama yang humanis bagi kaum muda  non pesantren dan masyarakat luas.
  7. Mengupayakan adanya dialog antara pesantren yang dinilai radikal dan pesantren yang bercorak tradisional. Dialog dilakukan tanpa pretensi untuk menghakimi, tetapi dengan menggunakan pendekatan empati.


C. Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam Menanggulangi Gerakan Radikal.

  1. Dalam rangka mengembangkan budaya damai,  perlu ditingkatkan jaringan kerjasama antar pondok pesantren. Jaringan kerjasama dapat dilakukan dengan memperkuat wadah yang sudah ada misalnya Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKPP), maupun membentuk wadah baru yang memungkinkan terjalinnya kerjasama antarlembaga asosiasi pondok pesantren, antarpengasuh pondok pesantren, antarsantri dan alumni dan antarprogram/kegiatan pondok pesantren.
  2. Untuk penguatan jaringan dan kerjasama pondok pesantren, perlu dilakukan revitalisasi terhadap lembaga yang sudah ada.
  3. Perlu koordinasi antara pondok pesantren dan pemerintah setempat dalam penyelenggaraan program deradikalisasi.
  4. Perlu mengadakan kerjasama antarlembaga: dengan MUI tentang pelurusan makna jihad; dengan FSPP melalui halaqah dan penyuluhan; DKM berupa penyuluhan dalam taklim dan khutbah; dengan FKUB dalam mengadakan dialog lintas agama bersama ormas Islam.
  5. Meluruskan kurikulum yang ada di pondok pesantren tentang makna jihad dan terorisme.
  6. Merangkul organisasi yang dianggap ekstrim dengan melakukan dialog secara terbuka dengan pendekatan kekeluargaan.

 

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.