HomeArtikelilmiah /  Makna Agama Di Tengah Pluralitas Masyarakat
Makna Agama Di Tengah Pluralitas Masyarakat PDF Print Email

       
      Selain sifatnya yang tak bisa hidup sendirian. Manusia memiliki ciri unik yang membedakan dirinya dengan oranglain, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia terus menggali potensi yang ada di sekelilingnya. Dari satu dekade ke dekade yang lain senantiasa ada kemajuan perkembangan peradaban. Dengan otak itu pula, manusia tergerak untuk menguak segala misteri yang melingkupi dirinya. Tentang apa sebenarnya hidup, tentang alasan kehidupannya, juga tentang apa yang ada di balik dari seluruh kehidupan yang nampak.
           
     
Dari pencarian-pencarian itu, meskipun dengan cara yang berbeda, hampir bisa dipastikan mereka menemukan apa yang mereka sebut sebagai Tuhan, God atau Allah. Lalu munculah satu istilah yang jamak disepakati oleh penduduk bumi sebagai apa yang disebut agama, din atau religion.  Kenyataan-kenyataan semacam ini membuat beberapa ilmuan berkesimpulan bahwa sesungguhnya agama bukanlah sesuatu yang ada di luar manusia, tapi lebih sebagai sesuatu yang sudah menyatu dalam diri mereka. Artinya dalam keadaan apapun manusia akan tergerak untuk menemukan agama. Karena itulah, selain disebut sebagai makhluk berakal, manusia juga biasa disebut sebagai makhluk ruhani.
           
     
Kenyataan semacam ini dalam ajaran agama Islam diyakini sebagai keadaan fitrah manusia. Menurut ajaran agama Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan suci. dengan fitrahnya semua manusia dianugerahi kemampuan dan kecederungan bawaan untuk mencari, mempertimbangkan dan memahami, yang pada gilirannya membuatnya mampu mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran tersebut.
[1] 
Kaum Muslimin meyakini bahwa jauh sebelum manusia hadir di muka bumi ini, manusia telah terlibat sebuah perjanjian yang suci dengan Tuhannya, yang isinya pengakuan sepenuhnya kepada Allah sebagai Tuhan mereka. Inilah yang termatub dalam al-Qur'an : "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?" (QS. Al-A'Araf [7] : 172-3) Atas dasar dua surat tersebut di atas, ada ulama yang menghubungkan kata din yang artinya agama, dengan dain yang artinya hutang. Baik dain maupun din tersusun dari tiga akar kata, yaitu; dal, ya, nun. Dalam kaidah bahasa arab, persamaan akar kata semacam ini menunjukkan kedekatan arti dari keduanya. Dan dalam kasus ini, beberapa ulama menyimpulkan bahwa makna dasar dari agama sebenarnya adalah hutang itu sendiri yang harus dibayar. Hutangnya adalah eksistensi manusia sendiri yang semula tidak ada.[2]  Tapi apa sesungguhnya agama itu? Mengapa agama harus ada. Apa juga pentingnya agama bagi kehidupan manusia? Melacak pada pendefinisian agama kita akan menemukan banyak sekali pengertian-pengertian yang  meskipun bermuara pada pengertian yang serupa. Namun tetap saja ada yang berbeda.Kata agama banyak memiliki padanan dalam berbagai bahasa di dunia ini seperti Dharma, dhamma, kauw (chiao), din dan religion. Dalam bahasa sanskrit agama berasal dari akar kata "gam" berarti pergi, dengan tambahan awalan "a" menjadi  "agam" berarti sebaliknya, yaitu datang. Kemudian ditambah akhiran "a" menjadi "agama" berati kedatangan. Dalam tradisi hindu kemudian berkembang istilah "Agama Pramana" atau "Sabda Pramana" yang kemudian memperoleh perluasan makna sebagai "cara mendapatkan pengetahuan dan mendengarkan ucapa-ucapan dan cerita-cerita dari orang yang dapat dipercaya karena kejujuran, kesucian, dan keluhuran pribadinya[3] Selain itu, masih dalam bahasa sangsekerta, ada juga yang mengatakan kata agama merupakan gabungan dari dua kata "a" yang artinya tidak dan "gama" yang artinya kacau. Jadi agama, maknanya tidak kacau[4].Dalam ajaran dan tradisi Hindu-Budha kata agama justru tidak digunakan  untuk menunjukkan apa yang kita maksud dengan agama. Kata yang digunakan adalah kata "dharma" dari akar kata "dhar" yang berarti menjunjung, mengatur, memangku, dan menuntun. Kata dharma kemudian berkembang menjadi istilah yang memiliki pengertian tersendiri, yaitu hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta makhluknya semuanya[5]            
     
Penyebutan agama bagi kalangan Khonghucu lebih dikenal dengan istilah "kauw" dan "chiao".  Dua kata ini berasal dari bahasa Cina, yang pertama dari dialek Hokian yang banyak digunakan masyarakat Cina di Indonesia dan yang kedua berasal dari dialek Mandarin. Arti kedua kata tersebut adalah ajaran yang kurang lebih sepadan dengan kata agama dalam bahasa Indonesia. Bagi penganut Khonghucu kata "kauw" atau "chiao" dipahami sebagi bimbingan atau tuntunan thiam atau thian (Tuhan) melalui Nabi Khonghucu bagi umat manusia untuk membina diri menempuh jalan suci.
           
      Orang Arab mengenal agama dengan sebutan din. Kata ini sesungguhnya berasal dari bahasa Semit kuno yang berarti aturan-aturan. Pada mulanya kata "din" berasal dari akar kata "dana" yang artinya adalah kepatuhan, ketundukan kebiasaan, balas dan, perhitungan, atau hutang. Selanjutnya, kata din merupakan bentuk masdar dari kata da-na ya-di-nu berkembang menjadi istilah yang memiliki pengertian sendiri, yaitu aturan Tuhan bagi manusia yang memiliki akal budi yang sehat untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
           
     
Orang-orang Barat mengenal agama dengan sebutan religion. Adapun kata religion berasal dari bahasa latin "releg (i) ion" ada yang berpendapat akar katanya "Leg" yang berarti mengumpulkan, menghitung dan mengikuti. Dengan demikian kata religion mengandung pengertian mengikuti isyarat-isyarat Tuhan. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa akar katanya berasal dari "Lig" yang artinya mengikat, sehingga pengertian religion adalah komunikasi manusia dengan sesuatu yang adi manusia yakni luhur, mulia dan ada dengan sendirinya.
Setiap agama paling tidak, terdiri atas lima dimensi : ritual, mistikal, ideologikal, intelektual dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, misa dan kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan yang meliputi paling sedikit tiga aspek; concern, cognition, trust, fear. Keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Mahakuasa, tawakal dan takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideoligikal mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia vis a vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah, misalnya orang Islam memandang manusia sebagai khalifatullah fil ardh dan orang Islam dipandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan amr Allah di muka bumi. Dimensi intelektual menunjukkan pemahaman seseorang terhadap doktrin agama. Islam memandang bahwa kehadiran agama di dunia ini dimaksudkan untuk mengubah masyarakat (An-nas) dari berbagai kegelapan kepada cahaya; dari zhulumat kepada annur (Ibrahim 1, Al-Maidah, 15. Al-Hadid, 9, At-Thalaq 10-11, Al-Ahzab 41-43, Al-Baqarah 257) "Al-Islam  minhaju taghyiri" kata Fathi Yakan. Islam adalah agama yang menghendaki perubahan, ia datang bukan untuk membenarkan status quo. Zhulumat adalah bentuk jamak zhulm (kegelapan atau kezaliman). Ada tiga macam zhulum; ketidaktahuan syariat, pelanggaran atas syariat dan penindasan. Islam datang untuk membebaskan mereka dari kehidupan yang berdasarkan kemaksiatan menuju ketaatan. Dari kebodohan tentang syariat menuju tentang halal dan haram dari kehidupan yang penuh dendam dan belenggu ke arah kebebasan[6].           
     
Agama dalam pandangan Islam adalah aturan-aturan yang diturunkan Allah agar untuk mengatur kehidupan manusia agar mereka dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Agama memberikan tuntunan yang jelas kepada manusia, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana pula yang harus ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana pula yang merugikan.
Tuntunan-tuntunan agama memberikan arah yang benar yang harus ditempuh oleh manusia, baik untuk urusan duniawi maupun untuk mempersiapkan diri menghadapi pertanggungjawaban di hadapan Tuhan di akhirat nanti. karena tuntutan agama diturunkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia, maka apabila manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya berpegang pada tuntutan-tuntutan itu. Maka manusia pasti akan mengalami kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupanya. Hal itu disebabkan karena Tuhan sebagai Pencipta Maha Mengetahui sifat dan karakter segala ciptaan-Nya, termasuk sifat dan karakter manusia.Agama mengatur tata kehidupan manusia untuk mencapai ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan. Ini berarti manusia, meskipun diberi kemampuan akal untuk dapat memikirkan dan mengatur kehidupannya, tidak dapat sepenuhnya mencapai kehidupan yang teratur tanpa adanya aturan-aturan agama. Hal ini disebabkan karena akal mempuyai keterbatasan-keterbatasan dan tidak mungkin mencapai keseluruhan kebenaran yang ada, sementara aturan-aturan agama karena diturunkan oleh Allah sebagai pencipta manusia, dapat menunjukkan kebenaran-kebenaran yang hakiki. 

Peran Agama dalam Penciptaan Kedamaian
      Unik sekaligus paradoks itulah manusia. Kadangkala ia ingin menyendiri menjaga eksklusivitasnya, namun pada saat yang bersamaan ia juga ingin berada bersama dengan yang lainnya. Rasanya, terlalu lengang jika bumi seluas ini dihuni sendirian. Tak satu pun manusia yang benar-benar sama dengan yang lainnya, justru karena itulah kehidupan itu menjadi lebih berwarna. Perbedaan antara satu manusia dengan yang lainnya, pada akhirnya memunculkan keindahan sendiri dalam kehidupan bermasyarakat.            
     
Menyadari begitu pentingnya warna kehidupan. Idealnya manusia harus belajar menghargai perbedaan yang ada, karena hanya jalan seperti itulah harmoni kehidupan bermasyarakat, plus warna dari keanekaragaman akan benar-benar terjaga. Manusia juga semestinya mengerti, sepenting rasa butuhnya pada oranglain, sepenting itu menumbuhkan perasaan aman dalam kebersamaan hidup. Karena dirinya tidak bisa hidup tanpa eksistensi oranglain, maka menjaga eksistensi oranglain agar tetap mengada menjadi salah satu kebutuhan utamanya.
Namun disayangkan, keserakahan, ambisi, juga keinginan mendapatkan lebih yang ada pada diri manusia seringkali melupakan diri akan kebutuhan sesungguhnya dari yang hidup. Ia lupa kalau kehidupan sesungguhnya tak mungkin dijalani sendirian. Dan manusia pun bergerak pada aras yang berkebalikan. Bukannya saling menjaga dan mengasihi. Sebaliknya, saling berebut dan saling meniadakan yang pada akhirnya merampas kedamaian hidup itu sendiri. Menelisik lebih dalam, kenyataan semacam ini terjadi karena manusia lebih sering dikuasai nafsu dari pada akal sehatnya, sebagaimana mafhum diketahui, dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang berlawanan dan saling menguasai sesamanya, dua kekuatan tersebut adalah nafsu dan akal. Nafsu (keinginan dan kemarahan) adalah potensi yang cenderung mendorong manusia ke arah keburukan dan kejahatan yang dapat merusak kehormatan, merampas hak serta menimbulkan pertumpahan darah.  Sedangkan akal adalah potensi yang dapat digunakan untuk mengetahui yang baik dan buruk. Karena akal dapat mendorong kepada tindakan jujur dan adil, sehingga bermanfaat bagi pembinaan masyarakat, perbaikan sarana dan kesejahteraan mereka. Bila nafsu dan amarah menguasai kekuatan akal, maka manusia akan merugi, namun bagi mereka yang beriman, beramal saleh dan saling menasehati dalam menaati kebenaran dan berlaku sabar, maka kekuatan nafsu dan amarah itu tidak akan mampu mempengaruhinya. Belakangan, kalangan yang sadar akan pentingnya menjaga harmoni dalam kebersamaan hidup mulai merumuskan undang-undang atau semacam aturan sebagai upaya pencegahan atas nafsu serakah manusia yang sering tak terkendali itu. Meskipun untuk hal ini, para filosof, sosiolog juga ahli hikmah telah turun tangan, namun tetap saja pada kenyataannya undang-undang atau aturan-aturan yang mereka buat, tak sepi dari kelemahan, karena tidak abadi, tidak universal, serta tidak tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam segala situasi dan kondisi. Kelemahan itu telah menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan akal manusia sebagai penyusunnya.
     
Mengamati fenomena ini, Mahmud Syaltut, seorang intelektual Islam kenamaan asal Mesir, berpendapat bahwa kelemahan itu berhubungan erat dengan kelemahan akal sebagai sumber dari pengambilan hukum. Ia mencatat beberapa alasan dari lemahnya aturan-aturan tersebut antaralain; Pertama, akal sebagai sumber produk pemikiran dalam membuat dan menyusun undang-undang dan hukum memiliki daya serap, pemahaman dan penetapan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini timbul dari perbedaan latar pendidikan atau faktor lain semacam kepribadian, chauvinisme, rasa kedaerahan, dan fanatisme.Kedua, keterbatasan kemampuan akal untuk mengetahui situasi dan kondisi umat yang majemuk pada tempat yang berbeda. Akibatnya undang-undang yang dinilai cocok untuk satu kelompok, belum tentu cocok untuk kelompok lain. Makanya tidak heran jika undang-undang dianggap baik di satu tempat akan dipandang buruk ditempat yang lain.Ketiga, kemampuan akal terbatas, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hakekat sesuatu yang gaib secara langsung. Oleh karena itu, walaupun akal telah sepakat bahwa apa yang ditetapkannya bertujuan untuk kebaikan manusia, bukan karena pengaruh atau faktor lain, akan tetapi tidak dapat menyentuh kecuali kepada para pembuatnya. Adapun kepatuhan orang terhadap undang-undang lebih karena takut terhadap tekanan pihak penguasa. Apabila mereka merasa aman dari mata dan tangan penguasa, maka tidak ada halangan bagi mereka untuk tidak mematuhinya.
     
Praktis rumusan undang-undang yang dibuat berdasarkan logika umat manusia itu pun gagal total. Namun kegagalan itu bukanlah alasan untuk tidak melakukan sesuatu. Kedamaiaan perlu dijaga, rasa nyaman dalam perbedaan merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Masalahnya sekarang perangkat apa yang bisa menjadi pengganti undang-undang manusia?Muhammad Syaltut mencoba memberi jawabannya, memang benar aturan-aturan yang disusun berdasarkan kemampuan akal semata tidak bisa menjadi hukum universal dan tidak bisa dipedomani secara baku. Sebab, bagaimanapun, produk pemikiran yang dihasilkan oleh akal manusia bersifat relatif dan nisbi. Karenanya, manusia membutuhkan undang-undang yang lebih universal dari itu, undang-undang yang lebih suci dan terbebas dari unsur emosi dan nafsu sang pembuatnya. Hanya ada satu jalan, manusia harus menerima undang-undang yang langsung dibuat oleh Tuhan yang Maha Suci.
     
Pada konteks inilah kehadiran agama menjadi penting, untuk memenuhi kebutuhan manusia akan aturan-aturan yang bersifat abadi, universal dan cocok bagi segala umat manusia di belahan bumi manapun mereka berada. Undang-undang yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah din. Karena din lah yang mampu menetapkan arah keyakinan untuk mengatur kehidupan individu dan masyarakat, menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi serta mampu menjelaskan tentang pencipta dan adanya hari akhirat. Tak diragukan lagi, agama (manapun juga) jelas-jelas menjadikan keselamatan manusia sebagai misi utama ajarannya. Dalam ajaran agama Islam, jiwa manusia ditempatkan pada urutan tertinggi. Demi keselamatan jiwa, Allah memperkenalkan sesuatu yang semestinya Ia larang. Dalam syariah Islam terlihat bagaimana sebuah makanan  yang semula haram menjadi halal, karena dalam keadaan terpaksa, yakni ketika kehidupan manusia terancam jika tidak mengkonsumsi makanan yang haram itu. Islam sangat perduli dengan keselamatan jiwa manusia, perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa adalah musuh utama agama ini. Lihatlah betapa Al-Qur'an dengan tegas mengutuk pelenyapan nyawa manusia.  Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).  (QS. Al-Anam [6] :151) 
     
Dalam Islam, tak ada bedanya melenyapkan satu nyawa dengan melenyapkan banyak nyawa, karena kedua-duanya sama-sama mengancam kedamiaan dunia. Merenggut satu nyawa manusia sama dengan membunuh semua manusia, karena perbuatan membunuh berarti tindakan melawan dan memperkosa hak hidup, terlepas dari siapa dan bagaimana orang yang mempunyai hak itu. Pada dasarnya semua agama memiliki tujuan yang sama; "Menjaga keselamatan umat manusia". Setiap umat  manusia yang bekerja ke arah memelihara keselamatan umat manusia, niscaya dia telah berjuang menghadirkan Allah melalui agamanya ke dalam kehidupan manusia secara penuh kasih. Sehingga manusia yang terjamin keselamatannya adalah mereka yang mencari dan menemukan Tuhan dalam agama yang ditaburi cinta-kasih manusia. Tuhan yang selalu hidup di hati manusia adalah Dia yang memberikan rasa damai dan sejahtera di tengah-tengah umat-Nya itu. Bukan rasa dendam dan benci, bukan pula rasa permusuhan karena beda agama dan keyakinan.[7]
      Bukan hanya Islam yang menolak terjadinya kejahatan, dan bukan hanya Islam yang menghendaki terjaganya keselamatan umat manusia, tapi semua agama pun memiliki sikap yang serupa. Ajaran agama Kristen misalnya menyebut kejahatan sebagai yang gelap yang berlawanan dengan hukum Allah yang dilukiskan sebagai cahaya. Umat Kristiani menyakini salah satu alasan kehadiran Yesus ke muka bumi adalah sebagai juru selamat. Laksana cahaya ia hadir untuk melawan gelapnya kejahatan. Ia sebar virus kasih dimana-mana. Karena itulah Yesus sangat dikenal sebagai Juru Selamat bagi umat Manusia.
Dalam  injil Yohanes dikatakan,  "Dan inilah hukum itu : Cahaya telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada cahaya, sebab perbuatan mereka jahat. Barangsiapa berbuat jahat, membenci cahaya dan tidak datang kepada cahaya, supaya perbuatannya yang jahat tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada cahaya, supaya menjadi nyata; bahwa perbuatannya dilakukan dalam nama Tuhan (3:19-21).  Cahaya yang dinyatakan di sini mempunyai dua sisi. Yesus yang oleh pengarangnya dianggap sebagai inkarnasi sabda Tuhan, adalah cahaya penyelamat, datang ke tengah-tengah umat manusia untuk menyatukan mereka. Kejatuhan manusia jatuh atau bertahan tergantung sampai sejauhmana mereka menghormati cahaya, mengikuti kebenaran, ingin bekerja, hidup secara transparan, dengan tidak perlu berdusta atau bersembunyi.
     
Yesus adalah tokoh kebijaksanaan, bahkan mungkin lebih menonjol dari sifat kenabiannya. Berada dalam tradisi kenabian Israil, dia berkhotbah tentang kehidupan yang baik, personalitas dan masyarakat yang teratur. Ketika tiba waktunya untuk merangkum khotbah atau ajarannya, dia berbicara tentang dua ajaran. Jika orang mencintai Tuhan tanpa batasan, dan mencintai sesamanya seperti mereka mencintai diri mereka sendiri, mereka akan memenuhi semua tradisi Yahudi yang dipersyaratkan pada mereka.
     
Kasih, adalah tindakan manusia yang paling luar biasa dan paling komprehensif. Mengasihi dengan tulus dan jaminan keselamatan adalah inti ajarannya (penyembuhan, bersatunya dengan Tuhan). Dalam injil Yohanes, Yesus digambarkan sebagai orang yang penuh emosi, terbakar oleh keinginannya. Dia membenci ketidakadilan, dia mencintai orang-orang miskin yang membutuhkan kasih sayang yang dibiarkan berada di luar masyarakat, anak-anak kecil, bunga lili. Di tiang salib, dia mengajarkan pada peradaban barat misteri yang menghubungkan cinta dan peradaban.[8]
      Demikian pula dalam ajaran agama Budha. Budha dengan bahasa yang unik mengingatkan bahaya terbesar yang diakibatkan kebencian. Seseorang yang membenci, kata Budha, tak akan mendapatkan apa-apa selain kebencian yang berbalik arah kepada dirinya. Itu juga yang akan terjadi dengan pertikaian-pertikaian. Hanya ada satu jalan akhir bagi pertikaian-pertikaian, yaitu jalan yang mengarah pada kebinasaan bersama.
 Kebencian tak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah suatu hukum abadi (Dhammapada5)Sebagian orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa, tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini akan mengakhiri semua pertengkaran (Dhammapada 6[9])  
     
Apa yang membedakan agama dengan hukum manusia adalah perhatiannya yang tak terbatas pada sesuatu yang nampak dan bersifat materi saja. Tapi jauh menembus pada sesuatu yang tidak nampak, sesuatu yang berada di balik materi. Jika manusia merasa cukup pada upaya terjaminnya kehidupan di dunia, dalam arti upaya kerukunan antar umat yang hidup berdampingan, maka lebih mendalam lagi agama mengupayakan keselamatan di dunia dan akhirat.
     
Perhatian agama tidak sebatas mengatur hubungan sesama manusia, agama juga mengatur bagaimana manusia menjalin hubungan dengan Tuhannya dan bagaimana manusia menjalin hubungan dengan makhluk lainnya, penghuni bumi. Tak hanya bertindak semena-mena antara manusia saja yang dilarang, tapi juga bertindak semena-mena dengan makhluk lain, seperti hewan dan alam, juga dilarang oleh agama.            
     
Al-Qur'an telah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk pilihan Tuhan. Manusia dalam kehidupannya di dunia harus menjalin dua hubungan seerat-eratnya. Yaitu hubungan dengan Allah dan dengan sesama. Hubungan itu harus dijaga dengan simultan tanpa mengutamakan satu atas lainnya. Agama dengan aturan-aturannya mempunyai wilayah cukup kompleks yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Agama memberikan tuntunan bagaimana manusia berinteraksi dengan penciptanya, bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia, bagaimana berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya dan bagaimana harus berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Tuntunan tersebut pada akhirnya ditujukan untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Atau dengan perkataan lain, bahwa pelanggaran terhadap tuntunan-tuntunan tersebut sebenarnya dampaknya akan dirasakan manusia pula.
[10]

      Menjawab berbagai permasalahan dan problema yang muncul di tengah-tengah kehidupan, manusia memerlukan pedoman, baik secara global maupun secara terinci yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan problema yang ada di dalam kehidupan, baik secara individu maupun masyarakat. Pedoman yang dimaksud adalah aturan, undang-undang dan hukum yang terhimpun di dalam din (agama).
     
Agama yang diwahyukan Allah kepada para nabi dan rasulnya membawa misi untuk memenuhi kebutuhan akal, jiwa, jasmani dan rohani manusia. Keempat aspek itu perlu dipelihara dan dipenuhi kebutuhannya agar manusia dapat menjawab permasalahan yang muncul hingga dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki.Berdasarkan pendekatan ini, Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa fungsi din adalah sebagai wahana untuk mensucikan jiwa dan membersihkan hati. Membentuk sikap patuh dan taat serta menimbulkan sikap dan perasaan mengagungkan Tuhan dan Memberi pedoman kepada manusia dalam menciptakan kebaikan hidup di dunia secara mantap dengan cara mempererat hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta[11]
      Adapun para ahli sosiologi melihat sedikitnya ada lima fungsi agama, bagi kehidupan masyarakat, yaitu : 
1.        Fungsi solidaritas sosial. Agama berfungsi sebagai perekat sosial dengan menghimpun para pemeluknya untuk secara teratur melakukan ritual yang sama dan memperlengkapi mereka dengan nilai-nilai yang sama yang di atasnya dibangun suatu komunitas yang sama. 2.        Fungsi pemberi makna hidup. Agama menawarkan suatu Theodicy yang mampu memberikan petunjuk terhadap persoalan ultimate dan eternal yang dihadapi manusia mengenai keberadaan dunia ini. Dengan fungsi ini, agama mengajarkan bahwa hiruk pikuk kehidupan di dunia ini mempunyai arti yang lebih panjang dan lebih dalam dari batas waktu kehidupan di dunia sendiri, karena adanya kelanjutan hidup di akhirat kelak.3.        Fungsi kontrol sosial, nilai dan norma-norma yang penting dalam masyarakat dipandang mempunyai daya paksa yang lebih kuat dan lebih dalam apabila juga disebut dalam kitab suci agama. Dengan fungsi ini, bagi pemeluk suatu agama maka nilai dan norma agamanya ini akan membantu memelihara kontrol sosial dengan mengendalikan tingkah laku pemeluknya4.        Fungsi perubahan sosial. Agama memberikan inspirasi dan memudahkan jalan terjadinya perubahan sosial. Nilai-nilai agama memberikan standarisasi moral mengenai bagaimana sejumlah pengaturan masyarakat yang ada itu dilakukan dan bagaimana seharusnya5.        Fungsi dukungan psikologis. Agama memberikan dukungan psikologi kepada pemeluknya ketika ia menghadapi cobaan atau goncangan hidup. Pada saat-saat goncangan seperti kematian anggota keluarganya, agama menawarkan sejumlah aturan dan prosedur yang sanggup menstabilisasikan kehidupan jiwanya. Bukan hanya dalam soal kematian  dan kesedihan, dalam siklus kehidupan lainnya yang lebih menggembirakan sekalipun, seperti kelahiran dan perkawinan, agama menawarkan cara imbang dalam menghadapinya [12]            

Meraih Kedamaian dan Kebahagiaan Sejati
     
Siapapun orangnya, tidak pandang bulu, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun yang miskin, orang timur atau barat, kulit hitam maupun putih pastilah mendambakan hidup dalam kedamaian. Bisa dikatakan bahwa perdamaian adalah salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Sifat dasar manusia tidaklah nyaman berada di dalam suasana pertikaian, tidak pula merasa tentram dalam suasana chaos. Tidak suka dimusuhi, dan rindu akan ketentraman. Inilah mengapa perdamaian menjadi suatu kebutuhan.
     
Agama sangat memahami apa yang diinginkan oleh umat manusia, karena itu persoalan perdamaian menjadi porsi penting dalam ajaran agama. Untuk mewujudkan perdamaian, manusia harus disadarkan adanya perbedaan-perbedaan yang tak mungkin dihindari. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang kodrati dan tidak mungkin ditiadakan. Peniadaan hanya akan memunculkan konflik. Konflik inilah yang menjadi ancaman besar bagi perdamaian.  Dalam ajaran agama hindu dikatakan:  "Semoga bumi yang memberi tempat kepada penduduk yang berbicara berbeda-beda bahasa, berbeda tatacara, agama menurut tempat tinggalnya, memperkaya hamba dengan ribuan pahala, laksana lembu menyusui anak-anaknya tak pernah kekurangan  (A XDII, 1. 45)  
     
Kemunculan konflik sesungguhnya bermula dari ketidakmampuan seseorang menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan tersebut bermacam-macam, bisa karena perbedaan warna kulit, asal suku dan golongan, juga adat dan kebiasaan. Ada orang-orang yang berkehendak membuat semua orang seperti dirinya, karenanya jika ada oranglain yang berbeda ia pun lantas memerangi, disinilah terjadinya konflik.
     
Agama jelas menolak itu, perbedaan bukanlah kehendak manusia, upaya menjadikan semua orang sama adalah perbuatan sia-sia bahkan mengancam sisi kemanusiaan itu sendiri. Di dalam agama Islam gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat mendasar dan mendalam karena berkaitan dengan watak agama Islam. Semua tatanan Islam bertitik tolak dari pemikiran tersebut. Semua pengarahan dan penetapan hukum Islam bertemu dengan pemikiran tersebut.  "Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49] : 13).  Dengan firman tersebut Allah menghilangkan sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya pemusuhan. Perbedaan ras, suku, bangsa dan bahasa serta budaya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menghadirkan konflik. Dalam ayat di atas telah jelas bahwa jaminan Allah mengarahkan manusia untuk saling mengenal dan hidup rukun bukan saling membunuh dan saling bertentangan [13]  
     
Islam menegakkan Perdamaian untuk kepentingan semua. Bahkan penyebutan kata "Islam" sendiri mengisyaratkan bahwa esensi dari agama ini adalah kedamaian. Kata Islam adalah variant dari akar kerja arab S(in) L(lam) M(im) yang juga melahirkan kata salam artinya damai. Pada saat yang sama kata ini didefinisikan berkait dengan keutuhan, kesehatan, kesejahteraan dan kebaikan. Dalam konteks tertentu salam sangat mirip dengan konsep Kristen tentang keselamatan.[14]           
     
Islam menanamkan benih keteduhan di dalam lubuk hati dan jiwa yang sedalam-dalamnya dan meniupkan ruh kasih sayang yaitu kecintaan manusiawi yang murni tulus.
 Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal [8] : 61) Pada arah yang berbalikan agama menyerukan kepada umatnya agar menjauhi prilaku-prilaku tak terpuji yang bisa mengancam terwujudnya kedamiaan di bumi. Dan pada gilirannya akan melahirkan rasa tidak aman di hati masyarakat. Menghasut dan menebarkan permusuhan. Mendorong dan menciptakan kekacauan adalah perbuatan yang dibenci oleh agama.  "Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)". (QS. Al-Rad [13]; 25)           
     
Demi terwujudnya perdamiaan di muka bumi ini, agama tidak hanya mengajak pemeluknya menerima perbedaan-perbedaan ras, adat dan warna kulit belaka. Lebih dari itu, dengan sikap legowo semua agama mengajarkan para pemeluknya untuk mengakui keberadaan agama lain. "Tidak ada paksaan dalam agama" inilah yang diajarkan Al-Qur'an kepada umat Islam. Ini pula yang diajarkan Budha kepada pemeluknya. Dalam ajaran agama Budha dikatakan,  "Jangan kita hanya menghormati agama sendiri sebaliknya agama oranglain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan pula oranglain. Dengan berbuat sebaliknya, kita telah merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama oranglain. Oleh karena itu, kerukunan yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut oranglain (Prasasati Kalinga No. XXII dari Raja Asoka, abad 3 SM) kurang lebih dalam pengertian yang hampir sama, dalam ajaran agama Katolik dikatakan : Gereja katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama lain (NA ps 2) Agama mengajak umatnya untuk menjaga suasana perdamaian, sebab masyarakat yang resah akan membawa dampak besar pada keresahan batinnya.***

DAFTAR PUSTAKA  Abdul Ghafur, Waryono, Tafsir Sosial, (Jogjakarta : Elsaq Press, 2005)Arifin Abbas, Zaenal, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Jakarta : Pustaka Husna, 1984) Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi Di Indonesia Pengalaman Islam, (Jakarta : Paramadina, 1999) Efendi, Djohan, Merajut Kedewasaan Beragama, dalam Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, (Jakarta : Mediaciita, 20001 ), h. 17Lardner Carmody, Dennis, In The Path of Master, Tri Budi Sastrio, penj. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.20Le Gai Eaton, Charles, Remembering God Reflections, penj, Burhan Wirasubrata, (Jakarta :Cendekia sentra Muslim, 2002) h, 127M. Noor, Hasan, Keteduhan Batin, dalam Agama di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, (Jakarta : Mediacita, 20001 ), h. 166Muchtar, Aflatun, Tunduk Kepada  Allah, (Jakarta : Khazanah Baru, 2001), h.116 Punyaatmadja, Oka, Pancha Caradha, 1970Qutub, Sayyid, Islam dan Perdamaiaan Dunia, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. 13Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, (Bandung : Mizan, 1991), h.42 Shihab, Umar, Ketulusan Beragama, Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, (Jakarta : Mediacita, 20001 ), h. 28Sodik, Abror, Peta Kerukunan Umat beragama Propinsi Jawa Tengah, Riuh di Beranda satu, (Jakarta : Puslitbang Depag, 2003), h.128Tholkhah, Imam, Mewaspadai dan Mencegah Konflik antar Umat Bergama (Departemen agama, 2001), h. 127



[1] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Konteks Berteologi Di Indonesia Pengalaman Islam, (Jakarta : Paramadina, 1999 ), h.32

[2] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Jogjakarta : Elsaq Press, 2005), h.

[3]Oka Punyaatmadja, Pancha Caradha, 1970 : 7

[4] KH. Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Jakarta : Pustaka Husna, 1984) h.39

[5] Oka Punyaatmadja, Pancha Caradha, 1970 : 12

[6] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung : Mizan, 1991), h.42

[7] Djohan Efendi, Merajut Kedewasaan Beragama, dalam Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, (Jakarta : Mediaciita, 20001 ), h. 17

[8] Dennis Lardner Carmody, In The Path of Master, Tri Budi Sastrio, penj. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.20

[9] Dr. Imam Tholchah MA, Mewaspadai dan Mencegah Konflik antar Umat Bergama (Departemen agama, 2001), h. 127

[10] Umar Shihab, Ketulusan Beragama, Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, (Jakarta : Mediaciita, 20001 ), h. 28

[11] Dr Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada  Allah, (Jakarta : Khazanah Baru, 2001), h.116

[12] Abror Sodik, Peta Kerukunan Umat beragama Propinsi Jawa Tengah, Riuh di Beranda satu, (Jakarta : Puslitbang Depag, 2003), h.128

[13] Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaiaan Dunia, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. 13

[14] Charles Le Gai Eaton, Remembering God Reflections, penj, Burhan Wirasubrata, (Jakarta :Cendekia sentra Muslim, 2002) h, 127

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.