HomeBeritageneral /  Kemenag Bantah Terjemahan Al-Qur'an Picu Aksi Terorisme
Kemenag Bantah Terjemahan Al-Qur'an Picu Aksi Terorisme PDF Print Email

Dialog dengan MMI merupakan respon Kementerian Agama terhadap hasil kajian dan penelitian MMI terhadap terjemahan Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Kemenag, yang menyebutkan bahwa terdapat kesalahan dalam terjemahan Al-Qur’an terbitan Kemenag. MMI kemudian menyebutkan bahwa kesalahan tersebut dinilai berkontribusi besar dalam menyemai bibit terorisme. Konferensi Pers ini dipimpin oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA, dan dihadiri oleh Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub, yang merupakan Wakil Ketua Tim Revisi terjemahan al-Qur’an tahun 1998 – 2002; Sekretaris Badan Litbang dan Diklat, Drs. H. Asmu’i, SH, M.Hum; Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof. H. Abd. Rahman Mas'ud, Ph.D; Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Drs. H. Muhammad Shohib; MA, serta Drs. H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA, APU, peneliti utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Muchlis menyebutkan bahwa asumsi MMI tentang terjemahan al-Qur’an terbitan Kemenag sebagai pemicu aksi terorisme, sangat bertentangan dengan sejumlah fakta yang ada. Fakta tersebut di antaranya, mayoritas warga Muslim Indonesia mengandalkan terjemahan dalam memahami al-Qur’an. “Jika betul asumsi itu, teroris di Indonesia pasti lebih banyak. Sedangkan faktanya kelompok teroris jumlahnya sedikit dan mereka umumnya anti pemerintah, termasuk anti terjemahan al-Qur’an yang diterbitkan oleh pemerintah“, tandas Muchlis. Muchlis juga menambahkan bahwa Al-Qur’an memiliki dua makna, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna primer Al-Qur’an adalah yang diterjemahkan ke dalam bahasa manapun, sedangkan makna sekunder adalah makna tambahan yang dibangun karena karakteristik bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an yang sulit diterjemahkan. Hal ini menimbulkan fakta bahwa tidak ada terjemahan al-Qur’an yang murni harfiyah. Oleh karena itu tim penyusun terjemahan al-Qur’an Kementerian Agama menggabungkan antara metode terjemah harfiyah dengan terjemah tafsiriyah, yang dapat dilihat dari banyaknya kalimat di dalam kurung dan footnote yang jumlahnya mencapai 930 buah.

Sedangkan Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”, cetusnya. Beliau mengungkapkan bahwa untuk memahami al-Qur’an - atau yang disebut dengan ijtihad - memerlukan ilmu-ilmu yang luas, sehingga seseorang tidak diperbolehkan untuk memisahkan-misahkan tafsir satu ayat dengan yang ayat lainnya. Ali Musthafa Ya’kub juga mengambil contoh salah satu ayat dalam Al Qur’an, yang terjemahannya dalam Al-Qur’an versi bahasa Inggris terbitan pemerintah Arab Saudi sama persis dengan terjemahan Al-Qur’an terbitan Kemenag. “Kalau yang berbahasa Indonesia dikatakan salah, maka yang berbahasa Inggris pun salah. Ini menunjukkan bahwa kesalahan bukan pada terjemahannya, tetapi pada orang yang tidak dapat memahami Al-Qur’an, tetapi dia berijtihad dan berfatwa”, demikian menurut Ya’kub. [RNF]
 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.