HomeBeritaKUB /  Abdurrahman Mas'ud : Kembangkan Jihad Damai
Abdurrahman Mas'ud : Kembangkan Jihad Damai PDF Print Email

Penelitian tahun 2009 yang dilakukan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga menunjukkan bahwa para takmir masjid di Jakarta ini mayoritas sunni. Seratus persen mereka tidak setuju jika jihad diartikan perang. “Mereka tidak setuju jihad untuk mengangkat senjata. Itu salah satu ciri sunni,” katanya. Ciri sunni lainnya adalah tidak memberontak, bisa hidup di bawah pemerintahan siapa pun asal pemerintahannya tidak melarang beragama, moderat, dan tasamuh (toleransi). “Sunni lebih suka menekankan kedamaian daripada chaos.”

Namun mengapa seorang muslim yang “saleh” juga meledakkan bom yang menghancurkan kehidupan? Jawabannya bisa disimak dalam wawancara berikut di kantornya, Gedung Bayt Al Quran dan Museum Istiqlal Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur, Jumat (17/12).

1. Bagaimana menjelaskan kontradiksi tindakan seorang muslim yang “saleh”di satu sisi, di sisi lain ia berani tega meledakkan bom yang membunuh orang-orang tidak berdosa, bahkan membunuh juga saudara muslim?

Saya punya ilustrasi menarik. Akhir-akhir ini seorang komedian Indonesia meninggal. Dia kemudian di negeri sana (akhirat) ditemani malaikat jalan-jalan. Ia ingin tahu bagaimana surganya para teroris yang dia kenal di Indonesia. Sebab, teroris bukan hanya dari Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya dan dari berbagai agama. Setelah jalan-jalan di sebuah tempat ia bertemu dan melihat seorang teroris yang kenal lewat koran dan televisi. Ia tidak percaya bahwa di tempat itu teroris itu hidup dengan nyaman, didampingi oleh bidadari-bidadari, ada minuman dan makanan yang paling lezat.

Ia bertanya kepada malaikat “Apa betul ia teroris yang saya kenal dulu di dunia?” Malaikat menjawab, “Ya betul ia teroris yang kamu kenal itu dan tempatnya memang di sini.” “Kok bisa begitu?” kata komedian ini dengan nada tidak percaya. Ia kemudian pergi mencari tempat lain. Setelah lima menit meninggalkan tempat teroris tadi terdengar suara yang dahsyat dan keras sekali. Dia sampai kaget. Ia bertanya kepada malaikat? “Itu suara apa?” Malaikat menjawab, “Itu suara yang keluar dari tempat yang kamu lihat tadi. Tempat yang nyaman tadi setiap lima menit meledak karena sewaktu hidup di dunia ia meledakkan bom. Jadi, setiap lima menit surganya meledak. Itulah surganya para teroris.”

2. Apa yang Anda maksudkan dengan ilustrasi tersebut?

Kalau surga yang benar itu tidak seperti itu. Kalau surga yang benar itu rumah yang damai (home of peace atau daarus salam). Rumah yang tidak ada amarahnya, rumah yang tidak ada amukan. Rumah yang diridai Tuhan dan ia juga rida kepada Tuhan. Sebetulnya, agama di mana saja, tidak hanya Islam, misi utamanya adalah damai dan keadilan.

Dalam Al Quran kata damai disebut dalam kata “as-salam, as-saliim,” sebanyak 157 kali. Bandingkan dengan lawan kata damai, yakni tidak damai. Misalnya, kata ikrah artinya memaksa (coercion atau force) hanya tujuh kali dalam Al Quran. Tapi dari tujuh kali itu ada ayat yang berbunyi la ikraha fii ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam agama. Maka esensi dalam Al Quran adalah kedamaian dan keadilan. Agama-agama besar di dunia ini ingin menegakkan kedamaian dan keadilan di bumi ini. Oleh karena itu, kontradiksi jika di lapangan ada orang beragama yang saleh tapi juga meledakkan bom yang membunuh orang-orang tidak berdosa.

3. Apa yang menyebabkan kontradiksi ini?

Kontradiksi di atas itu ada hubungannya dengan pemahaman keagamaan seseorang. Dia tidak memahami agama secara utuh. Ia hanya memahami ajaran agama secara terpenggal-penggal. Ada banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa‘”maaf--orang-orang yang tergolong aliran keras, termasuk para teroris, umumnya bukan berasal dari orang yang belajar agama dengan banyak. Maaf, umumnya berasal dari latar belakang pendidikan umum. (Hasil penelitian) ini sudah tidak disembunyikan lagi. Banyak penelitian, bukan hanya penelitian kita, yang mengatakan seperti itu.

Pemahaman keagamaan kurang dalam sehingga mudah menyalahpahami agama. Dan juga mudah disalahpahami oleh orang lain. (Mereka dalam mempelajari Al Quran dan hadis) kebanyakan tekstual. Kalau tekstual berarti tidak begitu kenal asbabun nuzul (asal usul turunnya ayat). Padahal, kalau kita memahami Al Quran harus memahami asababun nuzul. Latar belakang kondisi wahyu Allah. (Mereka) kalau mempelajari hadis Nabi tidak memahami asbabul wurud (asal usul lahirnya sebuah hadis). Harus dipahami konteks sosial. Jadi, yang dipelajari bukan hanya teks, tapi juga konteks. Kalau pemahaman tidak dilakukan dengan benar ya akan terjadi seperti itu.

4. Penjelasan itu dari dalam agama, kalau faktor dari luar?

Ada juga faktor ketidakadilan. Kelompok-kelompok kecil ini tidak puas terhadap ketidakadilan itu. Misalnya, ketidakadilan yang disebabkan oleh Barat. Barat terutama Amerika juga andil, terutama yang mereka lakukan terhadap Palestina, Irak, dan Afganistan. Kebijakan Amerika itu menyakiti dunia Islam. Hal itu bisa menyebabkan radikalisme. Kelompok keras di Mesir, Ikhwanul Muslim, menganggap kala itu pemerintahnya adalah boneka dari negara-negara Barat. Pandangan kelompok keras kecil di Indonesia juga sama. Kelompok keras yang kita bicarakan ini melihat kelompok lain di luar dirinya disebut sebagai thoghut. Thoghut itu kan setan. Mereka menganggap, selain kelompok dia masuk neraka, bagian dari setan, dan di dunia ini teman-temannya setan. Juga teman-temannya Barat, termasuk (pandangan terhadap) sesama Islam sendiri. Kalau misalnya terjadi pengeboman dan dalam pengeboman itu banyak muslim yang menjadi korban, mereka juga punya argumen. Dia kan membunuh muslim juga. Jika itu terjadi mereka cukup membayar fidyah. Mereka (beranggapan) cukup membayar fidyah dan dosanya sudah diampuni. Ini yang tidak benar dalam pemahaman agama mainstream.

5. Bisakah konsep fidyah untuk menebus pembunuhan ini?

Fidyah itu denda (yang dibayar) karena ketidaksengajaan. Masalahnya, bom ini kan sengaja dan berbeda sekali (dengan ketidaksengajaan). Dalam pemahaman mereka tidak dikenal istilah ibarah (analogi). Pemahaman melihat konteks juga tidak ada. Akhirnya, memahami agama secara sempit, juga eksklusif. Karena eksklusif memandang orang di luar dia adalah setan dan neraka.

6. Salah satu yang mendorong tindakan ini pemahaman tentang jihad. Jihad dipersamakan dengan qital (perang)?

Selama ini jihad selalu diidentikkan dengan perang, bahkan oleh umat Islam sendiri. Jihad diartikan qital (perang). Padahal, ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jihad berbeda dengan qital. Pengertian jihad sendiri, qital sendiri. Jihad itu artinya bekerja keras dalam banyak hal. Di dalam Al Quran kata jihad itu lawannya qu‘™ud . Jihad artinya mereka yang sangat aktif. Aktif di jalan Allah, aktif membantu kesehatan, aktif memperjuangkan pendidikan, aktif membantu masyarakat.

Jihad lawan katanya dalam Al Quran adalah Al-Qu‘™ud dari akar kata Qo‘™ada yang berarti mereka yang pasif saja. Orang yang tidak mau memperjuangkan agama Allah dan tidak mau membantu masyarakat. Jihad itu artinya luas. Memang sebagian umat Islam mengartikan perang. Tapi perang (qital) seperti apa? Perang dalam sejarah Nabi adalah perang defensif.

Indonesia pada awal-awal kemerdekaan diserang dan akan direbut kembali oleh tentara sekutu lalu muncul fatwa pada 1945 dari KH Hasyim Asy‘ari yang--dikenal sebagai Resolusi Jihad--menyatakan bahwa mempertahankan nusa dan bangsa ini wajib. Silakan kembali kepada (pemahaman) Resolusi Jihad KH Hasyim Asy‘ari. Itu jelas sekali bahwa jihad itu wajib dan harus saling tolong menolong. Resolusi jihad itu menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mempertahankan bangsa ini dan membantu saudaranya untuk mempertahankan tanah ini sejauh saudaranya sekitar 80 km (masafah musafir). Katakanlah, seandainya kalau yang diserang di Bandung, maka saudaranya di Jakarta wajib membantu.

Dalam kitab Al-Bajuri karya Syaikh Ibrahim al-Bajuri (abad ke-18), ulama dan ahli fikih dari Mesir itu disebutkan bahwa jihad itu wajib. Disebutkan jenis aktivitasnya: menegakkan ilmu agama, orang belajar ilmu agama ke pesantren dan madrasah, belajar supaya ilmunya benar dan alim, amar ma‘™ruf nahi munkar, mencari ilmu, memenuhi kebutuhan pokok agar tidak miskin dan tidak lapar. Jihad damai perlu dikembangkan. Jihad yang mengutamakan kerjasama dan keterbukaan.

7. Mengapa kekerasan berbaju agama sering terjadi di Indonesia?

Kalau terjadi kekerasan itu tolong jangan dihubungkan dengan agama. Sebab, kekerasan itu bersifat empiris, sementara agama (religion) bersifat ideologis. Empiris dan ideologis berbeda. Ideologi agama itu menegakkan keadilan dan kedamaian. Silakan cari dalam Al Quran yang menyuruh untuk membunuh orang, kecuali dalam keadaan terpaksa. Ideologi agama-agama itu ideologi damai. Kalau terjadi penyimpangan itu bersifat empiris.

Kekerasan berhubungan dengan tempat, politis, dan geografis. Kekerasan adalah fenomena politik dan fenomena geografis. Sementara agama bersifat ideologis. Antara yang ideologis dan empiris itu tidak saling bertemu. Kalau masih memaksakan bahwa kami (pelaku kekerasan) juga ideologis, maka itu ideologi sempalan, tidak mewakili yang mainstream.

8. Kelompok radikal selalu menolak demokrasi dan ingin mendirikan sistem khilafah. Apakah Islam compatible dengan demokrasi?

Umumnya Islam compatible dengan demokrasi. Islam tidak mengharuskan bentuk negara, misalnya penegakan syariah. Dari penelitian tahun 2009 diketahui bahwa mayoritas takmir masjid dan majelis taklim di Jakarta tidak menghendaki Indonesia menjadi negara khalifah atau negara syariah. Mereka masih setiap kepada UUD 1945 dan Pancasila. Kalau kita membaca pikiran umat Islam secara umum seperti itu.

Nabi Muhammad juga tidak mengharuskan mendirikan negara Islam. Prinsip demokrasi juga dilaksanakan Nabi. Kebebasan beragama juga dilaksanakan pada masa Nabi. Pada zaman Nabi ada istilah kafir zimmi, yakni orang non-Islam yang diproteksi. Mereka diberi kebebasan untuk beragama.

Di Indonesia, semua umat beragama diperlakukan sama dan semua dilindungi. Ada kebebasan beragama dan beribadah. Ada kesejajaran dalam bernegara, beribadah, dan beragama, tidak membedakan agama apapun. Itu sama yang diajarkan Nabi dengan Piagam Madinah. Kalau misalnya kita memaksakan dan mempercayakan khilafah, kita bertanya: di mana pusatnya? Siapa yang menjadi khalifah?

Kalau kita lihat semua khalifah, kecuali Abu Bakar As-Siddiq, meninggalnya dengan dibunuh dan bertumpahan darah. Kita kembali kepada muslim yang mainstream seperti NU dan Muhammadiyah. Pada 1984, KH Ahmad Siddiq dari NU menyatakan bahwa negara Indonesia adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Pancasila ini sudah ideal, tidak perlu diutak-atik lagi.

9. Apa yang perlu dilakukan pemerintah, masyarakat, dan ormas Islam untuk mengekang perkembangan kelompok radikal di Indonesia yang seolah-olah punya kekuatan dan pengaruh besar?

Pertama, silaturahmi antarormas itu penting dilakukan. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah paham-paham agama yang radikal. Kita perlu mengkaji bersama, bagaimana pandangan kiai-kiai pesantren terhadap kekerasan. Dalam forum yang kita selenggarakan mereka tidak membenarkan kekerasan dengan justifikasi agama. Juga mencari solusinya menanggulangi agar tidak terjadi lagi kekerasan. Agar virus-virus kekerasan itu tidak masuk ke kantong-kantong pesantren. Silaturahmi ini perlu dilakukan untuk --dalam bahasa mantan Menteri Agama KH Tolhah Hasan--mencegah al ghuluwu fid din (kebablasan dalam beragama). Padahal, Nabi mengajarkan beragama yang tidak berlebihan.

Kedua, dialog. Itu masih kecil sekali dilakukan. Sampaikan (nasihat) dengan bijaksana dan cara yang lembut dan lunak. Prinsip dialog itu dengan cara tidak menyinggung dan cara yang baik. Tahun lalu kita kumpulkan berbagai ormas Islam, termasuk Front Pembela Islam (FPI), dan kita ajak berkunjung ke masyarakat bawah di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kita ajak mereka melihat keadaan masyarakat di bawah, keadaan majelis taklim, masjid, dan bagaimana membantu masyarakat lepas dari jeratan kemiskinan.

Nah, ternyata kalau bicara soal kemiskinan dan bagaimana memberdayakan ekonomi umat semua ormas Islam ijma (sepakat). Tidak ada lagi suara keras, semuanya ingin membantu bagaimana umat keluar dari kemiskinan. Jadi, mari isu-isu yang lebih mendasar soal kemiskinan, ketertinggalan atau kebodohan, kita bicarakan bersama. Dalam forum itu susah membedakan mana dari NU, Muhammadiyah, dan FPI. Itu kan bagian dari dialog. Perlu dialog karena banyak sekali masalah mendasar di sekitar kita.

Ketiga, menjaga kedamaian. Program ini kita mulai tahun 2008 sampai tahun 2010. Kita punya ratusan kader muda, rata-rata di bawah 30 tahun, dari lintas agama di berbagai provinsi. Jika ada masalah mereka akan menyelesaikan dengan cara mereka sendiri. Mereka kita bekali ilmu resolusi konflik. Kita bekali juga riset aksi untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama dan mengantisipasi jika terjadi kekerasan. Supaya tidak ada teroris dan tidak terjadi konflik.

Keempat, mulai tahun 2011 programnya menjadi peace keeping (menjaga yang sudah damai). Kita menjaga kantong-kantong yang sudah damai. Kantong yang sudah damai itu kita jadikan contoh.

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.