Muakhi : Nilai Etika Sosial Masyarakat Lampung |
![]() |
![]() |
![]() |
Dalam sambutannya Prof Machasin menyampaikan perasaan mirisnya terhadap konflik yang sering terjadi akhir-akhir ini. “Agama yang seharusnya menjadi penyejuk dan faktor yang mendasari suasana kedamaian di tengah kehidupan masyarakat kini cenderung malah digunakan sebagai alasan untuk melakukan tindakan destruktif. Hal ini sangat bertolak belakang dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suatu daerah pada umumnya”, ujar Machasin. Terkait dengan hal itu, Machasin mengharapkan acara ini bukan hanya sekedar membedah buku tentang budaya Muakhi saja, tetapi bagaimana kita bisa memunculkan pemikiran baru dan mengaktualisasikan konsep budaya Muakhi dalam kerangka kerukunan kehidupan bermasyarakat. Prof Nur Kholis dalam bahasannya menyatakan timbulnya percikan konflik dalam masyarakat antara masyarakat lokal dan pendatang adalah disebabkan oleh ekses dari modernitas yang salah satunya adalah faktor deprivasi relatif bagi penduduk lokal, yakni adanya perasaan ditinggalkan oleh yang lain, akibat ketidaksiapan dalam “perebutan sumber daya”. Wilayah yang didiami oleh masyarakat asli dan pendatang, kemudian pendatang lebih mendapatkan kemudahan bahkan “menguasai” asset ekonomi dan lainnya. Kasus Balinuraga beberapa waktu yang lalu merupakan tantangan kongkrit bagaimana membumikan kembali Muakhi sekaligus menempatkan Piil Pesenggiri dalam konteks budaya Lampung selaras dengan prinsip pluralitas yang dianut. Sementara itu Asisten Teritorial Panglima TNI Mayjend Dr. S. Widjonarko memaparkan alternatif penyelesaian konflik dari sisi pendekatan manajemen teritorial, dimana pengawasan teritorial kini perlu melibatkan berbagai pihak terkait karena ancaman keamanan bukan saja datang dari terorisme saja, bahkan ancaman kebodohan atau rendahnya pendidikan masyarakat merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi stabilitas suatu negara.(AN) |