Executive Summary Penelitian Persepsi Penyuluh Agama tentang Konflik Berbasis Agama - 2012 PDF Print Email

Penyuluhan agama merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting, terkait dengan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Penyuluh agama memiliki posisi strategis karena sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam melakukan pembinaan masyarakat dalam bidang rohani dan moral.

Selama satu dasawarsa terakhir, Indonesia banyak mengalami konflik berbasis agama, sehingga para penyuluh agama diharapkan mampu berkontribusi dalam resolusi konflik di berbagai daerah tersebut. Untuk itu, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2012 melaksanakan penelitian Persepsi Penyuluh Agama tentang Konflik Berbasis Agama. Penelitian ini bertujuan memaparkan persepsi penyuluh agama tentang konflik berbasis agama di daerahnya, menganalisis posisi penyuluh agama selama konflik berlangsung serta peran mereka dalam penyelesaian konflik tersebut berdasar persepsi yang mereka miliki.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan Focused Group Discussion (FGD) terhadap sejumlah informan kunci yaitu para penyuluh agama Islam PNS dan non PNS serta  informan penting lainnya. Lokasi penelitian adalah daerah yang pernah mengalami konflik berbasis agama dengan mengambil sampel 4 wilayah, yaitu: Kabupaten Sukabumi (kasus Ahmadiyah dan Tijani), Kota Bogor (kasus Gereja Yasmin), Kota Bekasi (kasus gereja HKBP-PTI di Ciketing), dan Kabupaten Banten (kasus Ahmadiyah di Cikeusik).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan penyuluh agama Islam PNS dan non PNS, tentang ilmu keagamaan (keislaman) cukup baik. Namun, pengetahuan mereka tidak diikuti dengan keahlian memahami struktur sosial masyarakat, terutama dalam melakukan deteksi dini kerawanan sosial. Mereka juga tidak memiliki peta kerawanan sosial. Sikap inferior, lemahnya skill dan minimnya fasilitas juga merupakan indikasi penting bagaimana posisi penyuluh dalam resolusi konflik tidak begitu tampak terlihat.

Para penyuluh umumnya hanya berperan dengan memberikan bimbingan kepada jamaah binaan masing-masing untuk tidak melakukan tindakan anarkis, tetap menjaga keamanan, ketertiban, dan upaya penolakan terhadap  pendirian rumah ibadat lain atau paham keagamaan yang dianggap menyimpang harus dilakukan sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. Para penyuluh tidak secara langsung terlibat dalam penanganan konflik, mereka hanya melakukan koordinasi dengan para pihak terkait dan memantau serta melaporkan perkembangan pasca konflik. Para penyuluh lebih mengutamakan pembinaan keagamaan di wilayah kerjanya masing-masing agar umatnya lebih mendalami dan melaksanakan ajaran agamanya dan bersikap pasif terhadap resolusi konflik.

Posisi penyuluh di sampel lokasi penelitian dihadapkan pada tiga hal. Pertama, sikap inferior yang diakibatkan oleh persepsi mereka tentang reward dan fasilitas yang diterima. Kedua, posisi yang relatif lebih lemah di mata masyarakat dibanding dengan beberapa tokoh agama lokal. Ketiga, harapan dan beban kerja yang tidak diikuti dengan perhatian serta fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.

Di samping tiga hal tersebut, sebagian penyuluh agama tidak bersikap netral, dalam arti secara pribadi mereka memiliki keberpihakan pada salah satu kelompok karena adanya “prejudice” terhadap kelompok lain. Misalnya, dalam kasus GKI Yasmin Kota Bogor dan kasus gereja HKBP-PTI di Ciketing Bekasi.  Dalam perspektif sebagian penyuluh, pihak Gereja dianggap sengaja berusaha membangun Gereja di tengah mayoritas muslim karena memiliki tujuan ingin mempengaruhi umat Islam dalam hal keyakinan agama atau “kristenisasi”. Demikian halnya dalam kasus Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang dan kasus Ahmadiyah dan Tijani di Sukabumi.

Hasil penelitian tersebut memberikan rekomendasi bagi kebijakan Kementerian Agama bagi revitalisasi peran penyuluh. Revitalisasi tersebut semestinya mencakup lima segmen dari tugas kepenyuluhan, yakni i) penerimaan sosial; ii) aktualisasi sosial; iii) kontribusi sosial; iv) hubungan sosial, dan v) integrasi sosial. Dan untuk mewujudkan lima hal tersebut diperlukan langkah dan strategi sebagai berikut:

a. Dibutuhkan sebuah model yang mampu menumbuhkan motivasi penyuluh:
- Melalui sistem insentif yang memadai dan (mungkin) rekruitmen yang terstandar.
- Perhatian yang lebih fokus oleh Kementerian Agama, karena mayoritas program-program kementerian selama ini secara langsung dibebankan pada penyuluh.
- Hubungan kerja antara Kantor Kementerian Agama dengan posisi penyuluh dibutuhkan cara pandang baru, dengan memperbanyak pelatihan serta program-program pemberdayaan terkait, seperti pemetaan sosial budaya masyarakat lokal, pelatihan manajemen konflik dan sebagainya.

b. Koordinasi dengan berbagai institusi lokal, misal Polsek, Koramil, Pemerintah Kecamatan dan Desa/Kelurahan serta beberapa tokoh lokal, kata “koordinasi” ini perlu diterjemahkan dalam operasional yang lebih kontekstual. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi di tingkat lokal, sehingga kerjasama antara Kemenag Kab/Kota via penyuluh dengan instutisi-institusi tersebut memiliki kekuatan hukum.

c. Pemerintah daerah perlu mengupayakan adanya kelembagaan di tingkat kecamatan yang fokus pada penanganan konflik dan melibatkan penyuluh agama di dalamnya, mengingat posisi penyuluh agama yang strategis di masyarakat, misalnya dengan pembentukan Forum Komunikasi Deteksi Dini Masyarakat (FKDM). Keterlibatan penyuluh secara struktural perlu secara eksplisit disebutkan, sehingga dapat aktif melakukan upaya-upaya preventif dalam penanganan konflik berbasis keagamaan.

 
Copyright © 2024. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.